Minggu, April 24, 2011

Pencegahan Inkontinensia dan Prolap organ Uroginekologi

RIWAYAT NORMAL DARI STRESS URINARY INCONTINENCE

Hubungan antara Stress Urinary Incontinence (SUI) dengan paritas telah diketahui, dan berdasarkan pada bukti yang ada, dapat dilihat beberapa hipotesis berdasarkan awal dan natural historinya.

Beberapa Hipotesis mengenai asal dari SUI
Selama proses kehamilan, bagian-bagian perlekatan endopelvic fasial dengan kandungan kemih bagian leher dan spingter bagian distal mengalami perlemahan, kemungkinan berkenaan dengan peningkatan hormon. Hal ini mungkin merupakan efek progesteron yang menyebabkan terjadinya penurunan tekanan urethra dan melemahnya jaringan ikat bersamaan dengan meningkatnya tekanan intra-abominal dari uterus yang sedang dalam proses kehamilan, hal ini mungkin dapat meningkatkan resiko terjadinya SUI selama proses kehamilan. Insiden mencapai 40%, dengan 20% disertai gejala-gejala yang berat.

Pada kebanyakan kasus inkontinensia meningkat setelah kelahiran dengan angka insidensi postpartum dengan SUI tepatnya mencapai 15%. Pada kasus-kasus ini SUI sangat jarang sebagai onset awal, dan biasanya sudah muncul selama proses kehamilan. Mengapa SUI harus muncul saat postpartum masih belum jelas, tetapi ternyata memiliki efek pada proses kelahiran pervaginam.
Jika perlekatan endopelvic fasial dan fungsi spingter tidak mengalami kerusakan saat kelahiran, maka perubahan dalam masa antenatal kembali seperti kondisi belum hamil dengan kembalinya fungsi uretra secara normal dan tidak terjadi inkontinensia. Namun, jika struktur-struktur ini mengalami kerusakan saat proses kelahiran atau selama kondisi tidak hamil sudah lemah, maka usaha untuk perbaikan tidak akan memberi hasil yang baik.
Hal yang mendukung hipotesis ini berasal dari studi mengenai munculnya faktor-faktor dasar yang menjadi penyebab SUI (contoh melemahnya jaringa-jaringan ikat antar organ/fascia pada wanita). Sebagai contoh, telah diketahui adanya hubungan antara kelainan jaringan ikat, inkontinensia urin dan POP (Prolap organ pelvis) contoh  pada Marfan sindrom dan Ehlers-Danlos sindrom.
Sebagai tambahan, hipermorbilitas sendi muncul pada wanita dengan POP, menunjukkan kelemahan pada jaringan-jaringan ikat. Seperti halnya pada individu-individu yang menderita trauma pada bagian dasar pelvic saat kelahiran, maka dapat diperkirakan penyembuhannya tidak akan kembali seperti semula, yang menyebabkan terjadinya SUI pada postpartum. Hal ini berkenaan dengan kelahiran, umur, menopouse dan kelemahan otot tampak menjadi faktor penyebab meningkatnya resiko terjadinya inkontinensia yang lama.

Hal-hal pendukung hipotesis yang berikutnya berasal dari meningkatnya bukti mengenai SUI saat antenatal dan kejadian inkontinensia sebelum kehamilan yang pertama, merupakan faktor risikor untuk terjadinya inkontinensia pada tahun-tahun berikutnya.

Natural History
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa data yang telah dipublikasikan. Pada studi yang tidak dipublikasikan, wanita yang diteliti ulang selama 6 tahun setelah proses kelahiran, ditemukan 30% wanita dengan rerata onset baru wanita dengan kontinensia 3 bulan postpartum, dan 27% dari mereka akan terjadi perbaikan secara spontan setelah 6 tahun.
Pada beberapa hal yang menarik pada mereka yang inkontinen saat kehamilan, ada tanda kenaikan resiko untuk SUI saat 6 tahun (odds ratio=12). Identifikasi pada beberapa individu ternyata dapat mencegah terjadinya SUI (dan POP) jika mereka dapat terdeteksi pada saat stadium awal

Natural history dari prolaps

Riwayat normal dari POP yang tidak dalam pengobatan telah diteliti pada wanita menopause sebagai bagian dari percobaan estrogen progesteron di Initiatif Kesehatan Wanita (Universitas Kalifornia). Pemeriksaan pelvic tahunan untuk POP dilakukan pada 412 wanita (angka rerata 5,7 tahun), 31,8% memiliki POP. Angka insidensi tahunan untuk onset baru POP adalah 9,5,dan 7 per 100 wanita per tahun baik untuk sistokel, rectokel, dan POP uterus. Khusus untuk rerata yang kondisinya mengalami perkembangan dan kemunduran:
    Untuk yang mengalami perkembangan, angka rata-rata 9,5; 13,5 dan 1,9 per 100 wanita per tahun
    Gambaran koresponden untuk kemunduran yang spontan, terutama grade 1 POP mencapai 23,5; 22 dan 48. Hanya 3 wanita (0,7%) yang membutuhkan operasi.

Data-data ini menggambarkan bahwa tanda-tanda klinis POP adalah umum dan kemunduran yang spontan terjadi pada banyak kasus. Pengobatan menjadi suatu hal yang tidak berguna kecuali jika gejala-gejala yang muncul saling mempengaruhi satu dengan lainnya.
    Pada studi sebelumnya yang dapat membantu dalam mengidentifikasi riwayat normal dari POP telah dihambat oleh selection bias (contoh populasi berdasarkan dasar rumah sakit di negara-negara berkembang). Pada beberapa kelompok, 30-50% dari wanita yang datang dengan masalah ginekologis tampak dengan gejala-gejala POP yang asimtomatik. Pada kelompok yang umurnya lebih tua (70 tahun), kebanyakan adalah asimtomatik dan 11%nya akan menjalani operasi, namun ada juga yang diobati secara konservatif (misal dengan pesariess). 
    Di negara-negara berkembang , POP yang tidak diobati mungkin lebih banyak. Sebagai contoh di area terpencil seperti Gambia dan pada studi epidemiologis menunjukkan prevalence yang mencapai 46%. Hanya 8 dari 152 wanita dengan POP yang berat (secara subjektif dan objektif) mendapatkan pengobatan sampai tuntas. Namun tidak didapatkan data hasil akhir untuk kelompok wanita yang tidak mendapatkan pengobatan.
    Jika sudah pada kodisi yang berat dan terlambat diobati, POP dapat menyebabkan terjadinya hambatan dalam proses miksi dan ISK yang berulang. Hal ini dapat berkembang menjadi kerusakan saluran urin bagian atas dan gagal ginjal. Pada sedikit kasus pada wanita dengan POP tanpa pengobatan terjadi dilatasi saluran bagian atas bilateral dan tiga dari mereka mengalami kerusakan gagal ginjal. Pengobatan untuk POP dapat mengurangi terjadinya gagal ginjal pada semua pasien kecuali satu pasien. Penemuan ini membuktikan adanya perlindungan terhadap terjadinya perubahan pada saluran urin bagian atas dengan pengobatan POP awal.
    Trauma pada cervix dan kulit vagina dapat meningkatan risiko terjadinya neoplasia pada pasien dengan POP yang berat. 

PENCEGAHAN
    Idealnya, tujuan dari pelayanan kesehatan adalah mencegah daripada mengobati. Pencegahan dapat dibagi menjadi primary (intervensi pada individu yang asimtomatik untuk mengurangi risiko-risiko yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit) atau secondary (untuk mendeteksi gejala-gejala pada stadium awal dan untuk menghalangi serta menghentikan perkembangannya penyakit atau meningkatkan prognosis). Sedangkan untuk menghentikan terjadinya sakit yang berulang atau mencegah agar tidak memburuk merupakan pencegahaan tersier. Pada uroginekologi terdapat banyak kekurangan uji coba prospektif untuk meneliti dampak dari perlindungan atau pencegahan pada inkontinensia dan POP.
    Telah diketahui adanya faktor-faktor predisposisi seperti umur, obesitas, riwayat keluarga, paritas/persalinan pervaginam, dan operasi. Identifikasi pada individu –individu dengan risiko mungkin dapat membantu dalam upaya pencegahan.

Usia
Walaupun prevalensi inkontinensia meningkat pada usia tua, tetapi pada keduanya tidak memiliki hubungan sebab akibat; proses patologik yang lain yang berkaitan dengan penuaan mungkin bertanggung jawab. Resnick telah menciptakan pnemonic DIAPPERS: Delirium, Infeksi, perubahan Atropik, P(F)harmakologis, psikologis, Excess urine output, Restricted mobility, dan Stool impaction.
 Diketahui hubungan antara konstipasi dan POP, dan perhatian terhadap kebiasaan regular usus, menghindari pelonggaran, diet tinggi serat, jika perlu, laxative bisa memiliki efek positif dalam perlindungan.
Demikian juga, manajemen faktor risiko lainnya (seperti batuk kronis dan merokok) dan pemberian medikasi yang dapat memberi efek pada kandung kemih yang dapat menyebabkan inkontinensi sebagai contoh diuretik, kalsium channel antagonis ( yang dapat memproduksi poliuria), NSAID (yang menjadi retensi cairan), Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor (dapat menyebabkan batuk kronis) dan sedatif.
Kebiasaan berkemih yang teratur, akses mudah ke toilet, pembatasan cairan (terutama cafein), dan perlindungan dari infeksi saluran urin (UTI) (misal dengan jus cranberry atau vitamin C), mungkin efektif dalam perlindungan terhadap inkontinensia pada orang yang tua walaupun kurangnya bukti yang mendukung.

Terapi Pengganti Hormon
Terdapat bukti mengenai proses penuaan pada saluran urin bagian bawah, menghasilkan perubahan atropik dan fungsi uretra yang masih rendah. Terapi penggantian hormon (HRT) berdasar teori melindungi gejala-gejala pada saluran urin bagian bawah. Sementara ini belum dapat dibuktikan secara objektif pada pasien dengan USI (Urodynamic stress Incontinence) atau aktivitas berlebih pada detrusor (DO), pada wanita postmenopausal dosis rendah vaginal estradiol dapat meningkatkan gejala-gejala urgensi; hal ini dapat menjadi penting dalam perlindungan walaupun hal ini belum jelas jika aksi mekanismenya berada di kadung kemih atau perubahan atropik.
Cochrane report menyebutkan bahwa estrogen dapat membantu 50% wanita dengan semua tipe inkontinesi urin dibandingkan dengan 25% pada plasebo, adapun efeknya paling banyak pada mereka yang dengan inkontinensi mendadak. Bagaimanapun juga, dalam 4 tahun uji coba secara acak (RCT) Studi estrogen/progestin (HERS) dikombinasi dengan HRT berkaitan dengan memburuknya stres dan inkontinensi yang mendadak. Perbedaan rasio tidaklah terlalu tinggi, yang dimana bisa menjadi pertanyaan mengenai penemuan klinis yang signifikan. Data pada HRT adalah masih dalam konflik dan efek dalam perlindungan inkontinesi dan penonjolan/prolapse belum diketahui.

Urgensi
Urgensi merupakan gejala penekanan pada orang tua dengan mobilitas yang terbatas, menyebabkan panik dan kecemasan saat sesnsai kandung kemih terasa penuh. Kebanyakan pasien buang air kecil lebih sering untuk mencegah terjadinya inkontinen, ternyata memiliki efek sebaliknya, dengan mengurangi kapasitas kandung kemih dan pemburukan gejala yang muncul.
Strategi pencegahan seperti pelatihan kandung kemih, pelatihan bagian dasar pelvis, akses mudah ke toliet, dan penggunaan tempat tidur bisa menjadi perlindungan terjadinya urgensi yang  menjadi inkontinesi yang mendadak. Ada bukti bahwa pasien dengan inkontinensi yang mendadak (lebih dari sekali seminggu) berisiko tinggi  terjatuh dan patah tulang dibandingkan mereka yang tanpa inkontiensia mendadak. Hal-hal tadi bisa dicegah dengan menerapkan strategi-strategi diatas tadi.

Obesitas   
Obesitas biasa pada wanita dengan inkontinesi urinari dan POP. Obesitas  menjadi lebih umum pada pasien dengan USI dan DO dibandingkan pada populasi asimtomatik. Pada kehamilan, peningkatan BMI telah menunjukkan faktor resiko penting untuk inkontinesia urin post partum yang menetap.
Dalam teori, hilangnya berat badan dapat mencegah inkontinesia urin dan POP, Namun studi-studi yang ada sering terhambat oleh kegagalan subjek untuk menurunkan berat badannya, RCT pada 40 wanita, menggunakan modifikasi diet dan kebiasaan pasien yang lainnya, pasien kehilangan lebih 5% berat badan memiliki pengurangan yang dalam episode inkontinensi dibandingkan mereka yang gagal menurunkan berat badannya.
Pada kasus yang lebih besar dengan wanita (BMI lebih 30) dengan inkontinesia urin yang sedang menjalani diet, olahraga, dan terapi obat, mengurangi hilangnya inkontinensi (tes pad) dan meningkatkan kualitas hidup dilakukan oleh 46/50 wanita yang berat badannya turun lebih dari 5% berat badan mereka.
Seluruh studi menyertakan penurunan berat badan ternyata sulit seperti yang tampak pada beberapa pasien yang kehilangan berat badan yang cukup untuk mencegah efek inkontinesia. Namun hal ini telah direkomendasikan oleh Konsultasi International yang berkenaan dengan Inkotinensi yang beberapa studi memberikan prioritas penelitian untuk menjawab pertanyaan ya atau tidak, turunnya berat badan dapat membantu dan mencegah inkontinensia urin.
Dua studi yang sudah menggunakan inkontiensia sebagai tujuan pertama menyarankan bahwa penurunan berat badan dapat menghasilkan perkembangan baik subjektif maupun objektif. Penurunan berat badan seharunya direkomendasikan sebagai bagian ’paket’ pengobatan dan mungkin bisa sebagai pencegahan kedua.

FAKTOR RESIKO KELUARGA
     Identifikasi pada kelompok dengan keluarga merupakan hal yang penting dan riwayat keluarga bisa menjadi relevan. Hal ini telah ditunjukan bahwa saudara perempuan dari wanita dengan inkontiensia urin akan lebih sering mengalami inkontinesia.
Sebagai tambahan riwayat gejala-gejala masa kanak-kanak (contoh kesulitan buang air kecil pada malam hari/nocturnal eneuresis dan kandung kemih yang overaktif) bisa menjadi predisposisi menjadi inkontinensi saat dewasa. Identifikasi dan pengobatan anak-anak ini (misal dengan modifikasi kebiasaan keseharian dan latihan otot pelvik bagian dasar) bisa membantu untuk mencegah timbulnya gejala-gejala pada masa dewasa.


KELAHIRAN 
Ada bukti yang bagus bahwa persalinan pervaginam ada kaitan dengan terlukanya saraf pudendal. Seperti halnya kerusakan saraf juga terlihat pada pasien dengan SIU. Hal ini telah diasumsikan bahwa persalinan pervaginam menjadi penyebab terjadi SIU dan POP. Namun, asumsi ini bisa jadi tidak benar; karena kehamilan sendiri ternyata bisa menjadi penyebabnya.
Sebagai contoh, wanita yang nullipara dengan SIU tampak memiliki jaringan kolagen pada dinding pelvis yang lebih lemah dan persalinan pervaginam merupakan faktor risiko tinggi terjadi USI dan POP jika mereka hamil. Identifikasi gejala sebelum atau awal saat kehamilan pertama, bisa menjadi alat pencegahan yang bisa dikenalkan.
Sebagai contoh, primigravida dengan mobilitas kadung kemih bagian leher yang berlebih saat antenatal (tanda kemungkinan untuk kolagen pelvis bagian dasar yang lemah) muncul sebagai resiko tertinggi terjadinya post-partum Inkontinesia karena stress, kehamilannya sendiri merupakan faktor risiko inkontinesia yang lama. Inkontinensia antenatal dan sebelum kehamilan, riwayat keluarga dengan inkontinesia pada kehamilan, obesitas, dan post-natal inkontinesia yang menetap juga muncul sebagai faktor resiko yang penting.
Intervensi pada beberapa kelompok bisa membantu dalam pencegahan tetapi masih manjadi masalah yang diperdebatkan. Sementara pilihan operasi perabdominal dapat mencegah terjadinya kerusakan saraf dan SUI post-partum. Hasil penemuan ini tidak konsisten dengan insiden SUI yang mencapai 16% pasien yang menjalani operasi perabdominal yang telah dilaporkan.
Pelvic Floor Muscle Training (PFMT/pelatihan otot pelvic bagian dasar) mungkin kurang begitu invasif dan lebih tepat sebagai bentuk pencegahan. Sebagai contoh, pada primigravida dengan mobiltas kandung kemih bagian leher saat antenatal, antenatal PMFT telah menunjukan pengurangan insiden post-partum SUI dibandingkan dengan kontrol yang tanpa pengobatan.
Sementara mengawasi PFMT tampak sebagai pencegah dalam waktu yang singkat hasil jangka panjangnya menunjukan terlepasnya dari gejala dalam enam tahun.
Walaupun demikian PFMT saat antenatal dan postnatal sebaiknya dipertimbangkan dalam waktu yang singkat. Operasi perabdominal bisa tidak menjadi suatu yang tidak diterima bagi wanita yang dengan inkontinensi yang berat dan atau POP sebelum dan selama kehamilan pertama. Namun, studi berikutnya diperlukan untuk mengkonfimasi apakah hal ini akan dapat menjadi pencegahan SUI dan POP dalam jangka waktu yang lama.

Dapatkah perubahan manjemen kelahiran membantu dalam pencegahan terjadinya SUI?
Hal ini tidak seperti fungsi dari faktor obstetrik pada awal post-partum SUI yang belum jelas. Sebagai contoh adanya bukti konflik berkenaan dengan stadium kedua kelahiran, berat lahir, epidural, episiotomi, dan macam kelahiran.
Walaupun persalinan dengan forcep mempunyai efek, hal ini belum ditemukan secara konsisten. Vacuum menyebabkan sedikit trauma terhadap pelvic bagian dasar. Sementara satu studi sudah menyarankan bahwa insiden dan SUI yang memberat 1 tahun setelah kelahiran dengan forcep adalah lebih tinggi dibandingkan dengan setelah kelahiran spontan atau dengan vacuum/ventouse,  tetapi hal ini tidak konsisten ditemukan.
Fungsi dari episiotomi juga belum jelas. Pembahasan Cochrane telah gagal menunjukan bukti bahwa hal ini dapat mencegah urinari inkontines atau prolaps.
Hal ini akan muncul bahwa pencegahan dengan mengubah penerapan obstetrik merupakan suatu hal yang tidak mungkin dengan pengetahuan yang ada sekarang.

Gejala Kandung Kemih yang Overaktif dalam Kehamilan
Frekuensi dan nocturia merupakan hal umum dalam kehamilan dan kemungkinan fisiologik, yang berkaitan dengan efek perubahan hormonal dan efek tekanan akan uterus yang sedang mengandung.
Untuk kandung kemih yang overaktif/Overractive bladder (OAB) dan urge inkontinesia dalam kehamilan, insiden mencapai 8-18%. Namun, akurasi diagnostik untuk urodinamik dalam kehamilan (untuk DO) sangat rendah.
Riwayat yang detail harus dapat mengidentifikasi wanita dengan OAB saat antenal dan latihan pada kandung kemih bisa dapat membantu sebagai pencegahan sekunder. Namun, beberapa studi yang diikuti selama 3 bulan dan pengamatan yang lama dibutuhkan untuk memastikan gejala-gejala tersebut muncul. Pencegahan bisa menjadi suatu hal yang tidak perlu jika gejala-gejala dilihat berkurang seiring waktu.

Pencegahan luka spingter anal pada Obstetrik ( OASI) dan inkontinesia fecal

Insiden
Inkontinensi fekal, telah dilaporkan pada 4% wanita pertama kali saat postnatal. Jika inkontinensia flatus dan urgensi ditambahkan, maka gambaran ini akan meningkat. Walaupun luka pada saraf pudendal pada saat kelahiran bisa menjadi penyebab, kelainan spinter anal yang tidak diketahui telah diidentifikasi pada 35% primipara dan 44% pada multipara pada endoanal ultrasonografi. Dalam 13 dan 23%,  ditemukan adanya gejala-gejala defekatori (urgensi dan fecal inkontinensi). Faktor risiko utama obstetrik adalah kelahiran dengan forcep; sedangkan tidak pada operasi sesar.

Deteksi OASI
Pada wanita dengan diketahui adanya OASI derajat tiga, 85% telah menunjukan memiliki kerusakan spingter residual walaupun diperbaiki saat persalinan, dengan 50% menjadi simtomatik. Namun ternyata 1/3 dari wanita hamil setelah persalinan pertama tidak terdeteksi menderita OASI. Hal ini menjadi  penting karena  dokter kandungan  dan bidan terlatih yang telah dilatih dalam mengidentifikasi dan mengobati OASI dapat mencegah terjadinya fecal inkontinesia. Endo-anal Ultrasound bisa meningkatkan rata-rata deteksi dan membantu dengan pencegahan. Pada RCT 752 wanita primiparous tanpa klinis OASI, ultrasound dilakukan setelah kelahiran yang diikuti dengan perbaikan spingter yang menghasilkan pengurangan insiden inkontiensia yang berat saat 3 bulan perbaikan dengan kontrol (yang menjalani standart pemeriksaan klinis dan perbaikan). Bukti mengatakan bahwa OASI berhubungan dengan resiko jangka panjang terjadinya fecal inkontinesia setelah trauma saat kelahiran pertama.
Metode yang tepat dalam memperbaiki kerusakan juga menjadi suatu hal yang penting. Sebagai contoh ”overlap repair” tampak berkaitan dengan rendahnya insiden akan inkontinesia dalam jangka waktu lama dibandingkan ”end to end repair”. Sehingga pelatihan adalah suatu hal yang direkomendasikan.
Identifikasi dan perbaikan OASI mungkin menjadi penting dalam pencegahan terhadap fecal inkontinesi untuk jangka waktu yang lama. Namun, dibutuhkan suatu prospektif studi yang berkelanjutan .

Manajemen Obstetrik
Episitomi bisa mencegah OASI. Namun, bukti masih menjadi perdebatan. Beberapa studi sudah menyarankan bahwa ruptur tingkat ketiga dan keempat atau episiotomi mediolateral memiliki resiko terjadinya OASI lebih rendah dibandingkan dengan episiotomi posisi midline/garis tengah. Namun, mediolateral episiotomi tidak selalu dapat menjadi pencegah terjadinya OASI, kemungkinan disebabkan karena tidak benar dalam melakukan episiotomi mediolateral, sebagai contoh sudut yang terbentuk harus 45° terhadap garis tengah. Pada salah satu studi antara dokter dan bidan ternyata bidan lebih banyak melakukan mediolateral episiotomi 45° dibandingkan dengan 22% yang dilakukan oleh para dokter.


Forcep dan Vaccum
Penggunaan vaccum dibandingkan forcep bisa menjadi suatu pencegahan. Sementara ini telah diakui bahwa keduanya sebagai faktor resiko terjadinya OASI. Data yang lain menyarankan bahwa vaccum berkaitan dengan lebih sedikitnya terjadi OASI dibandingkan dengan forcep. Pada RCT akan kelahiran dengan vaccum dibanding dengan forcep, tampak adanya pengurangan yang signifikan dalam insiden tingkat ke tiga dan keempat terjadinya OASI dalam kelompok ventous.
Namun, hal ini mungkin bukan penyebab utama yang terpenting, melainkan indikasi pada assisted delivery, sebagai contoh, persalinan yang lama, bayi besar, dan posisi belakang kepala (diketahui sebagai faktor resiko untuk trauma pelvis bagian dasar dan OASI).
Faktor-faktor ini merupakan diluar kontrol obstetrik. Walupun demikian, kewaspadaan bisa membantu dalam pencegahan, sebagai contoh dengan melakukan elektif mediolateral episotomi, dan jika ada indikasi obstetrik lain  dilakukan operasi sesar.

Persalinan Berikutnya
Pada wanita primiparous dengan fecal inkontinensi yang menetap, risiko keadaan yang memburuk tampak meningkat setelah persalinan pervaginam yang kedua. Bagi wanita-wanita ini, pencegahan sekunder yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan operasi sesar elektif. Namun, dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menguji hipotesis ini.

Pelatihan Otot Pelvis bagian Dasar (PMFT/Pelvic Floor Muscle Training)
Untuk wanita yang tanpa inkontinesia, PMFT bisa menjadi pencegah. Sebagai contoh , pada studi salah satu wanita dengan SUI yang menetap 3 bulan setelah kelahiran, rata-rata fecal inkontinesi menurun jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini direkomendasikan bahwa wanita dengan OASI diwajibkan melakukan PMFT sebagai bentuk pencegahan sekunder. Namun, efek proteksi akan menghilang setelah 6 tahun.
Hal ini memungkinkan bahwa bio-feedback menggunakan EMG bisa memberi efek yang lebih dan salah satu studi telah menunjukkan hasil yang bagus dalam waktu yang pendek.
Penemuan penelitian ini seharusnya memfokuskan perhatian para dokter kandungan dan bidan terhadap potensi kemungkinan resiko luka pada spingter anal dan kemungkinan keterkaitan dengan fecal inkontiensia dengan jangka waktu lama. Hal ini seharusnya menghasilkan peningkatan kesadaran, pelatihan, dan pencegahan.

Pencegahan Inkontinensi dan Prolapse setelah Operasi Ginekologi

Histerektomi dan inkontinensia
Fistula pada saluran kencing merupakan suatu hal yang jarang, tetapi tidak selalu dapat dicegah. Antara 0,5 dan 3% luka pada saluran kencing bagian bawah telah dilaporkan setelah histerektomi. Kebanyakan berkaitan dengan kelainan kongenital dan perubahan struktur yang disebabkan oleh penyakit. Preoperatif intravenous urografi dan penggunaan kateter ureter pada kasus yang sulit dapat membantu mencegah terjadinya trauma di saluran kencing.
Peningkatan risiko inkontinensia urin setelah histerektomi telah dilaporkan. Dalam pembahasan sistematik, wanita dengan umur lebih dari 60 tahun yang telah menjalani histerektomi memiliki perbandingan rasio lebih tinggi terkena inkontinensia dibandingkan wanita yang umurnya kurang dari 60 tahun.
Diperkiraan sekitar 60% pasien post histerektomi memiliki risiko tinggi untuk terjadinya inkontinensia. Bagaimana hal ini dapat dicegah masih belum jelas, tetapi pengurangan jumlah tindakan histerektomi pada menorrhagia, dengan menggunakan alat intrauterine yang mengandung progesteron dan ablasi endometrial, angka kejadian inkontinensia setelah histerektomi dapat dikurangi.
Bagi pasien-pasien dengan yang belum dilakukan pemeriksaan  urodinamik stres inkontinensia yang membutuhkan tindakan histerektomi, dipertimbangan dilakukan operasi inkontinensia sebagai perlindungan sekunder. Hal ini telah menunjukan penurunan kejadian inkontinensia saat 1 tahun setelah operasi. Namun, tidak ada bukti bahwa hal ini bisa menjadi  pencegahan primer.
Subtotal histerektomi diharapkan dapat menurunkan insiden inkontinensia urin, dimana cervix bisa menjadi penyokong bagian posterior untuk mekanisme spingter, ditambah ligamentum kardinal yang dapat menghasilkan denervasi. Namun, RCT tidak menunjukan kelebihan antara subtotal dibandingkan dengan total histerektomi tanpa memandang waktu terjadinya urinari inkontinensia.
Bukti dasar menunjukkan, urinari inkontinensia tidak memberi efek jangka pendek setelah histerektomi. Namun, jika ada hubungan dengan inkontinen jangka panjang, tindakan  pencegahan harus dipertimbangkan (misal PFMT).

Histerektomi dan POP 
Resiko terjadinya prolap tunggul vaginal dan enterokel setelah histerektomi telah dilaporkan sebanyak 3,6 /1000 orang per tahun. Resiko meningkat dari 1% (saat 3 tahun) hingga 5% (saat 15 tahun). Setelah colposuspension, insiden onset enterokel telah dilaporkan mencapai 18-30%. 
Kemungkinan penyebab postoperasi POP termasuk berkurangnya dan melemahnya kolagen, kegagalan untuk menyokong tunggul saat histerektomi atau anteversi dari bagian anterior dinding vagina setelah coposuspension. Retroversi dari tunggul vagina  pada  fixasi ligamen sacrospinosus dapat menghasilkan meningktanya insiden cystocele. Perncegahan akan tergantung pada prosedur operasi, teknik dan kekuatan struktur organ penyokong.
Usaha untuk mencegah enterokel, dengan melakukan prosedur Moschowitz, atau vault prolap dengan mendekatkan round ligamen ke tunggul vagina, atau cystokel dengan perbaikan bagian anterior dari ligamen yang  memfiksasi sacrospinosus, telah dicoba tetapi data kurang valid. Dibutuhkan studi dalam waktu yang lama.

Perlindungan terjadinya Urge Inkontinensia setelah Operasi untuk SUI

Colposuspension
Colposuspension, OAB (± DO) dengan urge inkontinensia dapat mencapai 15-18,5% kasus yang merupakan hasil pengamatan dalam jangka lama. Penyebabnya masih belum jelas, tetapi neuropati dan kerusakan pada saluran keluar sebagai hasil dari peningkatan yang berlebih pada kandung kemih bagian leher adalah faktor yang memungkinkan. Sehingga, peningkatan kandung kemih bagian leher (lebih dari 2,6 cm pada MRI) dan riwayat inkontinensia karena operasi sebelumnya telah menunjukan keterkaitan dengan terbentuknya DO dan urge inkontinensia setelah operasi. 
Studi urodinamik sebelum operasi tidak sebagai alat bantu untuk mengidentifikasi mereka dengan risiko tinggi dikarenakan rendahnya spesifitas dan sensitifitas akan cystometri pada DO. Hal ini memungkinkan seorang pasien dengan urgensi, tetapi dengan kandung kemih yang stabil, bisa memiliki DO yang tidak terdeteksi. Sehingga merupakan hal yang penting untuk tidak bersikap tidak peduli terhadap gejala-gejala yang ada. Peningkatan deteksi DO sebelum operasi menggunakan pengukuran ketebalan dinding kandung kemih (dengan ultrasound tiga dimensi) atau monitoring yang terus menerus dapat mencegah operasi yang tidak diperlukan pada pasien-pasien ini.
Beberapa pasien dengan  gejala OAB sebelum operasi dapat dibantu dengan  colposuspension, tetapi untuk mengidentifkasi gejala merupakan  suatu hal yang sulit. Riwayat mungkin bisa membantu. Sebagai contoh, sudah dinyatakan bahwa gejala-gejala dari stres inkontinensia sudah mendahului urge/rasa mendadak, keduanya dapat dibantu colposuspension; tetapi ketika  rasa mendadak mendahului stres, hasilnya adalah buruk.
Direkomendasikan bahwa, jika USI ditegakkan berdasarkan gejala dan pemeriksaan urodinamik, maka colposuspension dapat dilakukan. Namun, pasien harus diperingatkan  akan risiko urge inkontinen setelah operasi.
Perubahan pada teknik operasi, sebagai contoh mencegah buang air kecil berlebih, kenaikan leher kandung kemih (lebih dari 2,6 cm),–dapat dicegah. Walaupun riwayat, urodinamik, dan teknik operasi, akan ada seorang pasien yang akan terjadi urge inkontinensia de novo tanpa adanya faktor resiko preoperasi. Penelitian selanjutnya harus menentukan bagaimana hal ini dapat dicegah. Dalam waktu yang sama, identifikasi faktor resiko dan kerusakan saluran keluar, dapat direkomendasikan.

Mid-Urethral tapes
Beberapa data tension-free vaginal tape (TVT) memiliki efek yang lebih baik dalam pencegahan gejala de novo yang mendadak/DO dibandingkan colposuspension. Pada sebuah RCT membandingkan onset baru uregensi dan urge inkontinensia saat 2 tahun. Namun, ada pengurangan yang signifikan pada angka yang dilaporkan mengenai gejala OAB pada kedua kelompok, tetapi tidak diantara kelompok.
Pada pengamatan riwayat penyakit pada pasien selama 7 tahun setalah TVT, 22,5% memiliki ’gejala-gejala mendadak’. Pada yang akan datang 6,3% merupakan de novo, terhadap 9,1% insiden yang dilaporkan oleh penulis lainnya. Pada mereka ynag dengan gejala-gejala OAB sebelum operasi, 57% akan sembuh setelah operasi.
Dari kasus-kasus ini akan tampak bahwa insiden urge inkontinen dan OAB tidak berbeda setelah colposuspension.

Pencegahan terhadap Inkontinensia yang belum terlihat atau memiliki potensi
Inkontinensia merupakan komplikasi yang paling sering membuat cemas  setelah operasi POP. Hal ini telah ditunjukan bahwa 7-22% pasien dapat mengalami inkontinen de novo setelah operasi POP.
Percobaan menggunakan cincin pessary telah dilakukan untuk mengidentifikasi mereka yang berisiko. Pada bagian yang tidak dikontrol, 67 pasien menjalani perbaikan bagian aterior untuk cystocele yang besar (tanpa urinari inkontinen) sesudah tes cincin pessary sebelum operasi dan studi urodinamik.  Didapatkan penurunan rasio perpindahan tekanan pada 24 pasien dan dapat dibuktikan adanya stres inkontinen pada 17 pasien. duapuluh empat pasien menjalani prosedur suspensi jarum propilatik bersamaam dengan perbaikan bagian anterior. Hal ini menghasilkan peningkatan rasio transmisi tekanan dengan semua pasien post operasi .
sangat memungkinkan bahwa pasien akan menjadi inkontinen dengan perbaikan bagian depan dengan sendirinya. Namun, dimana pasien tidak diacak menjadi tidak ada anti-inkontinen prosedur, hal ini menjadi tidak jelas jika inkontinen bisa terjadi atau tidak. Satu RCT yang kecil telah gagal untuk mngkorfimasi bahwa prosedure anti-inkontine yang serentak merupakan suatu pencegahan.
Sudah diketahui secara umum bahwa insiden potensi terjadinya stres inkontinen (sebagi contoh yang tampak pada sebelum operasi diikuti tes pessary) melampaui yang sebenarnya terlihat setelah prosedur. namun, masih dibutuhkan banyak data.
Ketika ada kasus-kasus menggunakan profilatik TVT saat waktu operasi prolaps, dan banyak RCT memeriksa akan efek prophylatik colposuspension saat waktu sacrocolpopexy untuk katup vaginal yang prolaps (CARE studi), saat ini  belum ada bukti bahwa operasi anti-inkontinen  profilaktik pada  waktu operasi POP dapat mencegah terjadinya inkontinen. Saat ini dapat untuk mengingatkan pasien-pasien yang memiliki potensi tinggi mengalami inkontinen dan kemungkinan membutuhkan pengobatan di masa yang akan datang.

Pencegahan: Stres Inkontinen yang Berulang setelah Suspensi Katup
Jarang tetapi berpotensi memiliki risiko berulangnya stres inkontinen pada pasien yang sebelumnya memiliki riwayat colposuspension yang sukses.
Studi kasus menyoroti potensi resiko dan  metode-metode pencegahan. Sebagai contoh, menentukan jumlah elevasi tunggul vagina sebelum operasi yang dimana tidak menghasilkan inkontinen, sebagai contoh sacrocolopexy bisa mencegah komplikasi. Sebagai tambahan, melakukan perbaikan sacrospinous dalam antestesi spinal dapat membuat pasien melakukan tes stres batuk, yang memungkinkan perubahan dalam peletakan jahitan luka untuk mencegah terjadinya inkontinen.
Sangat sering komplikasi-komplikasi ini tidak jelas. Namun, laporan ini menyorot pada kebutuhan untuk menjaga-jaga dan menjadi waspada akan kemungkinan resiko pasien mengalami inkontinen lagi, walaupun operasi inkontinen sbelumnya sukses.

PENCEGAHAN GAGALNYA OPERASI UNTUK INKONTINEN DAN PROLAPS

Operasi Stres Inkontinen
Angka kesuksesan untuk operasi USI adalah 80-90%. Namun, gambaran ini telah dipertanyakan. Perbedaan yang ada berkaitan dengan definisi dari sukses atau diagnostik, pasien atau faktor teknik.
Operasi inkontinen sebelumnya dan defisiensi intrinsik spingter (ISD) bisa menjadi penting. Sebagai contoh 54% kegagalan yang dilaporkan pada pasien dengan ISD, walaupun bukan suatu hal yang  konsisten ditemukan.
Studi yang ada diharapkan dapat membedakan beberapa prosedur operasi untuk ISD, seperti slings ,colposuspension, penyuntikan, dan tape mid-uretra sehingga kegagalan dapat dicegah.
Gold standart operasi untuk USI berkaitan dengan hipermobilitas pada kandung kemih bagian leher adalah dengan Burch colposuspension, walaupun tape mid-uretral (contoh TVT) telah menjadi terkenal, dibandingkan dengan hasil jangka pendek dan panjang.
Pencegahan kegagalan operasi dapat dilakukan dengan menjauhi prosedur yang memiliki  rata-rata kesuksesan yang rendah (contoh perbaikan bagian depan) atau yang belum sepenuhnya di evaluasi atau gagal untuk menunjukkan kelebihan colposuspension.
Perhatian terhadap hal tersebut diatas tadi dapat mengurangi rerata kegagalan dengan operasi. Pepatah lama: "Operasi yang pertama pasti yang tebaik" dan "Kita seharusnya memilih operasi yang tepat untuk pasien yang tepat dan orang yang tepat untuk operasi yang tepat". Hasil akhirnya tergantung pada faktor-faktor seperti obesitas, umur, riwayat operasi sebelumnya, prolaps yang serentak, dan overaktifitas detrusor.


Sistocyle/perbaikan bagian anterior
Perbaikan bagian anterior sudah lama diketahui memiliki rata-rata kegagalan yang tinggi, dengan insiden mencapai 40%. Alasan-alasan akan kegagalan masih belum jelas dan bisa berkaitan dengan teknik operasi,pemilihan pasien, dll.
Hal ini juga dimungkinan bahwa kelainan anatomik berkaitan dengan cystocele belum diperbaiki. Sebagai contoh pada kebanyakan kasus kelainan anatomik adalah perlekatan dari fascia paravaginal dari arcus tendineus fascia pelvis (ATFP) atau ’garis putih’. Hal ini tidak seperti bagian anterior yang diperbaiki dimana midline fascial plikasi akan mengkoreksi kelainan ini; perbaikan paravaginal mungkin lebih tepat. Sementara angka kesuksesan yang sudah dikutip mencapai 76-97%. RCT diperlukan untuk melihat jika prosedur perbaikan paravaginal menghasilkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan perbaikan bagian anterior pada kasus kelainan paravaginal.
Saat ini belum ada tes yang valid yang dapat mengidentifikasi kelainan-kelainan ini, baik sebelum ataupun selama operasi, dan  pencegahan adalah suatu hal yang dimungkinkan.

Pencegahan Overaktifitas Detsrusor (DO)
Etologi dan natural history akan DO tidak jelas, pencegahan pun menjadi sulit. Ada beberapa studi yang meneliti outcame jangka panjang, Mereka menyarankan bahwa OAB merupakan kondisi kronis yang muncul secara urodinamik dan simptomatik.
Tindakan pencegahan setelah operasi urge inkontinen, ketepatan diagnosis dengan menggunakan studi urodinamik dapat membantu menyingkirkan operasi-operasi yang tidak perlu pada pasien-pasien yang memiliki DO dan USI.
Hal ini mungkin bahwa DO dapat muncul awal saat kanak-kanak.Sebagai contoh pasien dengan primary nocturnal eneuresis yang menetap memiliki kemungkinan besar menjadi DO. Dalam usaha mencegah gejala-gejala pada anak-anak mereka, seorang ibu yang dirinya sendiri terkena OAB sering melatih  anak-anaknyauntuk berkemih lebih sering. Hal ini sangat  produktif dimana terlalu sering buang air kecil dapat berkembang menjadi urgensi dan urge inkontinen.

Walaupun tidak ada satupun studi memiliki hasil penemuan yang meyakinkan, walaupun demikian dibutuhkan  investigasi selanjutnya di area ini.
Gejala yang timbul pada kanak-kanak relevan dengan etologi DO, sehingga pendidikan orang tua berkaitan  dengan pelatihan berkemih bisa menjadi faktor  pencegah.
Faktor fisiologis mempengaruhi etiologi DO.
Identifikasi, bersamaan dengan ketepatan pysicoterapi, telah menunjukkan hasil yang memberikan harapan. Hal ini mungkin bisa meningkatkan kelayakan dalam pencegahan.
Bukti anecdotal menyarankan bahwa konsumsi cairan yan tinggi berkaitan dengan gejala-gejala frekuensi dan urgensi. Stimulasi pelonggaran kandung kemih (contoh kafein dan alkohol) sebaiknya dipertimbangkan.
Akhirnya, teori penting menyarankan bahwa kandung kemih bagian leher yang terbuka (berhubungan dengan melemahnya dinding bagian anterior) dapat menjadi terbentuknya DO. PMFT bisa nantinya menjadi alat pencegahan. Namun, studi yang panjang dibutuhan untuk menguji hipotesis ini.
Peneltian yang selanjutnya membutuhkan etiologi akan DO, yang dimana bisa multifaktor, Dalam waktu bersamaan, pencegahan hanya bisa menjadi spekulasi.


KESIMPULAN

Natural history dari inkontinensia dan POP masih memerlukan banyak bukti, tetapi ada bukti bahwa perbaikan secara spontan sering terjadi.
Pencegahan yang efektif hanya dapat dilakukan dengan studi yang lama dimana terdapat intervensi yang tepat dalam kelompok dengan resiko tinggi. Sebagai contoh:
   Pengobatan dengan masalah yang ada seperti obesitas, batuk kronis, atau konstipasi, bisa membantu dalam pencegahan primary dan secondary.
 Studi intervensi pada kanak-kanak dengan gejala-gejala dan individu-individu yang asimtomatik dengan riwayat keluarga inkontiensia dan /POP, sebaiknya dibuktikan dengan  informasi yang didapat.
   Penelitian yang selanjutnya dibutuhkan untuk meneliti akan efek pencegahan dengan terapi HRT pada wanita menopuse
  Studi terhadap pasien dalam waktu yang lama pada pasien dengan inkontinensia sebagai akibat kehamilan dan kelahiran melalui vagina diharuskan sebelum operasi sesar direkomendasikan untuk pencegahan. PMFT yang singkat tampaknya memberi efek yang baik pada kelompok dengan resiko.
   Disarakan memberi perhatian pada potensi risiko inkontinensia diikuti dengan histerektomi atau operasi POP.
   Penelitian selanjutnya diharuskan untuk mengidentifikasi alasan akan hasil pengobatan yang tidak bagus (contoh operasi POP) dan perhitungan yang diambil untuk meningkatkan kesuksesan.

Related Articles:




Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...