Serviks adalah penting untuk hampir semua spesialis obstetri dan ginekologi. Bagi spesialis onkologi ginekologi serviks menjadi fokus untuk kemunculan keganasan. Serviks adalah bagian dari organ yang relatif mudah untuk diakses. Aksesibilitas ini berakibat pada kemungkinan screening untuk mendeteksi stadium awal kanker di bagian ini yang menghasilkan prognosis yang lebih baik untuk kanker serviks. Boyes telah menunjukkan bahwa ada hubungan linier antara tingkat screening dan reduksi kanker serviks (Richart et al., 1981). Akses yang mudah menuju serviks berlanjut aplikasi teknik radiasi yang menghasilkan beberapa dari tingkat kesembuhan keseluruhan terbaik untuk keganasan apapun yang ditemukan pada manusia.
Penyebab kanker serviks tidak diketahui, tetapi tampaknya berhubungan dengan lebih dari satu faktor yang dialami oleh serviks. Kanker lebih sering pada wanita dari kelas sosioekonomi yang lebih rendah dan berkaitan dengan koitus pertama pada usia yang masih muda dan dengan lebih dari satu orang. Herpes simplex virus tipe-2 (HSV-2) telah mendapatkan perhatian sebagai kemungkinan agen etiologis untuk kanker serviks. Saat ini, perhatian yang lebih besar diberikan pada infeksi human papilloma virus (HPV) pada serviks sebagai kemungkinan hubungan dengan etiologi karsinoma serviks.
1. Epidemiologi
Telah diketahui bahwa kanker serviks menunjukkan perubahan yang perlahan dalam perjalanan penyakitnya selama bertahun-tahun. Karena alasan ini, secara umum diusulkan bahwa Papanicolau smear periodik seharusnya dilakukan pada semua wanita setelah mereka menjadi aktif secara seksual. Dalam beberapa penelitian berskala besar tentang kasus karsioma in situ rata-rata usia hampir sama, yaitu antara 37 dan 42 tahun (Richart et al., 1981), tetapi ada sebuah tren persisten untuk kemunculan perempuan yang berusia lebih muda pada usia remaja dan dua puluhan. Seiring screening terhadap kelompok usia yang lebih muda menjadi semakin luas sepertinya penelitian selanjutnya akan menempatkan median usia insidensi pada dekade 30. Rata-rata usia wanita dengan kanker invasif adalah dari 5 hingga 10 tahun selanjutnya setelah karsinoma in situ. Selama neoplasia intraepitelial atau lesi preneoplastik penyakit menunjukkan tanpa tanda dan tanpa gejala. Bahkan pada awalnya kanker invasif menghasilkan sedikit gejala. Ukuran dan lokasi neoplasma serviks dalam serviks menentukan simptomatologinya. Gejala yang sering muncul dari kanker serviks eksofitik atau ektoservikal dihasilkan oleh traumatisasi yang mudah terjadi adalah perdarahan karena koitus atau douching. Neoplasma nekrotik juga menyebabkan discharge vagina yang berbau yang secara khas tipis dan berair tetapi sering memiliki warna kuning hingga coklat. Nekrosis tumor juga berakibat pada perdarahan vagina spontan. Pada akhirnya, kanker ini menjadi jelas secara klinis, mereka biasanya menghasilkan perdarahan vagina irreguler, leukorrhea, nyeri saat koitus, dan dysuria sebagai manifestasi klinis dominan. Kolposkopi memberikan pandangan steroskopis dengan pembesaran yang cukup terhadap serviks dan kemunculan pola vaskuler yang sangat abnormal biasnya menyertai kanker serviks invasif.
Berbagai penelitian epidemiologis yang dilaporkan dalam literatur telah menunjukkan adanya hubungan positif antara kanker serviks dan berbagai faktor sosial independen. Kanker serviks lebih sering pada kelas sosioekonomi yang lebih rendah, mereka yang melakukan hubungan seksual pada usia muda, mereka dengan pasangan seks yang banyak atau dengan pasangan yang sembarangan, dan wanita multipara. Di Amerika Serikat insidensi kanker serviks yang lebih besar ditemukan pada kelompok kulit hitam dan Meksiko-Amerika, dan hal ini tidak diragukan lagi berkaitan dengan status sosioekonomi mereka yang lebih rendah. Meningkatnya kemunculan kanker serviks pada wanita multipara kemungkinan berhubungan dengan faktor lain, seperti usia saat pernikahan pertama kali dan usia pada saat kehamilan pertama kali. Kenyataan ini digabungkan dengan insidensi penyakit yang tinggi pada pekerja seks komersial menghasilkan sebuah kesimpulan kuat bahwa koitus pertama kali pada usia muda dan lebih dari satu pasangan seksual meningkatkan probabilitas kemunculan cervical intraepithelial neoplasia (CIN).
Salah satu penelitian awal tentang kanker serviks yang menggunakan teknik epidemiologis dilakukan oleh Demenico Rigoni-Stern pada pertengahan abad 19 (<iller dan Rawls, 1981). Ia menyelidiki frekuensi perkawinan dalam kaitannya dengan resiko kanker uterus dan payudara. Kesimpulannya, didasarkan pada penelitian terhadap catatan kematian, dimana lebih banyak kanker rahum ditemukan pada wanita yang menikah daripada wanita yang tidak menikah dan sering ditemukan pada wanita berusia antara 30 dan 40 tahun, frekuensi kanker berlipat ganda dalam dua dekade usia selanjutnya dan kemudian turun. Penelitian vase-control retrospektif lainnya dilakukan oleh Terris dan Oalmann menunjukkan bahwa karsinoma serviks memiliki hubungan positif kuat dengan usia saat koitus pertama kali, usia saat pernikahan pertama kali dan jumlah pernikahan, tetapi tidak ada hubungan dengan jumlah kelahiran ketika jumlah kelahiran disesuaikan dengan usia saat pernikahan pertama kali, tetapi Rotkin tidak menerima hipotesis bahwa sirkumsisi mencegah resiko karsinoma serviks, mempercayai bahwa faktor utama adalah usia dini saat koitus pertama kali dan lebih dari satu pasangan seksual (Bush, 1979).
Merokok kini juga muncul sebagai sebuah faktor independen dalam proses penyakit. Sebuah penelitian case control di Toronto, Kanada, menunjukkan dua kali lipat resiko karsinoma sel skuamosa serviks invasif diantara mereka yang masih merokok relatif terhadap wanita yang tidak pernah merokok (Clarke et al cit Chou, 1991). Efek merokok yang signifikan ini tidak berkurang setelah penyesuaian terhadap usia, tingkat pendidikan, dan indeks perilaku seksual. Hubungan ini didukung oleh pengamatan bahwa mantan perokok memiliki resiko yang lebih rendah daripada yang masih merokok (1.7 vs 2.3), dan bahwa resiko meningkat seiring dengan jumlah rokok yang dihisap (2.2 untuk kurang dari setengah pak per hari dengan 2.9 untuk lebih dari satu pak per hari).
Infeksi herpes simplex virus (HSV) dan kanker serviks dihubungkan ketika diketahui bahwa wanita dengan infeksi genital yang disebabkan oleh HSV memiliki frekuensi displasia dan karsinoma serviks yang tinggi. Dalam penelitian klinis dan laboratorium tidak ada hasil jelas tentang efek karsinogenik dari HSV-2 pada binatang eksperimental, meski beberapa peneliti telah memicu secara in vitro transformasi malignan pada binatang pengerat dan kultur sel manusia secara in vitro. Karena alasan ini petunjuk bahwa HSV-2 menyebabkan tumor pada manusia hingga kini masih tergantung pada bukti yang bersifat sirkumstansial. Pada tahap ini bukti tidak langsung tambahan diperlukan untuk mengkonsolidasikan hubungan antara kanker serviks dan HSV-2. Sebuah teori menyebutkan bahwa infeksi dari HSV cenderung untuk menyebabkan dua tipe reaksi. Organisme menempel pada permukaan sel dan memasukkan material genetik mereka ke dalam sel. Dalam infeksi produktif akut virus bereplikasi untuk menghasilkan seluruh partikel yang sering bersifat sitolitik dan dapat menyebabkan sel yang terinfeksi untuk mati. Hanya ketika sebagian material genetik direplikasi (infeksi nonproduktif), sel tidak mati, sebagai akibatnya, sel selanjutnya membawa tidak hanya material genetiknya tetapi juga virus infeksius setiap kali terjadi pembelahan sel. HSV-2 tampaknya memiliki efek karsinogenik hanya pada status infeksius nonreproduktif (Disaia & Creasman, 1989). Tetapi sebagian besar peneliti hari ini tidak menganggap HSV-2 sebagai kandidat serius untuk agen etiologis neoplasia serviks.
Coppleson dan Reid telah mengusulkan bahwa sperma berisi agen yang menghasilkan perubahan dalam epitelium serviks tetapi hipotesis ini sulit untuk dibuktikan atau disanggah (Bush, 1979). Lebih terkini faktor laki-laki dalam epidemiologi lesi kanker serviks telah mendapatkan banyak perhatian. Telah diketahui bahwa karsinogen harus ditularkan lewat koitus. Tampaknya laki-laki tertentu lebih karsinogenik daripada yang lain dan direplikasi (infeksi nonproduktif), sel tidak mati, sebagai akibatnya, sel selanjutnya membawa bahwa karsinogenesis berkaitan dengan pekerjaan laki-laki. Kesser berupaya untuk mengevaluasi lebih lanjut peran laki-laki dalam karsinogenesis serviks dengan sebuah penelitian epidemiologis. Metodenya melibatkan pengamatan langsung terhadap dua kelompok besar wanita, satu kelompok menikah dengan laki-laki yang sebelumnya memiliki istri yang mengalami kanker serviks dan satu kelompok lainnya menikah dengan laki-laki tanpa riwayat ini, ia menemukan 14 dan 4 dengan kanker serviks.
Human papilloma virus membawa informasi genetik dalam sebuah molekul DNA rantai ganda. Infeksi yang disebabkan oleh virus ini biasanya tidak sistemik tetapi menyebabkan infeksi lokal yang bermanifestasi sebagai lesi warty papillary condylomatous. Sel yang terinfeksi HPV berisi dengan partikel virus yang terbentuk penuh dan DNA mereka. Repliaksi virus hanya terjadi dalam nuklei sel, dimana sintesis DNA rendah. HPV seperti HSV-2 mungkin juga memiliki bentuk intranuklear laten dimana hanya fragmen DNA virus yang diekspreiskan. Lebih dari 40 HPV yang berbeda secara biokimia dan immunologis menggunakan hibridisasi molekuler DNA HPV. Pengetahuan tentang peran HPV sebagai agen etiologis dalam neoplasia serviks telah mengalami kemajuan pesar dalam beberapa tahun terakhir. Meski belum ada bukti adanya hubungan sebab akbat, ada semakin banyak bukti assosiatif bahwa virus ini penting sebagai kemungkinan agen etiologis dalam neoplasia skuamosa. Richart mempublikasikan sebuah review tentang serviks yang mengandung HPV pada 90 hingga 95% kasus; sebagian besar kultur jaringan berasal dari kanker serviks yang mengandung HPV; dan dugaan prekursor sel skuamosa yang mengandung HPV pada sekitar 90% kasus. Meski HPV 6/11 dapat ditemukan dalam lesi CIN, hingga kini tipe ini masih belum teridentifikasi pada lebih dari pada lebih dari 600 karsinoma sel skuamosa invasif. Hal ini cenderung mengikuti pola normal lesi HPV 6/11 dimana terdapat tingkat regresi yang tinggi, tingkat persisten yang rendah, dan hampir tidak ada progresivitas. Sebaliknya, HPV 16/18/31 telah ditemukan dalam karsinoma sel skuamosa, dalam adenokarsinomad dan adenokarsinoma in situ. Lesi yang terkait dengan tipe ini jarang mengalami regresi spontan dan memiliki derajat tinggi progresivitas dan persistensi. Telah diketahui dengan baik bahwa tiga kondisi harus terpenuhi untuk perkembangan CIN: wanita memiliki resiko, hubungan seksual dengan laki-laki, dan karsinogen.
Satu faktor lain yang telah dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker serviks adalah hubungan antara stillboestrol (diethylstillboestrol, DES) dan estrogen sintetis lainnya dan adenokarsinoma clear cell serviks dan vagina. Herbst di Boston menunjukkan kemunculan karsinoma clear cell yang jarang terjadi pada serviks dan vagina pada wanita muda yang dilahirkan dari ibu yang telah mendapatkan estrogen untuk aborsi imminens (Bush, 1979). Pasien yang paling muda berusia 7 tahun pada waktu diagnosis, dan yang paling tua berusia 34 tahun, dengan frekuensi puncak pada usia 19 tahun untuk pasien dengan riwayat paparan DES. Resiko kemunculan karsinoma ini pada wanita yang terpapar DES hingga usia 24 tahun diperkirakan sebesar 0.14 hingga 1.4 per 1.000.
2. Insidensi
Insidensi kanker serviks di Indonesia masih belum pernah dilaporkan, karena tidak ada register kanker nasional. Tetapi, kanker serviks adalah keganasan paling sering pada perempuan, menurut register kanker berbasis patologi pada tahun 1990 frekuensi relatif kanker serviks adalah 29.63% dan di Yogyakarta adalah sebesar 25.52% (Dep Kes, 1990). Di negara miskin dan berkembang kanker serviks masih menjadi tipe kanker ginekologis yang paling sering dan merupakan pembunuh nomor satu diantara semua tumor malignan pada sistem reproduksi perempuan. Kanker serviks invasif kini merupakan sebuah penyakit yang jarang terjadi di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Eropa Barat. Insidensi yang rendah ini secara umum disebabkan karena efikasi dalam mendeteksi dan eradikasi lesi prekanker, disebabkan karena penggunaan luas Papanicolau smear dan kolposkopi. Di Eropa Barat, kanker serviks invasif merupakan keganasan ginekologis nomer dua paling sering setelah kanker ovarium. Di Inggris pada tahun 1988 hampir 5,000 kasus baru terdiagnosis, dengan insidensi 169 kasus/juta/tahun. Program screening cervical smear nasional Inggris telah efektif dalam mengurangi jumlah wanita yang muncul dengan karsinoma in situ. Insidensi puncak untuk kanker invasif serviks adalah pada 35 tahun dan terdapat resiko yang tetap signifikan hingga usia 75 tahun (Earl, 1995). Alexio (1991) menyebutkan bahwa tingkat insidensi kanker serviks di Brazil bervariasi dari 23.7-83.2/100,000 dan di Amerika Serikat pada tahun 1978 insidensi sebesar 6.8/100,000 diantara wanita kulit putih dan 14.7/100,000 diantara wanita kulit hitam.
3. Patologi neoplasia intraepitelial serviks
Canlas (1994) menyebutkan bahwa publikasi paling awal tentang karsinoma serviks in situ kemungkinan adalah oleh Schauenstein pada tahun 1908 yang menunjukkan kemiripan luar biasa antara sel karsinoma sel skuamosa invasif dan perubahan dalam lapisan epitelial serviks yang menunjukkan tidak ada infiltrasi ke dalam jaringan stroma yang mendasari. Ia berpendapat bahwa perubahan tersebut seharusnya sudah disebut dengan kanker karena ia menduga bahwa karsinoma serviks infiltratif selanjutnya berasal dari tipe epitelium ini. Kemudian, Schottlander dan Kemauner memperkenalkan istilah “perubahan in situ” untuk perubahan mikroskopis ini. Berbagai istilah lain telah digunakan untuk karsinoma in situ, dan telah menyebabkan kebingungan luar biasa dalam literatur dan pikiran para klinisi berusaha untuk menginterpretasikan makna mereka (tabel 1).
Ada banyak lesi yang mirip dengan karsinoma in situ (CIS), lesi ini disebut dengan hiperplasia sel basalis dengan atipia, lesi borderline, hiperplsaia epitelial atipikal, displasia, metaplasia atipikal, dsb. Berlawanan dengan CIS< lesi ini dipercayai memiliki perbedaan secara biologis karena mereka tidak berkembang menjadi karsinoma invasif dan, dengan demikian, harus dipisahkan dan ditangani secara berbeda. Richart menunjukkan dalam penelitiannya bahwa displasia merupakan perubahan epitelial yang progresif yang pada akhirnya berlanjut dengan CIS dan karsinoma invasif setelah bertahun-tahun (Canlas 1994). Konsep perburukan displasia menjadi CIS disebut sebagai cervical intraepithelial neoplasia atau CIN. Penggunana konsep menyatukan displasia dengan CIS ke dalam CIN sebagai sebuah entitas penyakit. Ada beberapa penolakan untuk istilah neoplasia dalam CIN karena konotasi neoplastik yang mungkin berakibat pada treatment berlebihan. Kemudian, istilah squamous intraepithelial lesion telah diusulkan untuk mengganti CIN.
Kanker serviks dimulai sebagai sebuah lesi intraepitelial pada squamocolumnar junction pada zona transformasi. Biasanya memiliki satu batas pada squamocolumnar junction dan kontur bulat pada perbatasannya dengan epitelium zona transformasi nonneoplastik. Lesi pada umumnya dimulai sebagai sebuah kejadian satu sel. Perburukan dari kejadian satu sel menjadi kanker invasif terjadi sebagai serangkaian kejadian acak, dan perjalanan penyakit biasanya dapat disebut sebagai sebuah kontinuum dimana istlah “Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN” telah digunakan (Richart et al., 1981).
4. Gambaran klinis dan manajemen CIN
Telah ada kecenderungan untuk menilai abnormalitas menjadi; CIN 1 sesuai dengan displasia minor, CIN 2 sesuai degan displasia moderat dan CIN 3 sesuai dengan displasia mayor atau berat dan/atau CIS. Pembagian lesi ini menghasilkan pendekatan yang lebih rasional untuk manajemen. Hampir semua setuju bahwa status prekursor terjadi dalam rangkaian yang memburuk hingga menjadi kanker invasif, tetapi masih ada perbedaan pendapat tentang probabilitas transisi, yaitu progresivitas atau regresi, antara berbagai stadium dan skala waktu mereka. Sebagai contoh, tingkat perburukan displasia menjadi CIS bervariasi dari 0% hingga 70% dan angka yang sama untuk CIS menjadi kanker invasif bervariasi dari semua atau sebagian besar 20% hingga 10%. Walton mengatakan bahwa skala waktu karsinoma in situ menjadi kanker invasif bervariasi dari 1 hingga 20 tahun (Coppleson, 1981).
Karsinoma in situ telah dilaporkan pada semua usia dari pertengahan remaja hingga pertengahan 80-an dan rata-rata usia hampir sama antara 37 hingga 42 tahun, tetapi tampaknya ada sebuah kecenderungan yang persisten untuk kemunculan wanita yang lebih muda dalam masa remaja dan usia 20an. Seiring screening kelompok usia muda menjadi semakin luas sepertinya penelitian lebih lanjut akan menempatkan median insidensi usia pada dekade 30an.
Lesi preneoplastik memiliki karakteristik sebagai bebas tanda klinis karena mereka bebas gejala. Dengan demikian inspeksi hanya dengan mata telanjang biasanya mengungkapkan adanya serviks normal atau kadang patch berwarna merah (erythroplakia) atau putih (leukoplakia), yang kemunculannya sering diduga sebagai abnormal. Pemeriksaan kolposkopi paling sering menunjukkan patch merah sebagai zona transformasi normal atau epitelium sel kolumner di bawahnya yang bagi mata telanjang sering tampak sebagai area yang paling merah dan paling menonjol. Sebagian besar patch putih ternyata keratosis atau parakeratosis dengan sebagian besar memiliki signifikansi benigna. Di sisi lain lesi kolposkopi jika muncul akan sering berada pada lokus yang tidak terkait dengan fitur yang bagi mata telanjang tampak lebih jelas ini. Teknik kolposkopi dapat berhasil menentukan lokasi dari 82 hingga 97% area dengan lesi yang kemudian ditunjukkan secara histologis sebagai karsinoma in situ atau displasia berat. Ini merupakan sifat unik dari metode kolposkopi dimana operator yang terampil dapat membedakan antara mana yang signifikan dan mana yang tidak.
Diagnosis CIN sebelum penggunaan kolposkopi dipastikan dengan random punch biopsy (biopsi acak) dan/atau conization. Setelah kemunculan kolposkopi, punch biopsi dengan pengarahan kolposkopi telah menjadi metode utama diagnosis khususnya dalam sekelompok besar wanita dengan hasil pemeriksaan smear abnormal yang dinilai dapat ditangani dengan treatment yang menggunakan prosedur konservatif baru, cryosurgery, electrocoagulation diathermy atau laser CO2.
Kuretase endoserviks dilakukan jika temuan kolposkopi tidak memuaskan atau jika lesi tidak tampak secara keseluruhan, ada kanker invasif kecil yang terlewatkan dalam kanal, khususnya pada wanita postmenopause.
Indikasi conization berkurang ketika terdapat hasil pemeriksaan kolposkopi yang memadai. Sebuah konsensus mengalami perubahan yang akan membatasi prosedur untuk kasus berikut ini (Coppleson, 1981):
1. Lesi yang meluas ke dalam kanal di luar jangkauan komposkopi
2. Lesi yang fokal tetapi menempati setengah atau lebih area ektoserviks.
3. Temuan abnormal pada kuretase endoserviks
4. Kecurigaan “minimal” atau “patut dipertayakan” atau “invasi mikroskopis” pada biopsi yang diarahkan dengan kolposkopi untuk menyingkirkan kemungkinan invasi yang lebih dalam.
5. Hasil pemeriksaan smear ulang abnormal yang memunculkan dugaan lesi signifikan tanpa ada lesi kolposkopi khususnya jika seluruh zona transformasi tidak tampak dengan kolposkopi.
6. Lesi dimana hasil smear mengindikasikan kemungkinan penyakit invasif daripada yang diindikasikan oleh biopsi dengan pengarahan kolposkopi
7. Pada wanita yang kemungkinan tidak akan kembali untuk follow-up setelah metode manajemen konservatif.
Penanganan lesi intraepitelial serviks telah menjadi masalah akademis. Tampaknya ada tiga aliran dalam penggunaan manajemen neoplasia intraepitelial serviks:
1. Tetap menggunakan histerektomi untuk lesi dengan grade yang lebih serius seperti CIN grade 3 dengan pembatasan penggunaan conization untuk tujuan terapetik untuk wanita yang lebih muda dengan kemungkinan kehamilan di masa mendatang. Diduga yang mendukung alternatif ini tidak menggunakan kolposkopi
2. Memindahkan treatment semua grade dan sebagian besar kasus CIN ke klinik rawat jalan
3. Diantara kedua sudut pandang yang saling belawanan adalah sebuah kelompok yang menunjukkan meningkatnya konservaitsme dengan penggunaan lbih sering conization terapetik dan mengurangi penggunaan histerektomi dan bekompromi dengan konservatisme kelompok kedua dengan mengeksklusi lesi CIN grade 3 dari manajemen dengan destruksi fisik.
Telah diketahui bahwa kanker serviks mengalami perubahan secara perlahan selama perjalanan penyakit bertahun-tahun. Selama evolusi yang lama ini, abnormalitas sitologis tidak menghasilkan manifestasi klinis. Karena alasan ini, secara umum muncul dugaan bahwa pemeriksaan Papanicolau smear periodik seharusnya dilakukan pada semua wanita setelah mereka telah menjadi aktif secara seksual. Dalam beberapa penelitian berskala besar terhadap kasus karsinoma in situ rata-rata usia hampir sama, yaitu antara 37 dan 42 tahun (Richart et al., 1981), tetapi ada sebuah tren tetap untuk kemunculan wanita yang berusia lebih muda pada usia remaha dan usia 20an. Seiring screening kelompok usia muda menjadi tersebar luas sepertinya penelitian selanjutnya akan menempatkan median usia insidensi dalam dekade ketiga. Rata-rata usia wanita dengan kanker invasif adalah 5 hingga 16 tahun lebih tua daripada mereka dengan karsinoma in situ. Selama neoplasia intraepitelial atau lesi preneoplastik penyakit memiliki karakteristik bebas tanda klinis karena mereka bebas gejala. Bahkan kanker invasif awal hanya menghasilkan beberapa gejala. Ukuran dan lokasi neoplasma serviks di dalam serviks menentukan simptomatologinya. Gejala yang sering muncul dari kanker serviks eksofitik atau ektoserviks yang dihasilkan oleh trauma sederhana adalah perdarahan karena koitus atau douching. Neoplasma nekrotik juga menyebabkan discharge vagina yang berbau dengan karakteristik tipis dan berair tetapi sering memiliki warna kuning hingga coklat. Nekrosis tumor juga berakibat pada perdarahan vagina spontan. Pada akhirnya, ketika kanker ini menjadi jelas secara klinis, mereka biasanya menghasilkan perdarahan vagina irreguler, leukorrhea, nyeri saat koitus, dan dysuria sebagai manifestasi klinis yang dominan. Kolposkopi memberikan padangan stereotskopis dengan pembesaran yang cukup pada serviks dan munculnya pola vaskuler yang sangat abnormal biasanya menyertai kanker serviks invasif.
Praktek manajemen oleh kelompok ketiga masih belum pasti karena masih ada kecemasan tentang kemungkinan temuan buruk dalam follow-up jangka panjang disertai dengan ketakutan melewatkan atau kurang penanganan lesi invasif.
5. Patologi karsinoma serviks mikroinvasif dan invasif tersembunyi
Transisi dari karsinoma in situ menjadi pertumbuhan invsif adalah poin penting dalam perkembangan kanker. Untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman adalah penting untuk mendefinisikan beberapa terminologi
1. Invasi stroma dini adalah upaya pertama pada invasi stroma, fokus invasif hanya berupa tonjolan epitelium matriks dimana dalam irisan serial masih dalam hubungan erat. Kedalaman invasi tidak dapat diukur secara makroskopis, selalu 1 mm atau kurang di bawah dasar epitelium matriks.
2. Mikrokarsinoma, tumor telah mengalami perkembangan karena pertumbuhan lebih lanjut dan percabangan formasi invasif, tampak secara makroskopis dan dapat diukur, kedalaman invasi maksimal 5 mm, baru-baru ini ada kecenderungan untuk mengukur lesi secara volumetrik. Volume yang diusulkan sebagai batas atas adalah 500 mm3.
Kemampuan penyebaran metastatik dari invasi stroma dini menurut pengalaman klinis tidak akan berakibat pada penyebaran metastatik (Burghardt & Holzer, 1977). Dengan demikian, mempertimbangkan hanya kasus mikrokarsinoma yang dapat diukur dengan tepat frekuensi penyebaran metastatik sangat rendah dalam tumor yang berukuran hingga 500 mm3 (Boutselis et al., 1971; Burghardt & Holzer, 1977). Lohe pada tahun 1978 melaporkan tentang 285 pasien dengan invasi stroma dini dan 134 pasien dengan mikrokarsinoma, dalam penelitian ini 72% dengan invasi stroma dini dan 41% dengan mikrokarsinoma mendapatkan treatment dengan pembedahan konservatif (conization dan histerektomi simpel) (Disaia & Creasman, 1989). Setelah follow-up jangka panjang tidak ada dari pasien dengan invasi stroma dini yang meninggal, dan tiga pasien dengan mikrokarsinoma mengalami rekurensi dan meninggal. Menggunakan kriterianya, Lohe memprediksi kurang dari 1% insidensi metastasis nodus limfatikus dalam mikrokarsinoma dan hampir tidak ada dalam invasi stroma dini.
Gejala kanker serviks dini kemungkinan adalah discharge vagina tipis, berair dan dengan sedikit darah yang sering kali tidak dikenali oleh pasien. Gejala klasik adalah metrorrhagia intermiten tanpa nyeri, pada walnya berupa contact bleeding, jika malignansi membesar episode perdarahan menjadi lebih berat, lebih sering dan dengan durasi lebih lama.
Treatment kanker serviks invasif ditentukan dengan mempertimbangkan pertanyaan tentang bagaimana untuk memberikan treatment terbaik kepada pasien. Langkah spesifik biasanya ditentukan oleh usia dan kesehatan pasien secara umum, sejauh mana kanker telah meluas, dan kemunculan dan sifat abnormalitas yang menjadi penyulit. Dalam praktek bedah tradisional, infiltrasi menuju stroma oleh sel epitelial memerlukan pembuangan melalui pembedahan. Pendekatan radikal akhir-akhir ini menjadi subjek perdebatan. Banyak dari lesi ini kini ditangani dengan langkah konservatif dengan pemeriksaan follow up jangka panjang. Dengan demikian penilaian terhadap posisi saat ini menunjukkan bahwa wanita dengan lesi ini dibagi ke dalam dua kelompok; mereka dengan occult carcinoma (stadium Ib occult) dengan treatment menggunakan langkah radikal seperti histerektomi radikal atau radiasi radikal dan mereka dengan karsinoma mikro invasif (stadium Ia) beberapa diantaranya mendapatkan treatment radikal dan sebagian besar dengan prosedur yang lebih konservatif seperti histerektomi simpel atau bahkan conization terapetik dimana kemungkinan untuk memiliki anak masih menjadi sebuah faktor. Muncul perbedaan pendapat dalam pendekatan yang mencerminkan kesulitan klinis dalam mempertimbangkan dua aspek kondisi: di satu sisi kemungkinan metastasis nodus limfatikus, rekurensi lesi dan kematian karena kanker dan di sisi lain morbiditas dan bahkan mortalitas yang berkaitan dengan langkah terapetik radikal.
Karsinoma serviks invasif klinis
Mitra melaporkan bahwa karsinoma serviks invasif terjadi pada rata-rata usia 45 tahun, 10 tahun lebih tua daripada rata-rata usia karsinoma serviks in situ (Ostergard, 1981). Dalam tahun-tahun terakhir ini ada kecenderungan menuju puncak kemunculan karsinoma serviks pada usia yang lebih muda. Earl (1995) menyebutkan di Inggris dan negara Eropa lainnya insidensi puncak adalah pada 35 tahun.
Sayangnya, kanker serviks tidak memiliki gejala pada stadium preinvesif, manifestasi mungkin hanya berupa hasil Papanicolau smear abnormal selama pemeriksaan pelvis rutin atau evaluasi kolposkopi rutin yang menunjukkan adanya abnormalitas. Bahkan sedikit gejala yang akan mncul pada awal karsinoma invasif. Selain itu, ukuran dan lokasi kanker serviks dalam serviks menentukan gejala. Gejala yang sering muncul dari sebuah kanker serviks eksofitik atau ektoserviks yang dihasilkan karena trauma sederhana adalah perdarahan karena hubungan seksual atau douching. Neoplasma nekrotik juga menyebabkan perdarahan vagina spontan dan discharge vagina berbau yang secara khas tipis dan berair, tetapi sering berwarna kuning hingga coklat. Neoplasia serviks eksofitik atau lanjut akan menunjukkan perdarahan vagina yang tidak bisa diprediksi dan discharge lebih menonjol dan lebih banyak. Adalah penting untuk mengetahui bahwa perubahan apapun dalam pola perdarahan menstruasi pasien adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kanker serviks atau endometrial, khususnya jika pasien berusia lebih dari 35 tahun.
Neoplasma menyebar ke arah lateral ke dalam ligamen kardinal dan uterosakral dan ke bawah menuju vagina. Menuju jaringan parametrium mengganggu ureter dan berbagai struktur yang ada di dalam dinding pelvis. Invasi menuju nervus dan tulang menghasilkan nyeri yang hanya merespon sementara terhadap narkotika. Keterlibatan nodus limfatikus berakibat pada oklusi yang menyebabkan edema di dalam ekstrimitas bawah. Keterlibatan neoplastik pada ureter menyebabkan penyempitan lumen secara progresif yang menyebabkan uremia pada stadium lanjut penyakit. Penyebaran ke arah anterior dan posterior masing-masing ke kandung kemih dan rektum, terjadi pada akhir perjalanan penyebaran penyakit. Penyebaran pada kandung kemih atau rektum mengakibatkan gejala frekuensi, disuria, hematuria, tenesmus, diare, perdarahan rektum dan inkontinensia dan pada akhirnya fistula. Gejala lain yang mungkin terjadi pada stadium lanjut termasuk anemia, penurunan berat badan dan cachexia.
Neoplasma endoserviks pada awalnya menunjukkan pertumbuhan yang terbatas pada endoserviks dan menghasilkan sebuah serviks dengan pembesaran noduler, keras, dan kuat yang disebut dengan barrel shaped cervix. Varian klinis ini sering membingungkan pemeriksa dan menyebabkan penundaan dalam diagnosis dan treatment.
Penyebab kematian pasien kanker serviks
Penyebab kematian diantara pasien yang mendapatkan treatment untuk kanker serviks di Roswell Park Memorial Institute adalah gagal ginjal sebesar 37%. Penyebab kematian paling sering nomor dua adalah peritonitis dan di tempat ketiga adalah perdarahan. Mekanisme uremia dan pyelonefritis adalah obstruksi ureter oleh tumor. Dalam tahun-tahun terakhir ini, telah ada perubahan luar biasa dalam penyebab kematian diantara pasien kanker serviks yang mendapatkan treatment. Katz dan Davis meninjau laporan otopsi dari 133 pasien yang meninggal sebelum 1965 dan 30 pasien yang meninggal setelah tahun 1965, mereka menemukan penurunan yang luar biasa dalam insidensi uremia sebesar 1 (3.3%) dari 30 pasien memiliki blokade ureter dan uremia setelah 1965 (Sotto, 1994a). Insidensi turin dari 27.7% menjadi 3.3%. dan mereka menemukan penyebab kematian adalah emboli pulmoner, infark miokard, bronkhopneumonia, cachexia dan septisemia.
6. Tahapan kanker serviks
Staging kanker serviks mengikuti persetujuan internasional pada International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) (tabel 2). Prosedur staging didasarkan pada pemeriksaan klinis, lebih disukai dengan pasien dalam keadaan teranestesi. Meski banyak center bergantung pada pemeriksaan pelvis pada pasien sadar. Idealnya, baik spesialis ginekologi dan ahli terapi radiasi ikut berpartisipasi dalam evaluasi awal dan proses staging.
Ada dua skema staging lainnya. Salah satunya sebagai alternatif untuk FIGO adalah klinis dan yang kedua pasca pembedahan. Untuk mendorong adanya keseragaman dalam penentuan stadium klinis semua kanker skema TNM diperkenalkan oleh International Union Against Cancer (UICC). Dalam skema ini Y = tumor, N = keterlibatan nodus limfatikus, dan M = metastasis jauh. T1, T2a, T2b, T3 dan T4 sama dengan stadium FIGO masing-masing. Berdasarkan kesulitan yang nyata dalam penilaian keterlibatan nodus limfatikus secara klinis, Nx mengindikasikan tidak adanya keterlibatan nodus limfatikus yang jelas adalah temuan yang paling sering, dan tidak adanya metastasis jauh dilaporkan M0.
7. Diagnosis kanker serviks
Seperti penyakit lainnya, petunjuk untuk diagnosis kanker serviks dapat diperoleh dari pengambilan anamnesis klinis mendalam dan keluhan utama yang menyebabkan pasien mencari konsultasi medis. Riwayat penyakit sekarang memberi tahu bagaimana penyakit bermula, durasi dan tingkat keparahan gejala. Pemeriksaan fisik memfokuskan pada sistem genital akan memastikan kecurigaan kita. Dengan kanker serviks invasif nyata secara klinis mudah untuk menegakkan diagnosis kanker serviks, tetapi diagnosis kanker seharusnya ditentukan dengan pemeriksaan histologis. Biopsi telah menjadi teknik pilihan untuk eksklusi kanker invasif dengan cara histologi. Dengan layanan kolposkopi yang baik, punch biopsy dengan pengarahan kolposkopi telah menjadi metode diagnosis utama khususnya di sekelompok besar wanita dengan hasil smear abnormal yang dinilai sebagai dapat ditangani dengan treatment menggunakan prosedur konservatif yang lebih baru, seperti cryosurgery, electrocoagulation diathermy atau lase CO2.
Gambaran klinis pasien dengan kanker invasif dapat dibagi ke dalam dua kelompok utama: (1) pasien yang memiliki tumor yang tampak secara makroskopis dan (2) pasien dengan hasil Pap smear abnormal tanpa neoplasia yang jelas. Dalam kelompok pertama tidak ada keahlian khusus untuk konfirmasi diagnosis menggunakan biopsi. Kelompok kedua, penentuan diagnosis pasti memerlukan banyak keahlian karena kebutuhan pemeriksaan kolposkopi untuk menyingkirkan secara definitif kemungkinan kanker invasif.
8. Evaluasi pre treatment kanker serviks
Sebuah evaluasi pretreatment mendalam terhadap pasien dengan karsinoma serviks invasif dapat membantu pasien membuat keputusan bijak tentang modus treatment dan teknik (tabel 4).
Evaluasi pretreatment pasien memiliki beberapa tujuan. Tujuan paling penting adalah penentuan sejauh mana proses penyakit, baik dalam pelvis dan jika memungkinkan di tempat lain dalam tubuh. Yang kedua, mengevaluasi proses untuk menyingkirkan kemungkinan entitas penyakit penyulit (tabel 3). Kemunculan penyakit penyulit sering memerlukan perubahan dalam rencana terapi. Dengan demikian evaluasi ini memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis, selain memberikan catatan tentang gejala yang ada sekarang dan riwayat ginekologis seharusnya juga mencatat penyakit sekarang dan sebelumnya yang mungkin dapat berpengaruh pada atau mengubah treatment.
Kondisi yang menyebabkan fibrosis dan adhesi pelvis dan mungkin berpengaruh pada usus halus dalam pelvis meningkatkan resiko secara signifikan dalam beberapa komplikasi usus berat setelah terapi radiasi. Kondisi ini mencakup pembedahan pelvis dan abdomen sebelumnya, penyakit inflamatorik pelvis, endometriosis, kehamilan ektopik. Pengambilan anamnesis tentang kondisi ini dapat berpengaruh pada pemilihan treatment, khususnya dengan penyakit stadium awal.
Pemeriksaan laboratorium termasuk menilai fungsi hematologis, renal dan hepar. abnormalitas apapun harus diperiksa lebih lanjut. Radiografi diagnostik minimal mencakup roentgen thoraks, baik posteroanterior (PA) dan lateral, dan pyelogram intravena.
9. Manajemen pasien kanker serviks
Treatment kanker serviks tergantung pada stadium neoplasma. Setelah dinyatakan terdapat neoplasia intraepitelial serviks dan kemungkinan kanker serviks invasif disingkirkan dengan penggunaan pemeriksaan histologi dan kolposkopi, untuk karsinoma invasif, tiga modalitas terapi biasanya dilakukan: eksisi pembedahan, hanya radiasi, atau kombinasi pembedahan dan radiasi. Untuk sebagian besar, semua stadium di atas stadium I dan stadium Iia ditangani dengan radioterapi. Di banyak institusi pembedahan dibatasi pada stadium I dan Iia penyakit. Kemoterapi digunakan sebagai terapi adjuvan, tetapi hasil dari berbagai jenis sitostatika dan beberapa kombinasi masih belum bisa diprediksi. Park et al (1993) menemukan bahwa kombinasi radioterapi dan kemoterapi tampaknya lebih unggul daripada hanya radioterapi.
Setelah diagnosis kanker invasif ditegakkan, pertanyaan yang muncul kini adalah bagaimana cara penanganan terbaik bagi pasien. Sebenarnya ada dua modalitas treatment yang saat ini digunakan dalam kanker serviks invasif, radioterapi dan pembedahan. Pemilihan terapi tergantung pada beberapa faktor, yaitu: (1) ketersediaan fasilitas radiasi yang baik untuk memberikan terapi radiasi yang memadai, (2) ketersediaan spesialis ginekologi yang terlatih da berpengalaman dan juga spesialis onkologi radiasi dan (3) orientasi dan latar belakang spesialis onkologi ginekologis yang bertanggung jawab atas pasien. Di dalam klinik tanpa ada radioterapi yang memadai, dan terdapat spesialis onkologi ginekologis, pembedahan akan didukung dalam lesi awal yang masih dapat dioperasi. Di sisi lain, jika radioterapi yang memadai trsedia, pembedahan tidak akan digunakan secara ekstensif. Pelatihan dan orientasi spesialis onkologi ginekologi yang bertanggung jawab atas pasien akan menentukan kebijakan treatment. Mereka yang mendapatkan pelatihan sebagai spesialis onkologi bedah akan lebih cenderung untuk memilih pembedahan, sedangkan mereka yang terlatih di center radioterapi akan lebih mendukung terapi radiasi. Mereka yang mendapatkan pelatihan dalam keduanya, akan menentukan treatment secara individual dan memilih treatment yang lebih tepat bagi pasien tertentu.
Langkah terapetik spesifik biasanya diatur sesuai usia dan kesehatan umum pasien, menurut luas kanker, dan kemunculan dan sifat abnormalitas penyulit. Pemilihan treatment memerlukan penilaian klinis. Di dalam sebagian besar institusi metode tratment awal untuk penyakit dengan penyebaran lokal adalah radioterapi, baik intracavitary radium dan external x-ray therapy. Kontroversi antara pembedahan dan radioterapi telah ada selama bertahun-tahun dan pada dasarnya adalah tentang treatment untuk kanker serviks stadium I dan Iia. Secara umum, semua stadium di atas stadium I dan Iia ditangani dengan radioterapi. Zender et al (1881) melaporkan hasil dari 20 tahun penelitian yang memasukkan 1092 pasien dengan kanker serviks stadium Ib dan II yang mendapatkan treatment dengan histerektomi radikal. Dari 1092 pasien, 50.6% hanya mendapatkan pembedahan dan yang lainnya mendapatkan terapi radiasi seluruh pelvis post-operasi. Tingkat survival 5 tahun dalam stadium Ib adalah 84.5% dan dalam stadium II (sebagian besar adalah stadium Iia) adalah 71.1%. tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat survival antara pasien yang hanya menjalani pembedahan dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan radiasi postoperasi.
Radioterapi sebagai treatment primer dalam kanker serviks
Pemilihan metode, radioterapi atau pembedahan dalam treatment kanker serviks telah bervariasi sejak peralihan abad, tergantung pada saat pengembangan metode. Radioterapi lebih sering digunakan sebagai treatent dalam kanker serviks karena alasan berikut ini:
1. Semua stadium, dan semua pasien dapat ditangani dengan radioterapi dengan hasil yang baik
2. Hampir tidak ada kontraindikasi untuk radioterapi
3. Mortalitas karena radioterapi yang diberikan dengan benar sangat kecil, dan morbiditas relatif rendah
4. Radioterapi lebih murah daripada pembedahan.
Disamping penyembuhan, terapi radiasi memainkan sebuah peran besar dalam paliasi dan prevensi gejala yang terkait dengan penyakit, khususnya perdarahan dan nyeri. Tujuan dari terapi radiasi adalah untuk mengirimkan dosis radiasi yang diukur dengan teliti menuju sebuah volume tumor yang telah ditentukan sebelumnya dengan kerusakan pada jaringan sekitar seminimal mungkin, menghasilkan eradikasi tumor.
Perkembangan historis treatment radiasi kanker serviks adalah sebuah contoh dari metode “trial and error”. Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam treatment kanker serviks dengan radioterapi dokter yang menangani harus merupakan spesialis ginekologi yang terlatih dalam radioterapi. Atau harus ada kerja sama erat antara spesialis ginekologi dan spesialis radiologi. Hasil terbaik dicapai di center dimana banyak pasien ditangani dan pengalaman yang komprehensif diperoleh dengan menangani banyak pasien. Sentralisasi tipe treatment ini penting dalam hal hasil untuk pasien dan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman bagi dokter. Efek yang muncul segera dengan treatment radiasi kanker serviks dapat dievaluasi dengan kesembuhan primer setelah 2 bulan treatment dan efek jangka panjang sebagai survival 5 tahun.
Fletcher melaporkan survival 5 tahun dari 2000 pasien yang mendapatkan treatment dengan radioterapi. Stadium I sebesar 91.5%, stadium Iia 83.5%, stadium Iib 66.5%, stadium IIIa 45.0%, stadium IIIb 36.0%, stadium IV 14.0% (Disaia & Creasman 1989).
Dalam materi kasus kanker serviks tanpa seleksi yang ditangani secara radiologis survival 5 tahun dapat dilihat dalam tabel 5.
Kottmeier melaporkan kesembuhan primer setelah treatment radioterapi (tabel 6) (Ostergard, 1981). Resiko penyakit rekuren atau metastasis paling tinggi dalam 2 atau 3 tahun pertama setelah treatment. Rekurensi setelah 5 tahun jarang terjadi dengan hanya 3% kasus mengalami rekurensi setelah 5 tahun.
Komplikasi radioterapi dapat diklasifikasikan sebagai; komplikasi langsung, perdarahan dan infeksi jarang terjadi dan dapat ditangani secara efektif. Komplikasi lambat karena treatment radiasi lebih signifikan. Komplikasi ini mencakup antara lain castration effect, fibrosis dalam pelvis dan reaksi radiasi dalam kandung kemih dan usus.
Histerektomi radikal sebagai treatment primer dalam karsinoma serviks
Peran histerektomi radikal dengan diseksi nodus pelvis telah semakin meningkat, khususnya di negara maju karena sejumlah alasan. Pertama, dalam perkembangannya pembedahan menjadi lebih aman, karena lebih banyak jumlah spesialis ginekologi berusia muda yang terlatih. Kedua, rata-rata usia wanita yang mengalami karsinoma serviks dalam semua kategori telah bergeser ke kelompok usia yang lebih muda. Ketiga, lebih sedikit pasien yang mengalami karsinoma serviks invasif klinis yang mendapatkan diagnosis pada stadium lanjut.
Di Amerika Serikat hsiterektomi radikal biasanya dilakukan untuk pasien dengan stadium Ib “occult”, stadium Ib dan Iia karsinoma serviks. Histerektomi radikal tidak harus selalu diaplikasikan pada semua pasien dalam stadium tersebut tetapi seharusnya diaplikasikan dalam kasus terpilih. Pertimbangan utama dalam memilih pasien terutama adalah status kesehatan umum dan tipe lesi. Pada pasien dalam kelompok usia yang lebih tua (70 tahun atau lebih) lebih baik ditangani dengan radioterapi.
Tingkat survival 5 tahun telah mengalami peningkatan akhir-akhir ini, terutama dengan penggunaan faktor untuk seleksi pasien, perbaikan penanganan postoperatif pasien dan berkurangnya komplikasi yang mengancam jiwa. Tingkat survival 5 tahun histerektomi radikal dan diseksi nodus pelvis telah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebagaimana tampak dalam tabel 7.
Histerektomi radikal sebagai sebuah operasi adalah sebuah prosedur yang sangat radikal dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Pada awal penggunaannya terdapat insidensi fistula ureterovaginalis yang relatif tinggi. Dalam dekade terakhir ini, metode yang lebih baik telah mengurangi tingkat kejadian fistula ureterovaginalis hingga kini tingkat ini berkisar antara 0 hingga sekitar 2% (tabel 8). Spesialis onkologi ginekologi telah belajar bagaimana menghadapi komplikasi ini. Telah diketahui bahwa 50% fistula ureterovaginalis akan sembuh secara spontan, dan kesembuhan ini biasanya terjadi dalam 3 hingga 6 bulan. Ketika kesembuhan spontan gagal terjadi, operasi ulang dapat dilakukan setelah 6 bulan pasca histerektomi radikal dan dilakukan implantasi ulang ureter ke dalam kandung kemih. Atoni kandung kemih bukanlah masalah yang sering terjadi dan juga tidak berat, tetapi konstipasi berat adalah sebuah masalah serius hingga para ahli bedah belajar untuk menghindari kerusakan pada pleksis di aspek medial dan dalam dari ligamen uterosakralis. Jika diseksi dalam area ini dihindari, konstipasi juga dapat dihindari.
Mortalitas histerektomi radikal sebagaimana dilaporkan dalam literatur juga telah mengalami penurunan hingga mendekati nol (tabel 9). Kemunculan kematian peri-operatif biasanya disebabkan karena emboli pulmoner.
Radiasi postoperatif setelah histerektomi radikal
Radiasi postoperatif sering digunakan, tetapi nilai terapi radiasi postoperatif pada pasien yang diketahui memiliki nodus pelvis positif masih belum diketahui dengan jelas. Untuk stadium Ib dan Iia, insidensi nodus pelvis positif berkisar antara 15-30%. Pasien mungkin dapat dipertimbangkan untuk terapi radiasi post-operatif jika mereka memiliki nodus limfatikus pelvis positif, batas reseksi positif, invasi stroma dalam, atau keterlibatan ruang limfatik. Treatment terdiri dari 4,000-5,000 cGy pada seluruh pelvis jika terdapat nodus positif atau invasi stroma dalam. Pasien dengan nodus paraaorta atau iliaka communis positif mungkin akan mendapatkan manfaat dari terapi radiasi pada periaortic chain (4,000-5,000 cGy). Pasien dengan batas serviks positif mendapatkan treatment dengan radiasi oekvis external beam plus radiasi intracavitary pada ruang vagina (6,500 cGy dosis permukaan vagina atas). Gutmann melaporkan 50 pasien yang mendapatkan terapi radiasi pelvis post-operatif menggunakan 4,000-5,000 cGy setelah histerektomi radikal, mayoritas pasien ini memiliki penyait stadium II meski beberapa memiliki stadium Ib dan 5 memiliki stadium III, survival keseluruhan adalah 76% pada 5 tahun dan 50% pada 10 tahun (Vegan 1994). Sebuah laporan oleh Fuller dan kolega menemukan 7% pasien dengan kanker serviks stadium Ib dan Iia dengan keterlibatan nodus limfatikus pelvis positif. Radiasi post-operatif diberikan kepada pasien dan hasil menunjukkan perbaikan survival dalam kelompok yang mendapatkan radiasi vs kelompok yang tidak mendapatkan radiasi (sekitar 60% vs 40%) pada 5 tahun pada pasien dengan satu atau dua nodus pelvis positif, dan survival yang lebih rendah teramati pada tujuh pasien dengan tiga atau lebih nodus positif yang mendapatkan radiasi post-operatif (Vega, 1994).
Pengalaman yang berlawanan ditemukan dari beberapa institusi di AS, dan juga dalam review yang ada dalam literatur tentang radiasi post-operatif setelah histerektomi radikal. Sebuah panel peneliti melakukan evaluasi terhadap pengalaman tersebut. Kelompok ini menemukan: (1) tidak ada penelitian dengan kontrol yang mengevaluasi pasien radiasi post histerektomi radikal dalam kanker serviks dini dengan keterlibatan nodus pelvis. (2) tidak ada perbedaan signifikan dalam survival keseluruhan antara pasien yang mendapatkan radiasi dan yang tidak mendapatkan radiasi, tetapi ada insidensi kegagalan pelvis yang lebih tinggi dalam kelompok yang tidak mendapatkan radiasi dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan radiasi (84% vs 50%) (Vega 1994).
Pendekatan baru dalam treatment kanker serviks
Pembedahan sebagai treatment primer untuk kanker serviks telah digunakan selama lebih dari satu abad, dan radioterapi selama lebih dari 90 tahun. Kedua modalitas treatment ini hampir mencapai kesempurnaan. Selama bertahun-tahun, pencarian yang terus-menerus dan tanpa henti untuk metode treatment yang lebih baik, tetapi semua upaya ini telah memberikan hasil yang mengecewakan. Keberhasilan treatment choriocarcinoma dengan methotrexate pada pertengahan 50an membuka sebuah era baru dalam terapi kanker, yang kini dikenal sebagai “kemoterapi”. Vermoken menyatakan bahwa kemoterapi sebagai treatment paliatif hasilnya secara seragam buruk karena sedikitnya agen efektif yang tersedia, tingginya insidensi fungsi renal yang marginal, penurunan toleransi terhadap toksisitas hematologis obat sitotoksik setelah radioterapi dan kesulitan dalam menilai respon terhadap terapi pada pelvis yang mendapatkan radiasi atau operasi (Sotto, 1994). ketertarikan dalam kemoterapi secara perlahan berkurang hingga akhir 70an ketika Cis platinum diketahui efektif untuk sejumlah tumor khususnya kanker epitelium ovarium. Kemudian, diketahui bahwa Cis Platinum merupakan obat sitotoksik aktif untuk kanker serviks. Selanjutnya, Cis platinum digunakan dalam kombinasi dengan obat lain seperti Epirubicin, Ifosfamide, Vincrastin, Bleomycin, Mitomycin C, methotrexate, dsb dan diketahui tidak lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan hanya Cis platinum. Peningkatan toksisitas ditemukan dalam treatment kombinasi. Sebagai kesimpulan, obat sitotoksik yang diberikan untuk kanker serviks rekuren tidak memberikan manfaat survival jangka panjang, dan perbaikan kecil dan terbatas apapun dalam sebagian kecil pasien diperoleh, harus dipertimbangkan dengan toksisitas berat dan biaya treatment yang mahal.
Untuk saat ini, obat kemoterapi diberikan setelah pembedahan atau terapi radiasi (adjuvan), atau sebagai treatment primer (neo-adjuvan) sebelum memberikan radioterapi atau pembedahan dan bersamaan (concomitant) dengan radiasi.
Kemoterapi adjuvan
Pasien yang beresiko tinggi untuk rekurensi setelah histerektomi radikal telah teridentifikasi, dan merupakan pasien yang mungkin akan mendapatkan manfaat dari kemoterapi adjuvan postoperatif. Faktor resiko ini antara lain: (1) nodus positif (pelvis atau paraaorta) (2) tumor besar (diameter lebih dari 2 cm) (3) invasi stroma dalam (4) infiltrasi tumor parametria (5) tipe histologis khusus seperti adenoskuamosa, dan karsinoma sel skuamosa tipe small cell (6) emboli tumor dalam ruang limfovaskuler. Pasien ini, khususnya mereka dengan nodus positif, secara tradisional mendapatkan treatment dengan radiasi postoperatif, tetapi hasilnya masih secara seragam buruk. Tingkat rekurensi sekitar 50% dan tingkat survival sekitar 30-50%. Sotto (1994b) menyebutkan di Phiippines General Hospital tingkat survival bebas penyakit 3 tahun bagi kasus terbsebut kurang dari 30%. Penelitian tersebut memunculkan keraguan tentang efektivitas radioterapi postoperatif. Karena kemoterapi adalah satu-satunya treatment sistemik yang tersedia, adalah masuk akal bahwa kita harus menggunakan modalitas ini dan dalam waktu yang sama terus mencari obat yang lebih efektif. Di Sloan Kettering Hospital di New York City, Cis platinum dan Bleomycin diberikan kepada 44 pasien beresiko tinggi postoperatif dan tingkat survival bebas relaps 5 tahun adalah 71% dan tingkat survival keseluruhan sebesar 78%. Lahousen melaporkan rekurensi yang lebih sedikit pada 37 pasien yang mendapatkan treatment dengan regimen PVB, setelah 5 tahun (Sotto, 1994d). Sivanesaratnam mencapai tingkat survival yang lebih tinggi pada pasien dengan faktor resiko tinggi untuk rekurensi yag mendapatkan kemoterapi dengan regimen PVB postoperatif (Sotto, 1994d). Dari laporan ini, tampaknya kemoterapi adjuvan sendiri, atau dalam kombinasi dengan radioterapi8 bermanfaat bagi pasien yang beresiko tinggi untuk rekurensi.
Kemoterapi neoadjuvan
Akhir-akhir ini, pemberian obat kemoterapi sebelum radioterapi atau pembedahan yang populer dikenal sebagai kemoterapi neoadjuvan atau terapi primer telah diujicoba dalam banyak institusi di seluruh dunia. Pasien dengan tumor besar dan mereka dengan penyakit lanjut terilih untuk penelitian menggunakan kombinasi PVB. Tattersall melaporkan sebuah penelitian acak terhadp 71 pasien (stadium Iib – IV) membandingkan terapi berbasis platinum diikuti dengan radioterapi vs hanya radioterapi tidak menemukan adanya perbedaan signifikan dalam survival antara kedua kelompok, tetapi, frekuensi relaps sistemik pada pasien yang mendapatkan kemoterapi sebelum radioterapi berkurang, dibandingkan dengan pasien yang hanya mendapatkan radioterapi (Sotto, 1994d). Tingkat relaps dengan hanya radioterapi sebesar 38% dan dalam kelompok kombinasi 18%. Sotto (1994d) mereview beberapa penelitian dan rangkumannya dalam tabel 10 dan 11.
Sotto (1994c) menyebutkan bahwa manfaat jangka panjang dalam hal kesembuhan dengan kemoterapi neoadjuvan masih belum tersedia. Diperlukan lebih banyak penelitian acak untuk menentukan hal ini.
Kemoterapi dan radioterapi bersamaan
Kemoterapi dan radioterapi bersamaan kini dipraktekkan di banyak institusi, dengan hasil yang tampaknya bagus. Park et al (1993) melaporkan 90.5% tingkat respon penuh pada 63 pasien dan tingkat survival 2 tahun sebesar 95.3%. cis platinum yang diberikan 50 mg. Setiap minggu selama terapi radiasi mencapai tingkat pengendalian penyakit 100% dalam volume yang mendapatkan radiasi. Satu-satunya masalah dalam penelitian ini adalah tidak dilakukan randomisasi. Angka yang didapatkan memberikan dukungan kuat adanya efek yang bermanfaat dari modalitas treatment ini. Dari data yang ada, jelas bahwa obat kemoterapi yang diberikan saat ini tidak dapat menyembuhkan kanker serviks. Tetapi, dalam kombinasi dengan pembedahan dan atau radioterapi, mereka berguna dan bermanfaat untuk sekelompok pasien tertentu.
Kanker serviks persisten dan rekuren
Kesembuhan primer
Setelah radioterapi, sebuah serviks dengan kanker dinyatakan sembuh jika pada kunjungan berurutan, tumor menunjukkan regresi, ulserasi berkurang, dan tidak ada bukti perburukan dalam pelvis dan di lain tempat. Serviks dengan kanekr dikatakan sebagai sembuh jika memenuhi kriteria berikut ini:
1. Tumor menghilang dan serviks tertutup dengan epitelium normal atau tertutup oleh adhesi vaginal sehingga tidak dapat diakses oleh tangan pemeriksa.
2. Pada pemeriksaan rektal, indurasi residual halus tanpa ada nodularitas atau tepi yang tajam.
3. Segmen serviks pada pemeriksaan rektal teraba kecil (kurang dari 2.5 cm) dan halus
4. Tidak ada bukti metastasis jauh. Terdapat tumor “radiosensitif”.
Kanker persisten
Kanker menetap, atau masih tersisa secara klinis atau histologis setelah treatment. Ada tumor yang resisten radiasi. Setelah radiasi, satu atau lebih hal berikut mengindikasikan adanya kanker resisten:
1. Semua bagian tumor yang muncul sebelum treatment gagal untuk regresi atau menghilang
2. Ada kemunculan tumor baru, baik secara lokal atau di area di luar pelvis
3. Tumor yang menunjukkan pembesaran progresif dalam serviks
Setelah histerektomi radikal, ada dua jenis kanker persisten:
1. Ketika tumor makroskopis dalam bidang operatif atau di lain tempat tersisa setelah selesainya operasi
2. Ketika ada bukti histologis kanker pada batas spesimen
Kanker rekuren
Ada pertumbuhan kembali kanker baik secara lokal dalam serviks, vagina dan pelvis, atau kemunculan metastasis di tempat lain setelah sebelumnya tumor menghilang. Setelah selesainya radioterapi, jika dalam tiga pemeriksaan berurutan negatif, dengan jarang satu bulan atau lebih, atau pada satu pemeriksaan enam bulan atau lebih sebelumnya, tumor sekali lagi ditemukan secara lokal dalam serviks, vagina, uterus, pelvis atau di organ jauh kita menyebut ini sebagai kanker rekuren. Ini merupakan tumor yang radiosensitif sementara. Rekurensi setelah pembedahan lebih mudah untuk ditentukan, karena semua tumor makroskopis dibuang, dan atas spesimen bedah secara histologis bebas penyakit, bukti selanjutnya berupa tumor lokal dalam vagina, pelvis, atau di tempat lain, berarti rekurensi.
10. Prognosis kanker serviks
Review terhadap laporan tahunan tentang hasil treatment karsinoma uterus mengungkapkan adanya perbedaan dalam tingkat survival 5 tahun diantara beberapa stadium karsinoma serviks. Laporan tahunan FIGO tentang kanker ginekologis dengan kanker serviks stadium I sebesar 76.5%. Institusi secara individual melaporkan tingkat kesembuhan 5 tahun dari 69% hingga 90% dengan hanya pembedahan dan dari 60 hingga 93% dengan hanya radioterapi. Hasil mungkin menunjukkan bahwa satu bentuk terapi memiliki keungungan dibandingkan lainnya. Angka terbaik yang tersedia untuk kedua metode melaporkan hasil yang hampir identik, dan karena kemunculan faktor lain yang berpengaruh pada sampel yang dibandingkan, perbedaan besar signifikan (Disaia dan Creasman, 1989).
Prognosis dan survival pasien kanker serviks tergantung pada stadium ketika kanker pertama kali ditemukan (Shelton et al., 1992; DeBritton et al., 1993; Bjorge et al., 1993). Lokasi dan jalur penyebaran kanker serviks telah diteliti lebih intensif daripada tumor ginekologis lainnya dan beberapa faktor spesifik yang terkait dengan manfaat terapetik telah diketahui. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Volume tumor, termasuk lesi eksofitik atau endofitik. Park et al (1993) menyebutkan bahwa faktor resiko tinggi telah diketahui yang mengidentifikasi pasien dengan prognosis buruk hanya menggunakan radiasi. Psien dengan stadium I-II dan lesi dengan diameter ≥ 4 cm merupakan indikasi untuk resiko kegagalan treatment yang tinggi. Werner-Wasik et al (1995) menemukan bahwa pada pasien dengan karsinoma serviks stadium FIGO I atau II, ukuran tumor lebih prediktif untuk rekurensi lokal daripada stadium keseluruhan. Pasien dengan tumor besar memiliki survival yang lebih pendek dan memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk mengalami toksisitas terapi grade 4. Hopkins & Morley (1991) menemukan bahwa tumor dengan ukuran < 3 cm memiliki tingkat survival 91% dan ukuran tumor > 3 cm memiliki tingkat survival 76%.
2. Perluasan tumor vagina. Lanza et al (1989) menyebutkan kepentingan dari invasi vagina dalam survival kanker serviks. Mereka menunjukkan hubungan yang secara statistik signifikan antara survival dan invasi ketiga eksternal. Sebuah analisis multifaktorial juga menunjukkan negativitas capillary-like space invasion (CLS, invasi ruang mirip kapiler) vagina, perluasan ketiga eksterna (tingkat survival 98,4%). Ketika positivitas invasi eksternal dikaitkan dengan negativitas bersamaan invasi CLS dan vagina tingkat survival 79.4%. tingkat survival pada pasien dengan positivitas invasi ketiga eksternal dan vagina sebesar 26%. Werner-Wasik et al (1995) menyebutkan bahwa luas keterlibatan parametrial merupakan prediktor kuat untuk rekurensi jauh.
3. Metastase nodus limfatikus mempengaruhi prognosis pasien kanker serviks. Manetta et al (1986) menemukan tingkat survival semua stadium kanker serviks dengan nodus yang negatif adalah rensi jauh.
3.tingkat surviv80%, dan 20% dengan nodus positif pada 48 bulan. Mereka menyatakan bahwa ada atau tidaknya penyakit metastatik dalam nodus limfatikus positif merupakan faktor prognostik penting yang tampaknya lebih berguna dalam memprediksi survival daripada stadium klinis penyakit pada pasien dengan kanker serviks dan kanker endometrial. Hopkins & Morley (1991) melaporkan bahwa kanker serviks sel skuamosa IB dengan nodus limfatikus negatif memiliki tingkat survival sebesar 93%, dan nodus limfatikus positif tingkat survival 61%.
4. Grade histologis tumor, yang diklasifikasikan sebagai terdiferensiasi baik dan diferensiasi buruk, mempengaruhi prognosis dan tingkat survival masing-masing 95% dan 82% (Hopkins & Morley, 1991). Smiley et al (1991) menemukan bahwa diferensiasi histologis memberikan pengaruh yang signifikan pada prognosis pasien. Sjamsuddin et al (1996) melaporkan bahwa insidensi rekurensi pada pasien kanker serviks yang menjalani operasi radikal dengan sel terdiferensiasi buruk adalah 76.5%, dengan sel terdiferensiasi moderat sebesar 13.3% dan tidak ada rekurensi pada pasien dengan sel terdiferensiasi baik.
5. Kedalaman invasi tumor tidak memberikan pengaruh langsung pada survival tetapi berkaitan dengan peningkatan lebar tumor. Hopkins & Morley (1991) melaporkan bahwa pada pasien yang menjalani histerektomi radikal, survival dipengaruhi oleh kedalaman serviks dan keterlibatan segmen uterus bawah. Sjamsuddin et al (1996) menemukan bahwa kedalaman invasi < 5 mm tidak ada rekurensi yang ditemukan dan 30.2% rekurensi terjadi dengan kedalaman invasi ≥ 5 mm.
6. Kemunculan invasi vaskuler mempengaruhi secara signifikan rekurensi penyakit (Sjamsuddin et al 1990). Hopkins & Morley (1991) menemukan dalam penelitian mereka survival kumulatif 5 tahun 97% pada 117 pasien tanpa invasi angiolimfatik. Baltzer et al mempelajari 718 spesimen bedah dari pasien dengan karsinoma serviks sel skuamosa dan menemukan bahwa invasi limfatik dan pembuluh darah secara signifikan mempenagruhi survival (Disaia & Creasman, 1989).
7. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemunculan dalam tumor berupa asam nukleat dari human papilloma virus (HPV) merupakan marker prognostik untuk tingkat keparahan penyakit dalam kanker serviks. Ada dua baris bukti yang saling berlawanan untuk hal ini. Pertama, kemunculan HPV 18 dikaitkan dengan perburukan cepat dalam tahapan penyakit awal. Kedua, tidak adanya HPV dari tumor akan memberikan prognosis yang lebih buruk jika terdapat tipe virus apapun. Tidaka danya HPV dalam beberapa tumor mungkin mengindikasikan bahwa tumor memiliki sumber dari mekanisme onkogenik yang berbeda, mungkin menyebabkan kecepatan proliferasi sel yang berbeda dan, akibatnya gambaran klinis yang berbeda. Di sisi lain, hubungan dengan HPV ini mungkin hanya sekedar petunjuk untuk karkteristik prognostik asli lainnya, yang mungkin akan dapat menjelaskan kaitannya dengan survival (Franco, 1992). Konya et al (1995) menemukan bahwa kemunculan DNA HPV 18 memiliki hubungan yang signifikan dengan kanker yang muncul pada usia di bawah 40 tahun (P = 0.029). deteksi HPV 18 berkaitan dengan keganasan dengan diferensiasi buruk (P = 0.045) dan tipe histologis dengan prognosis buruk (adenokarsinoma atau karsinoma tak-terdiferensiasi (P = 0.006). positivitas HPV juga dikaitkan dengan stadium lanjut klinis (FIGO II dan III, P = 0.032).
11. Survival pasien kanker serviks
Kanker serviks invasif merupakan sebuah penyakit letal. Greenwood pada tahun 1926 menunjukkan bahwa hanya 3% pasien dengan karsinoma serviks dan tidak mendapatkan treatment masih hidup pada lima tahun (Bush, 1979). Selama 1930an dan 1940an survival lima tahun lebih baik, tetapi kesembuhan tidak dapat ditunjukkan. Bush (1979) menunjukkan pola survival pada pasien dengan karsinoma yang yang tidak terkontrol secara permanen hampir sama dengan yang ditunjukkan oleh Greenwood, sekitar 8% dari pasien masih hidup lima tahun setelah diagnosis kegagalan, dibandingkan dengan hanya 3% dalam laporan Greenwood tentang survival pada pasien yang tak mendapatkan treatment. Data survival dari Princess Margaret Hospital menunjukkan bahwa terdapat perubahan yang signifikan dalam survival sejak tahun 1958. Jika pasien survive lebih dari tujuh hingga delapan tahun setelah diagnosis dan treatment, tingkat kematian mereka sama dengan kelompok usia yang sama pada wanita tanpa karsinoma serviks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar