Saat ini secara internasional telah terjadi
pergeseran mode terapi untuk anemia dari transfusi darah kepada besi intravena (Giannoulis
et. al., 2009). Transfusi darah secara logis akan segera mengatasi kekurangan
darah terutama akibat perdarahan yang sifatnya akut, namun efek samping
transfusi yang dahulu tidak terlalu diperhitungkan kini makin menjadi perhatian
penting seiring dengan perkembangan konsep baru di dunia kedokteran yakni patient safety (Alice, 2007). Risiko
transfusi darah yang tinggi diantaranya reaksi transfusi, berupa: reaksi
alergi; urtikaria; demam; dan lain sebagainya, penularan berbagai jenis
penyakit infeksius, semisal: hepatitis B; hepatitis C; HIV; CMV; toxoplasma;
malaria; dan lain sebagainya, ketidakcocokan darah (ABO-Rh mismatch), hemolisis baik tipe cepat maupun lambat, alloimunisasi,
hingga transfusion related acute lung
injury (TRALI) yang dapat berakibat
pada kematian (Alice, 2007
dan Breymann et. al., 2000). Dengan meningkatnya
kekhawatiran ini maka beralihlah mode terapi transfusi darah menjadi terapi
besi intravena.
Pada awal mula diperkenalkan, besi intravena
ini dibawa dengan dextran, meski memiliki efek terapi yang cepat dalam
meningkatkan hemoglobin dan angka eritrosit, namun efek samping seperti reaksi
alergi sampai reaksi anafilaksis yang cukup tinggi, hingga mencapai 15%, mengakibatkan terapi ini kurang dapat dipakai
secara luas (Dede et. al., 2009). Kini telah ditemukan pembawa baru besi
intravena yakni sukrosa. Dengan pemberian besi sukrosa intravena kadar
hemoglobin akan meningkat pesat dalam hitungan hari. Efek samping pun sangat
minimal. Reaksi alergi minor dilaporkan pada 0,05% kasus, sementara reaksi
alergi berat seperti anakfilakasis belum dilaporkan (Alice, 2007 dan Dede et.
al., 2009). Sehingga besi sukrosa intravena dengan cepat mendapat respon yang
baik di seluruh dunia untuk kemudian secara internasional menjadi terapi
pilihan pertama pada anemia. Dalam pertemuan Network for Advancement of Transfusion Alternatives (NATA) April 2005,
penggunaan besi sukrosa intravena direkomendasikan untuk berbagai macam kondisi
anemia, diantaranya anemia pada kehamilan serta anemia post partum (Breymann,
2006).
Awalnya diasumsikan bahwa terapi besi
intravena hanya akan berefek pada anemia karena anemia defisiensi besi, namun
kenyataannya besi sukrosa ini dapat diberikan pada hampir semua jenis anemia,
kecuali anemia hemolitik. Termasuk diantaranya anemia karena perdarahan akut
semisal pada anemia post partum, telah menunjukkan hasil yang menggembirakan
dengan pemberian besi sukrosa intravena pada penelitian terdahulu. Karena
memiliki sifat kerja yang unik dengan melepaskan labile iron yang bekerja langsung merangsang eritropoesis di sumsum
tulang, maka akan terjadi percepatan eritropoesis yang berdampak pada kenaikan
angka eritrosit serta hemoglobin dalam waktu yang singkat tanpa memandang
pasien tersebut defisiensi besi atau tidak (Giannoulis, 2009). Mekanisme kerja
ini akan dijelaskan secara rinci pada tinjauan pustaka.
Anemia sendiri merupakan
permasalahan hematologis tersering yang kita jumpai (ACOG Practice Bulletin,
2008; Lisa, 2001). Dilaporkan oleh Bayoumeu et. al. (2002) bahwa pada wanita
hamil dan setelah melahirkan terdapat sekitar 10% hingga 30% menderita anemia.
Meskipun demikian kondisi anemia tersebut sifatnya subklinis dan ringan
sehingga kurang dikeluhkan oleh pasien dan kurang mendapatkan perhatian dari
dokter yang menanganinya.
Anemia secara definitif
mengandung pengertian kadar hemoglobin dalam darah dan atau hematokrit dan atau
angka eritrosit lebih rendah daripada 5 persentil kadar pada populasi sehat.
Untuk batasan anemia post partum Center
for Disease Control and prevention (CDC) menetapkan nilai Hb<11g/dl
sementara WHO menetapkan Hb<12g/dl. Untuk Indonesia sendiri belum ada
standarisasi batasan anemia post partum baik yang dikeluarkan oleh departemen
kesehatan maupun Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi indonesia (POGI). Di RS Sardjito
sendiri belum ada batasan yang jelas untuk anemia post partum.
Anemia post partum sebagian
akan sembuh dengan sendirinya meskipun memakan waktu yang cukup lama, sementara
untuk sebagian ibu menimbulkan morbiditas yang serius bahkan mortalitas (Dodd
et. al., 2008). Pada kondisi anemia, wanita post partum akan mengalami gejala
klinis lesu, lemah, loyo. Kondisi tersebut dapat terus berkembang hingga
menimbulkan gangguan penyembuhan luka (luka perineum maupun luka operasi seksio
sesarea), gangguan pemulihan fisik untuk kembali seperti kondisi fisik sebelum
hamil, gangguan laktasi, depresi post partum, dan infeksi nifas (Bhandal dan Russell,
2006). Literatur lain menyebutkan bahwa sebagian besar problem pada anemia post
partum terkait dengan penurunan kualitas hidup penderitanya. Meningkatnya
disabilitas pada penderita anemia post partum lambat laun akan berlanjut
menjadi depresi post partum. Depresi ini cenderung muncul lambat setelah
beberapa bulan post partum sebagai akibat akumulasi dari disabilitas yang
diawali dengan peningkatan fatigue score
(John, 2005).
Dilaporkan oleh WHO anemia
terkait dengan 20% dari 515.000 kematian maternal pada tahun 1995 (Dodd et.
al., 2008). Dikarenakan problem klinis yang serius sebagian besar baru akan
muncul ketika terjadi anemia berat dengan Hb<7g/dL, banyak klinisi yang
menganggap masalah anemia post partum sebagai masalah sepele, sehingga sering
kali diabaikan dan tidak mendapatkan penanganan serius (Alice, 2007).
Anemia yang dibiarkan tanpa tertangani dengan
baik lambat laun dapat berkembang menjadi penyakit jantung akibat anemia (AHD/Anemia Heart Disease) hingga
akhirnya menjadi gagal jantung kronis (CHF/Chronic
Heart Failure). Menangani penyakit ini ketika sudah memasuki tahap lanjut
tentu tidak efektif. Di samping prognosis yang buruk hingga ancaman kematian,
penanganan pada tahapan ini juga memakan biaya yang tinggi tanpa jaminan
kesembuhan. Oleh karenanya diperlukan penanganan serius sedini mungkin ketika
pasien tersebut pertama kali terdiagnosis anemia dengan gejala yang masih
ringan/subklinis (Silverberg, 2006).
Penyebab utama anemia pada
kehamilan dan post partum adalah defisiensi zat besi dan perdarahan (ACOG
Practice Bulletin, 2008). Anemia post partum ini biasanya bermula dari anemia
saat kehamilan. Kebutuhan akan besi selama kehamilan akan meningkat. Secara
fisiologis terjadi kenaikan volume plasma hingga 50% (1000 mL) dan total sel
darah merah naik hingga 25% (300 mL). Peningkatan jumlah cairan plasma darah
ini direfleksikan dengan penurunan kadar hemoglobin serta hematokrit dalam
darah (Bhandal dan Russell, 2006).
Sementara untuk kondisi anemia
post partum lebih banyak diakibatkan oleh kehilangan darah yang akut. Post
partum dengan hemoglobin <11 g/dL dijumpai pada 30% wanita setelah
melahirkan (Bhandal dan Russell, 2006). Sementara untuk anemia berat dengan
Hb<7g/dL dijumpai pada 10% wanita postpartum. Rata-rata kehilangan darah
lebih dari 1L saat persalinan didapatkan pada 5% persalinan (Bhandal dan
Russell, 2006).
Problem klinis ini sering kali
diabaikan dan bilapun mendapatkan pengobatan, pengobatan tersebut tidak
mencapai kinerja yang maksimal (Alice, 2007; Bhandal dan Russell, 2006; Breymann
et. al., 2000; Linda, 2002;). Manajemen terapi untuk anemia post partum ini
secara garis besar dibagi menjadi 3 macam. Cara yang pertama dengan transfusi
darah, yang kedua dengan besi oral, dan yang ketiga dengan besi intravena (Christian,
2006; Dodd et. al., 2008).
Ketiga cara tersebut memiliki
keuntungan serta kerugian masing-masing (Christian, 2006). Disebutkan oleh
Linda et. al. (2002) transfusi darah cukup sering digunakan dengan transfusion rates pada persalinan
vaginal berkisar antara 0,4% sd 1,6%. Meskipun cara ini sering dipakai ternyata
cara ini memiliki banyak kerugian. Cukup banyak literatur yang menyebutkan
transfusi darah sebagai terapi anemia post partum yang paling mahal sekaligus
paling tinggi risikonya (Alice, 2007). Risiko tersebut antara lain risiko
transmisi virus atau penyakit semisal Hepatitis, CMV, HIV, risiko reaksi alergi
dari ringan hingga reaksi anafilaksis, TRALI (Transfusion Related Acute Lung
Injury), dan reaksi hemolisis. Belum lagi kesulitan untuk mencari donor
darah menjadi masalah yang umum dijumpai saat ini (Alice, 2007).
Sedangkan untuk terapi anemia
post partum dengan besi oral yang dikatakan sebagai jenis terapi yang paling
tradisional, juga memiliki cukup banyak kekurangan, diantaranya butuh waktu
yang lama untuk dapat mengembalikan kadar hemoglobin menjadi normal dan
mengembalikan status besi, serta efek samping yang cukup beragam terkait dengan
rute absorbsinya. Efek samping yang sering terjadi diantaranya gangguan defekasi
(konstipasi), mual, muntah, dispepsia, diare, dan perasaan tak nyaman pada
mulut (Alice, 2007). Kekurangan lainnya adalah masalah kepatuhan untuk meminum
obat, yang harus diminum rutin setiap hari selama berminggu-minggu untuk
mencapai target terapi. Meskipun memiliki banyak kekurangan namun terapi ini
adalah terapi yang paling sering digunakan oleh klinisi di lapangan, dan
menjadi kebiasaan dalam peresepan obat pada ibu-ibu dengan anemia post partum
(Bhandal dan Russell, 2006).
Besi intravena adalah terapi
yang relatif baru untuk pengobatan anemia. Besi intravena diklaim mampu
mempercepat proses eritropoesis hingga 8x lebih cepat sehingga dapat
meningkatkan kadar hemoglobin dalam hitungan hari. Pada mulanya sediaan besi
intravena yang dipakai adalah besi dextran. Cukup tingginya angka reaksi
anafilaksis pada pemberian terapi ini menjadikan terapi ini kurang diminati
(Bhandal dan Russell, 2006). Dengan hadirnya sediaan besi sukrosa yang
dikatakan lebih efektif dibanding pendahulunya dengan efek samping yang lebih
minimal, maka jenis sediaan ini dapat menjadi pilihan terapi yang baik untuk
menangani anemia post partum (Bhandal dan Russell, 2006; Photis dan Alice,
2006; Dodd, 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar