Antara 0,5-1% pasangan mengalami recurrent pregnancy loss (RPL), yang didefiniskan sebagai keguguran > 3x berturut-turut. Keguguran dapat diklasifikasikan sebagai pre-embrionik (<5minggu), embrionik (5-10 minggu) atau fetal (>10minggu). Kelainan genetik mempunyai peranan pada 24% dari RPL. Produksi progesteron yang tidak adekuat telah dipertimbangkan sebagai suatu penyebab RPL dan progesteron diberikan untuk mencegah keguguran, meskipun data-data yang mendukung masih kurang. Mutasi pada faktor V Leiden dan prothrombin G20210A merupakan thrombofilia yang umum diturunkan dan juga berhubungan dengan RPL. Trombofilaksis pada antenatal terkadang direkomendasikan meskipun tidak ada data mengenai efikasinya. Antiphospholipid syndrome diketahui sebagai penyebab RPL dan pemberian trombofilaksis antenatal mengurangi risikonya. Kelainan uterus juga dapat berakibat pada RPL. Sekitar 50% kasus RPL tidak diketahui penyebabnya. Inkompatibilitas alloimun juga dipertimbangkan sebagai penyebab RPL akan tetapi konsep ini belum terbukti secara ilmiah.
RPL adalah suatu masalah klinis yang menyusahkan dan dihadapi oleh sekitar 1% dari pasangan yang menginginkan keturunan. Patofisiologinya kompleks dan sulit dimengerti. Penyebab RPL hanya ditemukan pada sekitar 50% penderita RPL. Secara umum RPL dikategorikan sebagai kelainan genetik dan molekuler, patologi uterus, disfungsi endokrin, kelainan immunologi, kelainan trombofilia, dan faktor lingkungan. Sayangnya, penyebab RPL tetap tidak diketahui pada 50% pasangan lainnya. Sehingga tidak mengejutkan apabila pasien dan dokter terkadang kembali kepada terapi empiris dan alternativ yang diperkirakan dapat meningkatkan kemungkinan kehamilan yang baik, meski bukti mengenai keberasilan dan keamanannya kurang mencukupi.
Tujuan dari bab ini adalah untuk mereview aspek biologis dan klinis dari RPL menggunakan pendekatan evidence-based. Diharapkan para dokter akan mempunyai pemahaman yang lebih baik mengenai RPL sehingga dapat memberikan penatalaksanaan berdasarkan bukti yang valid dan bersifat keilmuan.
Latar belakang
Perkembangan embrio dan fetus
Secara tradisional, dokter akan mengelompokkan semua keguguguran sebelum 20 minggu sebagai “abortus” dan kematian fetus setelahnya sebagai “stillbirth”. Bagaimanapun juga skema klasifikasi ini tidak mengindahkan persepsi dari perkembangan biologi dan realitas klinik dari keguguran. Perkembangan hasil konsepsi dari telur yang buahi menjadi bayi berkaitan dengan langkah-langkah yang kompleks dan saling berhubungan. Periode pre-embrionik berlangsung sejak konsepsi sampai dengan minggu ke-4 kehamilan (3 minggu setelah fertilisasi). Selama periode ini, trophoblast berdiferensiasi dari sebuah jaringan menjadi sebuah embrio (inner cell mass) dan berimplantasi pada endometrium ibu (hari ke 6-7 setelah fertilisasi). Pre-embrio ini kemudian berubah menjadi diskus bilaminar kemudian menjadi trilaminar dan dapat di observasi secara mikroskopik terjadi perubahan sel dalam membentuk bagian cranial dari neural aksis sentral pada massa pre-embrionik.
Periode embrionik diperkirakan terjadi pada usia kehamilan 5-9 minggu. Selama masa ini diskus trilaminar melipat menjadi silinder, bagian kepala dan ekor mudah dikenali sebagai lipatan kranial dan kaudal, segmentasi terlihat dan terjadi organogenesis.
Periode fetal dimulai pada usia kehamilan 10 minggu sampai dengan persalinan. Karakteristik pada periode ini adanya pertumbuhan dan diferensiasi dari struktur yang telah terbentuk sebelumnya dan masih terdapat sedikit organogenesis.
Selain itu didapati juga adanya fase-fase yang jelas pada perkembangan plasenta dan sirkulasi maternal-fetal. Pemeriksaan histologi dan USG doppler mengindikasikan bahwa pada kehamilan normal didapati adanya obstruksi arteri uteroplasenta oleh invasi sel-sel trophoblst. Keadaan ini mengakibatkan darah maternal yang mengalir ke jaringan intervilli pada usia kehamilan 10-12 minggu sangat sedikit. Sehingga, daerah intervilli cenderung bersifat hipoksia dan terisi cairan aseluler.
Klasifikasi
Klasifikasi yang akurat mengenai keguguran biasanya sulit karena gejala klinisnya yang kurang spesifik. Gejala dari keguguran secara umum adalah perdarahan dari uterus dan nyeri perut biasanya terjadi beberapa hari setelah kematian dari hasil konsepsi sehingga keguguran pada masa pre-embrionik dan embrionik tidak terlihat jelas secara klinis sampai dengan usia kehamilan 10-12 minggu. Pada kasus lain, kematian janin tidak akan berlangsung sampai dengan sesaat sebelum atau setelah gejala klinis muncul, seperti pada kasus insufisiensi serviks. Sementara kematian fetus pada usia kehamilan setelah 20 minggu biasanya disebut sebagai kematian neonatus (“neonatal loss” atau “neonatal death”).
Epidemiologi
Kehamilan pada manusia merupakan suatu proses yang tidak efisien. Sekitar 50% konsepsi gagal, kebanyakan tidak diketahui karena terjadi sebelum atau bersamaan dengan waktu menstruasi selanjutnya. Keguguran (miscarriage) merujuk pada gagalnya hasil konsepsi yang terjadi setelah terlewatinya waktu menstruasi bulan berikutnya, terjadi pada 13-15% dari kehamilan yang diketahui. Sekitar 90% terjadi pada usia kehamilan 12-14 minggu (dari HPM) dan hanya sekitar 2-5% terjadi setelahnya. Waktu terjadinya keguguran bersifat bifasik sehingga jarang keguguran yang terjadi pada usia kehamilan 8,5-14 minggu. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa tidak ada embrio yang hidup pada usia kehamilan 8,5 minggu yang gugur sebelum usia kehamilan 14 minggu.
Keguguran biasanya bersifat sporadik, tidak berurutan dan terjadi pada waktu yang tidak ditentukan. Hal ini merupakan sesuatu yang umum terjadi dimana 10-20% wanita akan mengalami 1x keguguran selama masa reproduksinya. Sebagai perbandingan, hanya 2% wanita hamil yang mengalami 2x keguguran. RPL, keguguran 3x berturut-turut, hanya terjadi pada 0,5-1% dari wanita. Kebanyakan wanita dg RPL mengelami keguguran pada masa pre-embrionik dan embrionik; kematian fertus yang berurutan lebih jarang terjadi. RPL primer merujuk pada wanita dg keguguran berulang tanpa pernah mengalami kehamilan yang sukses sebelumnya; RPL sekunder merujuk pada keguguran yang terjadi apabila si ibu pernah melahirkan sebelumnya. Belum jelas apakah keguguran yang tidak tampak dan hanya diketahui melalui tes β-hCG dimasukkan dalam definisi ini.
Antara 25-30% wanita dengan 3x keguguran berturut-turut pada periode pre-embrionik dan embrionik akan mengelami keguguran kembali pada kehamilan selanjutnya. Risiko untuk berulang diperkirakan meningkat sesuai dengan jumlah keguguran yang terjadinya sebelumnya dan prognosisnya akan menjadi lebih baik jika sudah pernah melahirkan sebelumnya. Merokok dan alkohol serta usia ibu yang tua memperburuk prognosis. Meski demikian, 70% pasangan dengan riwayat keguguran berulang pada periode pre-embrionik dan embrionik akan dapat hamil sampai dengan aterm pada kehamilan selanjutnya, meskipun tanpa terapi. Prognosis dari wanita dengan kematian fetus berulang kurang baik. Kematian fetus antara 16-27 minggu meningkatkan rekurensi 20x. Kematian fetus setelah 28 minggu meningkatkan rekurensi 5x.
Penyebab Keguguran Berulang
Abnormalitas genetik dan molekuler
Balanced translocations
Antara 2-4% pasangan mengalami RPL karena salah satu pasangan mengalami perubahan struktur kromosom yang seimbang, biasanya balans translokasi. Jika demikian, secara umum jika pasangan datang dengan riwayat RPL sebaiknya dilakukan analisis kariotip. Insidens dari balans translokasi 2x lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Meski karier balans translokasi memiliki fenotip yg normal, pemisahan saat meiosis mengakibatkan adanya duplikasi kromosom atau defisiensi pada anak turunnya dan mengakibatkan abortus spontan atau janin yang dilahirkan mengalami abnormalitas. Sekitar 60% balans translokasi adalah resiprokal, dan 40% lainnya robertsonian. Risiko aneuploidi bergantung apakah orangtua heterozigot terhadap translokasi tadi dan kromosom yang terkena. Translokasi pada kromosom yang homolog mencegah adanya keturunan yang normal.
Inversi
Inverse pada kromosom juga dihubungkan dengan RPL. Seperti pada karier translokasi, karier heterozigot dari inverse secara fenotip. Tetapi karena urutan gen mereka terbalik, crossing over saat meiosis mengakibatkan gamet dengan kromosom yang tidak balans. Risiko keturunan yang abnormal bergantung pada ukuran dan lokasi dari inversi dan apakah kariernya laki-laki atau perempuan. Inversi sebagian kecil dari total panjang kromosom biasanya mengakibatkan duplikasi yang besar dan defisiensi serta umumnya letal. Sedangkan inversi yang luas lebih cenderung untuk selamat (survive). Risiko keturunan yang abnormal agak sedikit meningkat jika karier heterozigotnya adalah perempuan (7% vs 5%). Rekombinan parasentrik secara umum letal.
Aneuploidi berulang
Sekitar 50% keguguran merupakan akibat aneuploidi. Beberapa pasangan dengan RPL mungkin memiliki tendensi untuk terjadinya aneuploidi embrio yang berulang meskipun kariotip orangtua normal. Pada beberapa analisis ditemukan bahwa keguguran pertama dengan aneuploidi berhubungan dengan kemungkinan berulang pada kehamilan selanjutnya sebesar 50-70%. Konsep dari aneuplosidi berulang di support oleh penelitian mengenai genetika preimplantasi dimana aneuploidi ditemukan pada lebih dari 50% embrio pada beberapa wanita dg RPL. Bagaimanapun, ide mengenai aneuploidi berulang pada RPL masih diperdebatkan oleh beberapa penelitian terbaru. Ketika kariotip disesuaikan dengan usia ibu, didapati hubungan yang tidak signifikan secara statistikan antara aneuploidi dan RPL. Pada penelitian retrospektif terbaru para peneliti menemukan bahwa insiden aneuploidi pada abortus secara signifikan lebih rendah pada wanita dengan riwayat RPL dibandingkan dengan kontrol sehingga apabila aneuploidi dianggap berperan terhadap kejadian RPL, maka ia hanya akan terjadi pada sebagian kecil pasien. Meski demikian, analisis kariotip pada hasil konsepsi perlu disarankan kepada pasien-pasien dengan riwayat RPL.
Asimetris kromosom X inaktivasi
Perkembangan dari teknologi terbaru mengenai DNA telah memungkinkan kita untuk mencari abnormalitas dari single gen yang dapat mengakibatkan keguguran pada wanita dengan RPL. Terdapat beberapa kemungkinan pada gen di kromosom X karena sifatnya yang unik yaitu terjadinya transcriptional silencing (inaktivasi) pada sel wanita. X-chromosome inactivation (XCI) terjadi secara random sehingga 50% dari seluruh sel di tubuh wanita mengekspresikan alel paternal dan 50% lainnya mengekspresikan alel maternal. Asimetris XCI adalah suatu keadaan patologi dimana mayoritas dari sel lebih cenderung mengekspresikan 1 jenis alel dari orang tua. Penelitian restrospektif menunjukkan bahwa wanita dengan RPL memiliki asimetris XCI non-random lebih banyak dari kontrol. Satu grup melaporkan 14% XCI ada pada wanita dengan RPL dan 1% pada kontrol. Sebuah kelainan x-linked bersifat letal pada fetus direkomendasikan oleh karena hasil konsepsi dg jenis kelamin laki-laki (XY) lebih sering mengalami aborsi pada wanita dengan XCI. Penelitian lain menemukan XCI pada 18% wanita dengan RPL atau riwayat kehamilan dengan kelainan kromosom dibandingkan 7% pada kontrol. Meski demikian masalah ini masih diteliti dan masih belum ada kepastian. Penelitian prospektif terbaru tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara XCI dan hasil akhir dari kehamilan. Lebih lanjut, hipotesis mengenai mutasi dari kromosom X yang menghasilkan asimetris XCI dan pada akhirnya berakibat letal pada embrio laki-laki karena mendapatkan X yang mengalami mutasi tidak menjelaskan peningkatan trisomi autosom yang diketahui melalui kariotip hasil abortus pada wanita dengan RPL dan asimetris XCI.
KELAINAN ENDOKRIN
Disfungsi endokrin pada beberapa jalur hormon berkontribusi terhadap RPL pada beberapa wanita. Tidak terdapat peningkatan risiko keguguran pada wanita dengan DM yang terkontrol. Bagaimanapun, HbA1C yang tinggi berhubungan dengan kontrol gula yang buruk pada awal kehamilan berhubungan dengan abortus spontan dan kematian janin pada kehamilan lanjut. Penyakit tiroid yang tidak terkontrol juga berhubungan dengan kegagalan reproduksi, meskipun infertilitas lebih menjadi masalah dibandingkan kegugurannya. Beberapa peneliti melaporkan adanya hubungan antara autoantibodi terhadap tiroid dan RPL bila diidentifikasi segera sebelum konsepsi atau di awal kehamilan. Ketika dipelajari secara prospektif, peneliti lain tidak menemukan hubungan antara antitiroid antibodi dan keguguran. Karena tidak terdapat pengobatan yang valid, melakukan pelacakan antitiroid antibody tidak terlalu berguna.
Defek Fase Luteal / Luteal Phase Defect (LPD)
Progesteron menginduksi terjadinya fase sekresi pada endometrium yang penting untuk implantasi dan keberlangsungan kehamilan. Selama fase luteal dari siklus menstruasi, progesteron merupakan hormon utama yang diproduksi korpus luteum. Jika kehamilan terjadi, korpus luteum terus memproduksi progesteron sampai trofoblast dapat memproduksi progesteron dalam jumlah yang cukup untuk mempertahankan kehamilan (5 minggu setelah konsepsi). Penelitian-penelitian awal menghasilkan hipotesis bahwa LPD terjadi karena sintesis progesteron yang tidak adekuat dan berlanjut pada keguguran pada wanita dg RPL. Pendukung LPD menjelaskan secara teori bahwa LPD terjadi karena perkembangan folikel oosit yang buruk dan sekresi estrogen yang abnormal, keduanya menyebabkan jumlah LH yang berlebih atau terjadi suatu keadaan hiperandrogenik.
Asal muasal diagnosis LPD dikarenakan adanya hasil endometrial biopsi yang disebut sebagai “out of phase” karena terjadi keterlambatan 2 hari dari tanggal ovulasi yang dihitung mundur dari tanggal menstruasi periode selanjutnya. Pada penelitian berbasis klinis kriteria diagnosis seperti itu sangatlah tidak akurat karena baik intraobserver dan interobserver terdapat variabilitas yang besar pada interpretasi patologi keduanya. Sebagai tambahan banyak wanita normal yang mengalami “out of phase” pada biopsi endometrium tanpa mengalami keguguran. Kadar progesteron juga dikemukakan sebagai kriteria diagnosis untuk LPD. Bagaimanapun juga pada pasien dengan RPL, kadar progesteron yang rendah pada fase luteal hanya dapat memprediksi 71% dari LPD berdasarkan hasil biopsi endometrium yang abnormal.
Meski tidak terdapat bukti ilmiah yang mendukung LPD sebagai suatu keadaan patologis, agen progestational telah secara umum diberikan kepada wanita dengn RPL untuk mencegah keguguran pada trimester pertama. Penelitian awal mengenai pemberian suplemen progesteron dilaporkan memperbaiki luaran kehamilan pada wanita yang diterapi. Bagaimanapun juga kepercayaan pada temuan ini masih dipertanyakan karena tidak ada penelitian yang menggunakan kontrol yang sesuai. Metaanalisis pada pemberian suplemen progsteron untuk wanita dengan RPL tidak berhubungan dengan peningkatan luaran kehamilan.
PCOS
Adanya kemungkinan terdapat hubungan antara PCOS dengan RPL telah dipikirkan karena didasari adanya temuan bahwa 36-56% wanita dengan RPL menderita PCOS. Diagnosis PCOS berdasarkan USG. Yang menarik, temuan ini tidak memprediksi keguguran yang terjadi pada wanita dengan RPL dengan hasil USG yang normal. Telah dirumuskan bahwa keguguran pada wanita dg PCOS terjadi karena peningkatan serum LH, testosteron dan androstenedione dan atau resistensi insulin. Pada kenyataannya telah dilaporkan bahwa prevalensi yang tinggi dari resistensi insulin terdapat pada wanita dengan RPL dibandingkan kontrol yang fertil, tidak peduli apakah mereka memiliki PCOS atau tidak. Penatalaksanaan resistensi insulin dengan metformin dikatakan dapat menurunkan jumlah keguguran pada sebuah penelitian retrospektif dengan jumlah sampel yang kecil dan tanpa kontrol yang sesuai. Dan tidak ada penelitian lain yang menggunakan kontrol yang sesuai. Melalui beberapa penelitian bukti bahwa metformin tidak menginduksi teratogenesis saat digunakan pada masa kehamilan, metformin memang menembus barier plasenta dan tidak ada penelitian mengenai luaran jangka panjang dari anak-anak yang terekspose dengan metformin saat kehamilan.
Abnormalitas uterus
Antara 7-8% wanita mempunyai kelainan uterus (anomali Mullerian). Prevalensinya di antara wanita dengan RPL cukup tinggi sekitar 10-15%. Kelainan uterus yang biasanya berhubungan dengan RPL antara lain bikornu, septa, dan didelphys. Meski uterus arkuata adalah kelainan tersering dari anomali Mullerian, hubungannya dengan luaran kehamilan yang buruk , termasuk RPL, masih belum pasti. Satu buah penelitian menemukan bahwa terdapat uterus arkuata dari 15% wanita dengan RPL dibandingkan dengan 3% wanita pada populasi normal. Penelitian lain juga melaporkan tidak terdapat asosiasi antara uterus arkuata dan RPL.
Kelainan uterus yang lain (seperti leiomyoma, anomali yang berhubungan dg DES, sinekia intrauterine (asherman’ syndrome)) akan mempengaruhi implantasi dan berakibat pada keguguran. Antara 15-30% wanita dg asherman’s syndrome akan mengalami RPL. Adhesiolisis dapat dilakukan dan 50% dari wanita yang menjalani akan hamil. Akan tetapi, risiko keguguran tetap tinggi. Hubungan antara leiomyoma dan DES masih belum jelas.
Thrombofilia
Pada kehamilan diketahui terjadi suatu keadaan hiperkoagulasi karena terdapat perubahan fisiologis pada produksi faktor pembekuan seperti penurunan kadar protein S, resistensi yang di dapat dalam mengaktivasi protein C dan ketidakseimbangan fibrinolisis. Tidak heran bila risiko tromboemboli vena meningkat 5-6x. Kelainan trombofilia yang diturunkan diketahui pada 50% wanita yang menderita tromboemboli vena saat hamil juga pada wanita dengan kelainan obstetrik seperti RPL, preeklampsia dan insufisiensi uteroplasenta. Defek trombofilia, termasuk mutasi faktor V Leiden dan prothrombin G20210A, dan defisiensi pada protein C, protein S, dan antithrombin III telah dilaporkan pada 49-65% wanita dengan komplikasi dalam kehamilan dan pada 18-22% wanita dengan kehamilan normal. Faktor V Leiden dan prothrombin G20210A mutasi sampai saat ini adalah trombofilia tersering. Faktor V Leiden ada sebanyak 8% dari populasi kaukasia di AS sedanfkan prothrombin G20210A 3%. Keduanya telah dihubungkan dengan keguguran pada beberapa penelitian. Akan tetapi hubungan yang paling kuat adalah dengan kematian janin pada trimester 2 dan 3 dibandingkan trimester 1. Pada metaanalisis terakhir, dengan jumlah sampel 3000 wanita yang mengalami mutasi faktor V Leiden dan 2000 wanita dengan mutasi prothrombin, diketahui bahwa kedua hal tersebut meningkatkan risiko pada trimester pertama sebanyak 2-3x.
Patogenesis dari keguguran pada wanita dengan trombofilia diperkirakan berhubungan dengan infark plasenta. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk keguguran pada trimester pertama masih belum dapat dimengerti secara jelas. Kecenderungan ibu untuk terjadinya trombosis secara teori dipengeruhi oleh implantasi dan/atau perkembang dari sirkulasi uteroplasenta. Akan tetapi, sebuah penelitian terbaru mengenai wanita yang melakukan IVF ditemukan bahwa kesuksesan embrio transfer lebih besar pada karier mutasi faktor V Leiden dibandingkan kontrol.
Prevalensi yang tinggi dari komplikasi obstetrik pada wanita dengan trombofilia telah mengarahkan kita kepada penggunaan antikoagulan untuk meningkatkan luaran pada wanita dengan trombofilia yang mengalami RPL, secara umum didasari oleh bukti antikoagulan untuk kehamilan pada wanita dengan antiphospholipid syndrome. Akan tetapi data mengenai kegunaan antikoagulan selama kehamilan pada wanita dengan trombofilia dan RPL hanya terbatas dengan seri kasus tanpa kontrol yang sesuai untuk perbandingan. Selain itu sebuah varietas penatalaksanaan telah di tetapkan. Sampai dengan RCT dilakukan, antikoagulan profilakasis hanya terbatas pada wanita dg trombofilia dan RPL setelah diberikan informasi mengenai risiko dan minimnya data mengenai keuntungan obat ini.
Antiphospholipid syndrome (APS)
Hubungan antara antiphospholipin antibody(aPL) dengan keguguran diketahui akhir abad 20. APS menjelaskan hubungan antara RPL dan aPL juga hubungan antara aPL dg kejadian trombosis. Diagnosis APS dibuat berdasarkan riwayat tromboembolism atau adanya komplikasi yang berhubungan dengan aPL. Pada wanita dengan APS memiliki nilai titer IgG terhadap ACA dan/atau Lupus antikoagulan sedang sampai dengan tinggi. Patogenesis keguguran pada wanita dengan APS telah diketahui sebagai akibat dari fungsi plasenta yang abnormal, yang mungkin terjadi akibat kelainan perkembangan dari sirkulasi uteroplasenta. Infark yang luas, nekrosis dan trombosis telah diidentifikasikan pada plasenta yang merupakan hasil abortus pada wanita dengan aPL. Spiral arterial vasculopati pada pembuluh darah desidua juga telah dihubungkan dengan keguguran yang berhubungan dengan aPL. Harus dikatakan bahwa abnormalitas histologi pada APS tidak spesifik.
Patogenesis APS
Peneliti-peneliti awal mengasumsikan bahwa hiperkoagulabilitas APS mempengaruhi sirkulasi uteroplasenta. Berbagai mekanisme yang mungkin berkaitan dengan terjadinya trombosis pada level maternal desidua dan ruang intervili telah dipertimbangkan. Perubahan yang tidak menguntungkan pada jalur prostacyclin-tromboxane dan peningkatan ekspresi dari tissue faktor diduga terlibat. Efek dari jalur protein C juga merupakan mekanisme yang mungkin terutama karena perubahan-perubahan yang terjadi ditunjang oleh kehamilan. Penelitian terakhir telah menunjukkan bahwa aPL mengganggu perlindungan terhadap antitrombosis pada trofoblas yang dibentuk oleh annexin V, sebuah protein dengan kemampuan antikoagulan. Penurunan annexin V telah ditemukan pada vili plasenta dan hasil kultur trofoblast. Diperkirakan terdapat beberapa mekanisme antitrombosis oleh aPL dapat menyebabkan gangguan perkembangan plasenta. Para peneliti menemukan bahwa aPL merusak atau menghalangi biologi normal dari trophoblast. Penelitian terbaru pada mencit mengemukakan kemungkinan bahwa aktivasi komplemen penting terhadap kematian janin yang berhubungan dengan aPL dan fetal growth restriction.
Tipe Keguguran pada APS
aPL jarang dihubungkan dengan keguguran yang sporadik pada usia kehamilan < 20 minggu. Meski sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa tes yang positif terhadap Lupus Anticoagulan (LA) atau IgG atau IgM dari ACA dapat ditemukan sampai dengan 20% pada wanita dengan RPL, kriteria diagnosis yang ketat untuk APS tidak serta merta mengikuti, definisi RPL bervariasi (2 atau 3x keguguran) dan tipe dari keguguran (pre-embrionik/embrionik) tidak selalu dijelaskan. Peneliti lain melaporkan bahwa wanita yang memenuhi kriteria APS yang ketat lebih rentan untuk mengalami kematian janin dibandingkan kontrol yang sehat (50% vs 15%). Sebagai tambahan , spesifitas adanya kematian janin oleh karena adanya aPL adalah 76% dibandingkan 6% untuk keguguran pada periode pre-mebrionik dan embrionik.
Penatalaksanaan APS dalam Kehamilan
Penelitian mengenai penatalaksanaan yang telah di publikasikan mengidentifikasikan 2 group dari pasien yang ditemukan pada praktek:
Grup 1: wanita sehat yang masalah utamanya adalah keguguran berulang pada kehamilan awal atau setidaknya 1x kematian janin
Grup 2: wanita dengan kecenderungan mengalami frekuensi yang tinggi untuk keguguran (meski tidak selalu keguguran berulang) termasuk penderita SLE, riwayat Trombosis atau kombinasi dari semuanya.
Beberapa penelitian prospektif mengenai terapi terhadap wanita-wanita yang termasuk dalam grup I telah di publikasikan. Akan tetapi variasi yang besar pada kriteria inklusi dan regimen terapi membuat hasil yang ada sulit untuk dibandingkan. Pada penelitian awal mengenai prednisone dan aspirin sebagai terapi APS selama kehamilan, kelahiran hidup berkisar antara 60-100%. Akan tetapi risiko morbiditas ibu dan persalinan preterm sedikit meningkat. Penelitian terbaru mengenai terapi telah membandingkan luaran kehamilan pada wanita yang mendapat terapi heparin (dengan variasi dosis yang besar) dengan terapi aspirin saja. Sebagian besar penelitian menemukan bahwa kombinasi heparin dan aspirin lebih efektif dalam membantu mempertahankan kehamilan sampai dengan persalinan dibandingkan hanya dengan aspirin. Hanya satu penelitian gagal menemukan perbedaan luaran antara wanita yang diterapi dg “low molecular weight heparin” dan aspirin dibandingkan aspirin saja.Para pembuat kebijikan menyetujui bahwa tromboprofilaksis dosis rendah dengan unfractionated heparin atau low molecular heparin cukup adekuat dalam menatalaksa wanita dengan APS dalam grup I.
Grup 2 , adalah wanita yang mempunyai frekuensi yang tinggi untuk terjadinya keguguran, penderita lupus, pasien dengan riwayat trombosis atau kombinasi dari semua itu, telah menjadi fokus pada beberapa penelitian prospektif, tapi hanya 1 penelitian yang bersifat random. Mayoritas dari wanita ini di terapi dengan unfractionated heparin atau low molecular weight heparin dengan berbagai jenis dosis. Meski perbandingan langsung dari hasil penelitian-penelitian ini hampir tidak mungkin tetapi jumlah kelahiran hidup melebihi 60% dari pasien yang mendapat terapi.
KELAINAN ALLOIMMUNE
Mekanisme fisiologis yang dapat membuat seorang ibu mentoleransi sang bayi yang bersifat semi allogeneic masih belum jelas. Para pembuat kebijakan berpendapat bahwa RPL tidak diketahui penyebabnya dapat merupakan akibat kegagalan dari hubungan diatas (seorang ibu dapat menerima bayinya yang bersifat semi allogeneic). Berbagai hipotesis mengenai patofisiologi pada hal ini telah dikemukakan. Defek pada faktor immunosupresif (cytokin dan growth factor) pada level desidua/trophoblast telah menjadi perhatian seperti halnya meningkatnya level NK sel. Akhir-akhir ini, bukti dari penelitian mengindikasikan survival pada kehamilan bergantung dari immunotoleran sekunder terhadap protein inhibitor untuk komplemen, T-sel regulator ibu, enzim katabolis tryptophan, dan immunoregulator terhadap cytokin immunoterapi.
Terapi untuk alloimun RPL
Meski mekanisme alloimun RPL tidak dapat diidentifikasikan secara jelas, beberapa pembuat kebijakan telah melakukan advokasi kegunaan immunoterapi untuk mencegah inkompatibilitas maternal-fetal. Hal yang paling umum dari immunoterapi ini adalah transfusi leukosit paternal sebelum konsepsi dan imunisasi dg intravenous immuno globulin (IVIG) selama kehamilan. Penggunaan imunisasi leukosit paternal berdasarkan kenyataan bahwa leukosit donor memiliki efek yang menguntungkan untuk rejeksi allograft pada pasien yang mendapat transplantasi. Caranya adalah 1x imunisasi terhadap maternal oleh leukosit paternal sebelum hamil. Penggunaan IVIG didasari oleh observasi IVIG berisi antibodi yang diketahui dapat membantu mengatasi antibodi yang memediasi kerusakan imun, mungkin karena efek sekunder dari kemampuannya untuk memblokade reseptor sel T, menginhibisi aktivitas NK sel, inhibisi sekresi Th-I cytokine, blokade reseptor Fc, inaktivasi komplemen, melakukan down regulasi yang akan mempengaruhi respon sel B, dan meningkatkan fungsi T sel supressor.
Secara umum penelitian yang menggunakan immunoterapi untuk RPL gagal dalam menemukan efek yang menguntungkan bagi kehamilan. Penelitian RCT pertama mengenai imunisasi leukosit paternal menerima perhatian yang besar karena hasil positif yang dicapai. Penelitian itu menyatakan 77% dari 17 wanita yang diterapi dapat hamil dan melahirkan bayi yang sehat, dibandingkan 37% dari kontrol. Akan tetapi tidak semua subjek mendapat evaluasi yang menyeluruh untuk mencari tau penyebab RPL dan 2 pasien di eksklusi karena yang pertama mengalami kehamilan ektopik dan pasien kedua karena HPL yang tidak jelas. Pada data hasil metaanalisis terakhir dari randomized-placebo controlled trial (7 penelitian, 470 wanita) disimpulkan bahwa imunisasi dengan leukosit paternal sebelum konsepsi tidak memiliki efek yang menguntungkan terhadap luaran kehamilan jika dibandingkan dg plasebo.
Kegunaan dari IVIG juga telah diteliti secara luas. Hanya 1 grup yang dikatakan mendapatkan efek menguntungkan untuk luaran kehamilan dari IVIG. Dari 29 wanita yang mendapatkan IVI, 62% mempunyai kehamilan yang sukses dibandingkan dengan 38% dari 32 wanita yang menerima plasebo (p=0.04). Tetapi jumlah kehamilan yang sukses pada grup yang tidak diterapi lebih rendah dari yang diharapkan dan kebanyakan dari pasien penelitian tersebut mengalami 2x keguguran. Metaanalisis terakhir menyatakan tidak terdapat peningkatan pada jumlah kelahiran hidup pada pemakaian IVIG dibandingkan dengan plasebo
Evaluasi Recurrent Pregnancy Loss
Dari sudut pandang penentuan sebab RPL, keguguran pada fase fetus (kematian janin) adalah perbedaan yang fundamental dibandingkan pre-mbrionik dan embrionik. Pada kasus kematian janin, janin itu sendiri perlu diperiksa. Sebagai tambahan berbagai anomali struktur dan prekursor penyabab kematian fetus(sepeti hydrops fetalis) dapat dilihat melalui USG. Penemuan morfologi yang normal pada janin (perubahan saat postmortem dikesampingkan) mengeksklusi adanya kelainan kromosom pada lebih dari 95% kasus. Kelainan kromosom merupakan penyebab yang jarang pada kematian fetus, terutama pada usia kehamilan 15-20 minggu.
Secara kontras, evaluasi pada pasien yang mengalami keguguran pada awal kehamilan yang berulang jarang dilakukan secara langsung karena petunjuk berupa morfologi fetus biasanya tidak tersedia. kegunaan klinis dari evaluasi patologi pada produk kehamilan periode pre-embrionik dan embrionik dipertanyakan karena biasanya hanya mengandung jaringan desidua dan plasenta yang menunjukkan gambaran histologi yang nonspesifik dan hanya memberikan sedikit gambaran penyebab keguguran, karena kita tidak dapat membedakan antara aborsi sporadis ataupun aborsi berulang, dan prognosisnya tidak signifikan. USG pada kehamilan awal sulit untuk mengidentifikasi malformasi yang ada terutama jika alat kurang memadai dan pemeriksa tidak terlalu familiar dg morfologi embrio. Evaluasi yang disarankan untuk RPL ada pada tabel .2 .
KESIMPULAN
RPL adalah suatu masalah yang tidak menyenangkan untuk pasien dan dokter. Karena terdapat berbagai abnormalitas dari fisiologis yang dianggap bertanggungjawab. Hal ini penting untuk memperbaiki klasifikasi RPL yang terjadi pada periode pre-embrionik dan embrionik maupun periode fetal karena akan memberikan perbedaan etiologi dan rekurensi. Hanya 50% penderita RPL yang dapat diidentifikasi penyebabnya. Kelainan genetik ditemukan pada 2% pasangan, kebanyakan karena balanced translocations. Kegagalan fase luteal ditemukan pada 25-30% penderita RPL. Tetapi pemahaman dasar mengenai kegagalan fase luteal sendiri masih belum jelas dan suplemen progesteron untuk mencegah keguguran juga belum cukup data. Resistensi insulin yang berhubungan dengan PCOS dianggap sebagai penyebab RPL pada beberapa wanita. Namun, belum ada cukup data penelitian mengenai regimen terapi yang efektif serta keamanan terapi jangka panjang pada penderita resistensi insulin. Anomali uterus kemungkinan ikut berperan pada RPL. Uterus didelpis, septa dan bicornu berhubungan erat dengan kejadian RPL, tidak demikian dengan uterus arkuata yang hanya memiliki efek minimal terhadap kehamilan. Trombofilia tampaknya berhubungan dengan kejadian kematian janin, tetapi korelasinya dengan keguguran di trimester pertama belum jelas. Trombofilaksis sebelum persalinan dianggap cukup bermanfaat untuk beberapa wanita dengan trombofilia. Antiphospolipid syndrome memiliki korelasi yang erat dengan RPL. Trombofilaksis direkomendasikan diberikan saat kehamilan pada semua wanita dengan APS. Dosisnya disesuaikan dengan karakteristik individual pasien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar