Salah satu masalah utama dalam teknologi reproduksi berbantu adalah kualitas gamet dan embrio. Pada awalnya dianggap bahwa semua embrio yang didapat dari IVF memiliki potensi perkembangan yang sama apapun kualitas spermanya. Akan tetapi, hal ini belum dapat dibuktikan. Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai pengaruh kualitas sperma terhadap kualitas embrio. Spermatozoa berpengaruh terhadap kualitas embrio bahkan sejak tahap awal perkembangan embrio dan menunjukkan hubungan antara morfologi sperma abnormal dengan rendahnya kualitas embrio (Parinaud, 1993).
Angka Implantasi dan kehamilan menurun pada pasien dengan teratozoospermia berat yang mengikuti program IVF. Analisis komparatif implantasi embrio pada pasien dengan teratozoospermia berat yang ditangani dengan IVF menggunakan inseminasi atau ICSI menemukan bahwa ICSI menghasilkan proporsi embrio kualitas baik yang lebih banyak kemampuan implantasi yang lebih baik. Hal tersebut memunculkan dugaan adanya pengaruh faktor sperma pada awal embriogenesis (Oehninger et al., 1988).
Penggunaan ICSI (Intra Cytoplasmic Sperm Injection) pada kasus infertilitas pria yang berat dan pemahaman yang lebih baik mengenai biologi sperma, memacu penelitian lebih lanjut potensi pengaruh paternal terhadap kualitas embrio. Terdapat bukti bahwa sperma kualitas jelek menghasilkan laju pembentukan blastosit rendah pada ICSI, menunjukkan bahwa sperma dapat mempengaruhi laju pembentukan embrio preimplantasi manusia. Selain itu, laju pembentukan blastosit tampak lebih rendah pada ICSI daripada IVF. Angka pembentukan embrio, kehamilan dan implantasi dipengaruhi oleh sumber asal sperma (ejakulasi, epididimis atau testikular) dan jenis infertilitas pria OA (obstructed Azoospermia) atau NOA (Non obstructed Azoospermia). Akan tetapi, masih terdapat perbedaan pendapat apakah kualitas sperma dapat mempengaruhi pembentukan embrio, karena penelitian lain menunjukkan bahwa embrio dari pasien dengan OAT (Obstructed Astheno Teratozoospermia) memiliki perkembangan dan potensi implantasi yang sama dengan sperma normal (Kalliopi, 2006).
Sekitar separuh kasus infertilitas disebabkan karena faktor pria, sehingga analisis sperma secara mendetail menjadi sangat penting untuk dikerjakan. Jumlah sperma, motilitas sperma dan morfologi sperma merupakan kriteria konvensional kualitas sperma. Diantara parameter tersebut, morfologi dan motilitas sperma merupakan kriteria terbaik untuk menentukan kapasitas fertilisasi pria. Morfologi sperma dipercaya sebagai faktor prediktif terbaik dalam fertilisasi alamiah, inseminasi intrauterin dan fertilisasi in vitro. Motilitas sperma memberikan gambaran integritas mesin metabolik berupa mitokondria dan morfologi sperma menunjukkan integritas DNA dan kualitas spermatogenesis. Transfer embrio dengan kualitas baik dihubungkan dengan tingginya angka fertilisasi dibanding embrio dengan kualitas sedang atau buruk. Embrio kualitas buruk banyak dihasilkan dari pasien dengan masalah infertilitas pada pria daripada masalah infertilitas karena kelainan tuba. Embrio kualitas jelek berhubungan dengan rendahnya persentase morfologi sperma normal dan abnormalitas postacrosomial region. Selain itu sperma dengan jumlah kurang dari 10x106/ml berhubungan dengan rendahnya persentase embrio kualitas baik dibandingkan dengan jumlah sperma lebih dari 10x106/ml. Kualitas embrio dipengaruhi oleh kualitas sperma, hal ini menunjukkan peran penting sperma pada tahap awal embriogenesis (Parinaud, dkk 1993).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar