Keuntungan episiotomi banyak dipertanyakan oleh beberapa ahli. Satu manfaat
yang sering disebut tetapi tidak terbukti dari episiotomi rutin adalah bahwa
tindakan ini mencegah kendornya panggul, yaitu: sistokel, rektokel dan inkontinensia
urin. Episiotomi rutin dianjurkan untuk dievaluasi kembali karena kemungkinan berhubungan
dengan meningginya insiden laserasi sfingter ani dan rektum.1 Pada
penelitian sekitar 25.000 kelahiran di rumah sakit John Radcliffe di Oxford dan
dilaporkan bahwa angka episiotomi pada nullipara menurun dari 73% pada tahun 1980
menjadi 45% pada tahun 1984, 39% pada tahun 1997, dan 21% pada tahun 2002.2
Dalam waktu yang sama, insiden robekan derajat kedua meningkat dari 7 sampai 20 per 1000, tetapi insiden
laserasi derajat ketiga tidak berubah sekitar 5 per 1000.1
Laserasi
sfingter ani dilaporkan terjadi mencapai 20% dari persalinan pervaginal dengan
episiotomi medial dan manifestasi baik jangka pendek maupun jangka
panjang, walaupun telah memperoleh perbaikan dari laserasinya tapi lebih dari
50% wanita mengeluhkan terjadinya inkontinensia ani, termasuk inkontinensia flatus,
cair dan feses.3,4
TINJAUAN PUSTAKA
Episiotomi
adalah incisi perineum untuk memperlebar ruang pada jalan lahir, sehingga
memudahkan kelahiran bayi. Jenis
episiotomi antara lain: episiotomi median, episiotomi mediolateral dan
episiotomi lateral. Episiotomi median mempunyai keuntungan antara lain: mudah
diperbaiki, kesalahan penyembuhan jarang, nyeri dimasa nifas tidak berat,
dispareuni jarang terjadi, hasil akhir anatomi labih baik, perdarahan sedikit. Kerugiannya
adalah sering terjadi perluasan laserasi ke sfingter ani dan ke dalam rektum. Keuntungan episiotomi mediolateral adalah jarang
terjadi perluasan laserasi ke sfingter ani dan rektum. Sedangkan kerugiannya
antara lain lebih sulit diperbaiki, kesalahan penyembuhan lebih sering, rasa
nyeri pada sepertiga kasus terjadi selama beberapa hari, kadang diikuti
dispareuni, hasil akhir anatomi sedikit kurang baik pada sekitar 10% kasus
(tergantung operator), perdarahan lebih banyak. Episiotomi lateral pada saat
ini sudah tidak pernah dikerjakan lagi.1,2
Dahulu penggunaan episiotomi
secara rutin dianjurkan untuk mencegah laserasi perineum yang berat, mencegah
terjadinya luka pada janin (hipoksia dan perdarahan intrakranial), menurunkan
inkontinensia urin dan feses post partum dan juga fungsi seksual lebih baik.3
Pendapat utama tentang
episiotomi adalah dapat melindungi perineum dari laserasi, perlindungan didapat
dengan cara menggunting kulit perineum, jaringan ikat dan otot. Para ahli
beranggapan ruptur spontan menyebabkan kerusakan lebih parah, tetapi sekarang
para peneliti lebih banyak menemukan bahwa laserasi yang dalam hampir semuanya
akibat dari perluasan episiotomi.4
Laserasi
vagina dan perineum diklasifikasikan sebagai derajat pertama, kedua dan ketiga.
Laserasi derajat pertama mengenai fourchet, kulit perineum dan membran
mukosa vagina, tetapi tidak mengenai fasia dan otot. Laserasi derajat dua
mengenai kulit dan membran mukosa, fasia dan otot-otot perineum, tetapi tidak
mengenai sfingter ani. Bagian-bagian ini biasanya robek sampai ke atas pada
satu atau kedua sisi vagina, membentuk cedera segitiga tidak teratur. Laserasi
derajat tiga mengenai mulai dari kulit, selaput mukosa dan perineum, sampai mengenai
sfingter ani. Tidak jarang meluas jauh sampai dinding anterior rektum. Laserasi
derajat empat adalah robekan derajat tiga yang meluas sampai mukosa rektum
sehingga memaparkan lumen rektum.1
Gambar: Laserasi perineum4
Panjang laserasi = (X + Y) / 2
X : Panjang laserasi kanan
Y : Panjang laserasi kiri
Beberapa faktor demografik
umum yang menjadi faktor risiko terjadinya laserasi perineum antara lain ras,
keterkaitan dengan ras Asia, dimana ras kulit hitam tergolong aman dari
kejadian tersebut, usia persalinan operatif pervaginal, episiotomi, panjang
perineum dan Body Mass Index (BMI). BMI yang tinggi menunjukkan bahwa
jaringan lunak di perineum lebih tebal, menjadikan terjadinya distosia jaringan
lunak, meningkatkan resistensi outlet dan menyebabkan laserasi menjadi
lebih panjang. Berat bayi yang dilahirkan dan nulipara. Sedangkan faktor risiko
kejadian laserasi sfingter ani dilihat dari faktor ibu adalah nulipara, Vaginal
Birth After Cesarean (VBAC), dilihat dari faktor obstetrik termasuk tipe
persalinan: spontan, induksi atau stimulasi. Macam anestesi: umum, spiral,
epidural, atau lokal. Persalinan operatif pervaginal: forseps dan vakum. Adanya
distosia bahu dan fetal distress, lingkar kepala bayi, berat bayi lahir
dan jenis kelamin bayi.3,4,5,6,7,8.
Beberapa
penelitian menunjukkan peningkatan risiko kejadian laserasi sfingter ani
(laserasi derajat 3 atau 4) berhubungan dengan penggunaan episiotomi, dengan
angka kejadian 4 dari 12 partus pervaginal.2,4. Penelitian di Wake
Country Medical Center and Raleight, North Carolina menunjukkan bahwa pada
wanita nulipara dengan episiotomi selektif lebih sedikit terjadi laserasi sampai
dengan sfingter ani dan mukosa rektum.5
Penelitian
di Quebec, menunjukkan wanita yang dilakukan episiotomi medial mempunyai 4,58 risiko
relatif terjadinya laserasi perineum derajat 3 atau 4 dibandingkan dengan yang
tidak dilakukan episiotomi.4 Penelitian oleh Thorp dan Bowes pada 88.356
pasien dan didapatkan 6,5% insiden laserasi perineum derajat 3 dan 4 dengan
dilakukannya episiotomi medial tapi hanya 1,4 insiden jika episiotomi tidak
dikerjakan.4 Penelitian oleh Departemen kesehatan dimana mengevaluasi
hubungan antara laserasi perineum yang berat pada 24.114 wanita, memperoleh
hasil odd ratio 4,2 dengan episiotomi medial dan 0,4 pada episiotomi
medio lateral yang diteliti dan dibandingkan dengan pasien yang tidak
dikerjakan episiotomi.4
Pada penelitian dipercaya bahwa episiotomi
medial memulai laserasi yang memanjang sampai dengan sfingter ani, mengendorkan
jaringan lunak pada regio tersebut, dan meningkatkan risiko terjadinya laserasi
sfingter ani.4 Bahwa episiotomi mediolateral merupakan faktor
risiko terjadinya laserasi perineum derajat 3 atau 4 masih menjadi perdebatan
yang kontroversial.8 Bek et al, Bodner et al dan
Bodner Adler menemukan bahwa terdapat peningkatan risiko terjadinya laserasi
sfingter ani saat episiotomi medio lateral dikerjakan.8 Sedangkan
pada contras, Poen et al, Shiono et al dan de leeuw et al
menunjukan bahwa episiotomi medio lateral mencegah terjadinya laserasi sfingter
ani dan inkontinensia fecal setelah partus pervaginal.8 Hendrikson et
al dan Buekens et al menemukan bahwa tidak ada hubungan antara
episiotomi medio lateral dengan laserasi sfingter ani.8
Resensi dari Cochrane
menunjukan bahwa penelitian tentang episiotomi medial meningkatkan risiko dari
laserasi sfingter ani, sedangkan episiotomi medio lateral kemungkinan
menurunkan risiko terjadinya laserasi sfinter ani, disitu juga dijelaskan bahwa
pembatasan episiotomi berhubungan dengan peningkatan trauma perineum anterior
dibandingkan dengan episiotomi rutin.2,9 Cochrane, juga menunjukkan pada
penelitian 6 random dimana membandingkan pembatasan penggunaan episiotomi dengan episiotomi rutin
memperoleh angka relatif risk 0,88 yang secara statistik signifikan
untuk trauma perineum posterior dengan pembatasan penggunaan episiotomi.4,9
PENUTUP
Penggunan
episiotomi sebaiknya dibatasi sesuai dengan indikasi spesifik pada bayi dan
ibu. Indikasi episiotomi, antara lain: distosia bahu, introitus vagina kaku, fetal
heart rate (FHR) yang tidak bisa dipantau secara kontinu dan kondisi ibu
dimana usaha mengejan dapat membahayakan terjadinya ablasi retina, kondisi
jantung termasuk aneurisma, iskemik miokard atau hipertensi pulmonal primer dan
stenosis duktus atau anomali kongenital lain pada sistem saraf pusat yang akan
meningkatkan tekanan sistem saraf pusat.2,4
Dua
dari hasil penelitian secara random di AS yang membandingkan penggunaan
episiotomi secara rutin dengan pembatasan penggunaan episiotomi, gagal
menunjukkan adanya keuntungan dari penggunaan episiotomi rutin. Pada
kenyataannya, pembatasan penggunaan episiotomi berhubungan dengan penurunan
trauma perineum posterior, mengurangi penjahitan, lebih sedikit komplikasi
penyembuhan luka, penurunan kehilangan darah pada ibu dan pengembalian fungsi
seksual lebih cepat, tapi dengan lebih banyak terjadi trauma perineum anterior
dimana biasanya hanya minor. Bagaimanapun dalam hal ini tidak ada perbedaan
pada trauma berat dari perineum atau vagina (termasuk laserasi sfingter ani),
dispereunia, inkontinensia urin, atau rasa sakit yang lama. Meskipun demikian, pembatasan
penggunaan episiotomi dianjurkan dengan tujuan mengurangi trauma perineum.2,3,4,5
SIMPULAN
Penggunaan
episiotomi menurun dari 73% pada tahun 1980 menjadi 17% pada tahun 2002.
Pembatasan penggunaan episiotomi bertujuan untuk menentukan apakah pembatasan
penggunaan episiotomi berhubungan dengan penurunan laserasi sfingter ani yang disebabkan
oleh episiotomi.2,3
Lebih lanjut disarankan untuk
membatasi penggunaan episiotomi terutama episiotomi medial sesuai dengan
indikasinya, dimana akan menurunkan terjadinya laserasi sfingter ani (laserasi
perineum derajat 3 dan 4) terutama pada nulipara.2,3,4,5
DAFTAR PUSTAKA
- Cunningham. FG, Leveno. KJ, Bloom. SL, Hauth. JC, Gilstrap III. LC, Wenstrom. KD. Episiotomy and repair. William Obstetrics. 2005; 22: 435-48.
- Clemons. JL, Towers GD, McClure GB, O’Boyle AL. Decreased anal sphingter lacerations associated with restrictive episiotomi use. American Jurnal of Obstetry and Gynecology. 2005;192:1620-5.
- Richter. HE, Brumfield. CG, Cliver. SP, Burgio. KL, Neely. CL, Varner. E. Risk factors associated with anal sphincter tear: A comparison of primiparous patiens, vaginal births after cesarean deliveries, and patiens with previous vaginal delivery. Division of Medical and Surgical Gynecology. Department of Obstetry and Gynecology, University of Alabama at Birmingham. 2002; 187: 1194-8.
- Nager. CW, Helliwell. JP. Episiotomy increases perineal laceration length in primiparous women. Department of Reproductive Medicine, The University of California, San Diego, Medical Center. 2001; 185: 444-50.
- Thorp. JM, Bowes. WA, Brame. RG, Cefalo. R. Selected use of midline episiotomy: Effect on perineal trauma. Department of Obstetry and Gynecology, Division of Maternal and Fetal Medicine, University of North Carolina: 1987; 70:260-2.
- Robinson. JN, Norwitz. ER, Cohen. AP, Elrath. TF. Mc, Lieberman. ES. Episiotomy, operative vaginal delivery, and significant perineal trauma in nilliparous women. Depatrment of Obstetry and Gynecology, Brigham and Women’s Hospital, 75 Francis St. Boston: 1999; 181: 1180-4.
- Hopkins. LM, Caughey. AB, Glidden. DV, Laros. RK. Jr. Racial/ethnic differences in perineal, vaginal and cervical laserations. American Journal of Obstetry and Gynecology: 2005; 193: 455-9.
- Hudelist. J, Gelle’n. J, Singer. C, Ruecklinger. E, Czerwenka. K, Kandolf. O, Keckstein. J. Factors predicting severe perineal trauma during childbirth: Role of forceps delivery routinely combined with medio lateral episiotomy. American Journal of Obstetry and Gynecology: 2005; 192: 875-81.
- Carroli.G, Belizan.J. Episiotomi for vaginal birth. Cochrane Database of Systematic Reviews: 2007; Issue 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar