Apoptosis atau kematian sel yang terprogram merupakan
proses yang aktif dimana sel yang tidak berfungsi dengan baik disingkirkan
untuk mempertahankan fungsi normal dari jaringan. Sebagai respon terhadap
rangsangan yang berbeda apoptosis dapat diperantarai oleh dua jalur yaitu jalur
instrinsik (mitocondrial pathway) dan
jalur ekstrinsik (death receptor-mediated
pathway) (Shawn et al., 2005). Kematian sel
yang terprogram atau apoptosis memainkan peranan penting dalam homeostasis sel
dan remodeling jaringan, terutama pada perkembangan plasenta. Apoptosis penting
dalam pembentukan dan homeostasis jaringan, proses ini berlangsung di plasenta
baik pada kehamilan normal maupun preeklamsia/
eklamsia dan apoptosis plasenta akan meningkat pada preeklamsia dan IUGR (Crocker,
2003).
Pentingnya, degenerasi plasenta yang tampak pada preeklampsia mungkin
disebabkan proses apoptosis trofoblas yang tidak terjadwal/tidak normal.
Remodeling arteri spiralis terkait kehamilan dimediasi oleh invasi
sitotrofoblas. Meskipun begitu, jika trofoblas ini dijadikan sebagai sasaran
apoptosis dalam jumlah yang tinggi, transformasi arteria spiralis yang cacat
ini mungkin akan menghasilkan iskemia lokal, trombosis dan infark. Penyebab
pasti peningkatan apoptosis pada preeklamsia sampai sekarang belum diketahui.
Alasan mengapa terjadi apoptosis yang sangat kuat ini masih belum diketahui,
tetapi telah ditunjukkan bahwa sitokin pro-inflamasi bisa meregulasi gen
Fas/FasL, sementara sitokin anti-inflamasi melindungi trofoblas melawan
apoptosis yang diinduksi Fas (Matthiesen et al., 2005).
Sebuah
penelitian dengan menggunakan hewan coba menunjukkan bahwa sel trofoblas sangat
sensitif terhadap sitokin-sitokin seperti TNF-α dan IFN-γ. Ini menujukkan bahwa
ekspresi TNF-α dan IFN-γ dalam plasenta mungkin menginduksi apoptosis sel
trofoblas (Hu et al. 2008; Li et al. 2005). Interferon gamma lebih toksis bila
dibandingkan dengan TNF-α (Pijnenborg et al., 2000).
Mengenai sitokin
sebagai penghancur/perusak dan sebagai alat diagnostik yang potensial dalam
prediksi pada preeklamsia (Matthiesen et
al. 2005) menemukan adanya reaktivitas imun bawaan sistemik dengan
peningkatan kadar TNF-α, IL-6, dan IL-8. Ketika mereka menstimulasi sel
mononuklear darah tepi dengan antigen paternal ‘fetus specific’ atau antigen ‘recall’
kadar yang serupa sekresi IL-4, IL-10, IL-12, dan IFN-γ terdeteksi pada preeklamsia
dan kehamilan normal. Ini tidak menyingkirkan penyimpangan sitokin lokal pada
kadar plasenta yang kompatibel dengan aktivitas inflamasi. Meskipun begitu,
hasil yang diperoleh sejalan dengan konsep preeklamsia sebagai fenomena
inflamasi, tetapi dengan gambaran yang jauh lebih kompleks daripada hanya
sekedar penyimpangan Th1 (Matthiesen et al., 2005).
Invasi trofoblas yang adekwat hanya mungkin terwujud jika
proses desidualisasi endometrial dinding uterus yang baik terjadi. Proses
desidualisasi dimulai segera setelah ovulasi agar dapat menerima embrio, produksi
progesteron dari korpus luteum merangsang desidua untuk meningkatkan
vaskularisasi dan aktivitas sekretoris kelenjar endometrial. Leukosit dalam
desidua terutama terdiri dari sel natural
killer uterine (uNK) sekitar 65-70%. Dan monosit /makrofag sekitar 15-20%,
yang fungsi pastinya tidak diketahui. Terdapat pula sejumlah kecil sel T
sementara sel B hampir tidak ada, invasi trofoblas berada
dibawah pengaruh beberapa sitokin yang diproduksi pada fetal maternal interface oleh beberapa sel immun dan non immun
seperti leukosit termasuk sel NK , trophoblast, sel stroma, dan endotel
kelenjar. Jadi hipotesis terbaru yang memperhatikan etiologi pre eklamsia
seharusnya fokus pada maladaptasi respon immun dan invasi trophoblast yang
kurang adekwat. Aktivitas respon immun yang adaptif dicirikan berdasar pada
fenomena sekresi sitokin terpolarisasi oleh sel T helper (Th). Sel T helper ini dibagi menjadi dua sel Th1 dan sel Th2. Pada manusia sel Th1
mensekresi sitokin inflamasi seperti interferon gamma (IFN-γ) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α),
sementara sel Th2 mensekresi sitokin anti inflamasi seperti IL-4, IL-5, dan
IL-9 (Matthiesen et al., 2005; Pijnenborg et al., 2000; Shawn, 2005). Baik Th1
maupun Th2 begitu juga dengan sel non-limfoid, termasuk makrofag, mensekresi
IL-10. Walaupun model Th1/Th2 terlalu sederhana untuk mencakup keseluruhan
kompleks profil diferensiasi sel-sel yang memproduksi sitokin, tetapi model ini
masih menyediakan suatu kerangka kerja yang berguna untuk menjelaskan respon imun
yang diberikan oleh sel imun maupun sel non-imun. Faktor yang jelas penting
untuk menginduksi baik jalur Th1 maupun Th2 adalah adanya sitokin tertentu
selama proses awal ketika antigen dikenali.
IL-4 mendikte respon imun pada Th2
dan efek IL-4 telah ditunjukkan untuk mendominasi seluruh IFN-γ. Jadi, adalah
mungkin jika keberadaan trofoblas dalam cavum uteri dengan lingkungan
anti-inflamasi yang buruk memulai adanya aktivasi inkompatibel sel-sel imun
desidua yang secara langsung memicu aktivitas imun lokal melalui proses
inflamasi. Selanjutnya, produksi sitokin sistemik dan respon imun sepertinya
lebih didominasi oleh fungsi inflamasi mereka yang mungkin memulai proses
patologi terkait dengan preeklamsia (Matthiesen et al., 2005). Interaksi antara
leukosit dan trofoblas tidak efektif pada preeklamsia, Th1 sitokin pada kadar
yang tinggi misalnya IL2, IL1dan IFN γ sedangkan sekresi
Th2 sitokin seperti IL10 dan IL5 menurun (Verlohren, 2009). Apoptosis plasenta meningkat pada penderita
preeklampsia dan IUGR, fenomena ini belum diketahui sebabnya (Crocker et al.,
2003; Leach et al., 2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar