Kanker serviks merupakan kanker yang primer berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). Kanker serviks merupakan salah satu penyebab utama kematian akibat kanker ginekologi di seluruh dunia. Setengah juta kasus dialporkan setiap tahunnya dan insidensinya lebih tinggi di negara sedang berkembang. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan belum rutinnya program skrining pap smear yang dilakukan.1 Di Amerika latin, gurun Sahara Afrika dan Asia tenggara termasuk Indonesia kanker serviks menduduki urutan pertama setelah kanker payudara.
2
Di Indonesia dilaporkan jumlah kanker serviks baru adalah 100 per 100.000 penduduk per tahun atau 180.000 kasus baru dengan usia antara 45-54 tahun dan menempati urutan teratas dari 10 kanker yang terbanyak pada wanita.2 Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis yang awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif. Studi-studi epidemiologi menunjukkan 90% lebih kanker serviks dihubungkan dengan jenis human papilomma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan prognosis yang buruk.3,4
HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Oncoprotein E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG p53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor transkripsi shingga siklus sel dapat berjalan tanpa kontrol.3,6
Infeksi HPV pada pasien dengan penyakit menular seksual dan perkembangan dari infeksi seperti type 16 dan 18 menyebabkan risiko terjadinya kanker serviks.7,12 Hubungan seksual pertama kali pada usia muda, berganti-ganti pasangan seksual, sosial ekonomi rendah dan merokok juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks.5,6
Serviks mempunyai 2 jenis epitel yaitu epitel kolumner dan epitel skuamosa, yang dipisahkan oleh sambungan skuama kolumner. Pada perkembangan epitel kolumner akan digantikan oleh epitel skuamosa baru. Proses pergantian epitel kolumner oleh epitel skuamosa disebut proses metaplasia. Proses terjadinya kanker serviks sangat erat hubungannya dengan proses metaplasia.5,6
Penyebaran yang utama ialah invasif langsung ke dalam jaringan dan secara limfogen. Penyebaran melalui pembuluh limfe ke kelenjar, daerah iliaka, daerah obturatorius, prasakral dan paraaortik. Dengan berlanjutnya proses tumor makin banyak pula kelenjar limfe yang terkena. Penyebaran langsung dapat pula terjadi ke parametrium, korpus uteri, vagina, rektum dan vesika urinaria. Pertumbuhan yang bersifat invasif pada jaringan sekitarnya akan menyebabkan berbagai kelainan tergantung organ yang terkena. Hidroureter, hidronefrosis dan kegagalan fungsi ginjal dapat terjadi.7
SKRINING
Data dari berbagai negara dan penelitian menunjukkan bahwa skrining sitologi serviks dapat menurunkan insiden dan mortalitas akibat kanker serviks.8 Prinsip skrining adalah:
1. Menurunkan angka insiden dan mortalitas akibat karsinoma serviks.
2. Skrining serviks harus berdasarkan populasi yang mencakup paling sedikit 80% dari populasi.
3. Sitologi seriks merupakan skrining yang paling sering digunakan.
Hal-hal yang digunakan sebagai petunjuk untuk dilakukan skrining adalah usia, frekuensi skrining dan manajemen terhadap hasil sitologi serviks. Usia untuk memulai skrining seharusnya berbeda untuk tiap negara tergantung mortalitas akibat karsinoma serviks populasi masing-masing. Kematian akibat karsinoma serviks sangat jarang pada usia di bawah 25 tahun. Wanita dengan usia 65 tahun dan telah diperiksa sitologi serviks dengan hasil negatif pada 10 tahun sebelumnya juga tidak perlu mengikuti skrining.7
Papaniculaou (Pap) test merupakan cara skrining standard yang dilakukan untuk mendeteksi dini adanya keganasan pada serviks sejak tahun 1950. Standardisasi terminologi pelaporan sitologi serviks disepakati tahun 1988 melalui implementasi sistem Bethesda.9,10, Skrining dengan Pap’s smear menggunakan citobrush atau spatula yang lebih panjang atau extended spatula dinyatakan lebih baik dari pada menggunakan spatula Ayre dalam rangka pengumpulan sel-sel sitologi serviks untuk deteksi dini karsinoma serviks.11
Perkembangan-perkembangan baru telah dicapai untuk protokol skrining yang lebih baik. Spesimen sitologi serviks yang adekuat dan interpretasi yang lebih akurat untuk prekursor kanker serviks dapat dicapai dengan penggunaan sitologi serviks ¬new liquid-base (Thinprep).10,12 Data dari National Cancer Institute-sponsored multicenter randomized clinical trial (ALTS trial, 2001) menunjukkan pemeriksaan HPV pada wanita dengan atypical squamous cells of undetermined significance (ASCUS) memiliki nilai klinik yang baik. Hybrid capture dinyatakan baik untuk manajemen ASCUS berkaitan dengan deteksi dini karsinoma serviks yang berasosiasi dengan infeksi HPV DNA. Sensitivitasnya akan meningkat untuk ceteksi CIN3 atau selebihnya dan spesifik dibandingkan dengan hanya pemeriksaan sitologi serviks saja dengan hasil ASCUS atau lebih.13 Setelah diagnosis ASCUS ditegakkan maka dilanjutkan pemeriksaan dengan kolposkopi untuk mengulangi Pap’s smear-nya satu tahun kemudian.10
Dalam perkembangannya, banyak ahli dalam including the American Cancer Society, the American College of Obstetricians and Gynecologists, the American Society for Colposcopy and Cervical Pathology, dan the US Preventive Services Task Force menetapkan protokol skrining bersama-sama, sebagai berikut:10
1. Skrining awal; Skrining dilakukan sejak seorang wanita telah melakukan hubungan seksual (vaginal intercourse) selama kurang lebih tiga tahun dan umurnya tidak kurang dari 21 tahun saat pemeriksaan. Hal ini didasarkan pada karsinoma serviks berasal lebih banyak dari lesi prekursornya yang berhubungan dengan infeksi HPV onkogenik dari hubungan seksual yang akan berkembang lesinya setelah 3-5 tahun setelah paparan pertama dan biasanya sangat jarang pada wanita di bawah usia 19 tahun.
2. Pemeriksaan DNA HPV juga dimasukkan pada skrining bersama-sama dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita dengan umur di atas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang ditenukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten. Apabila ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan terjadi peningkatan risiko kanker serviks.
3. Skrining untuk wanita di bawah 30 tahun berisiko dianjurkan menggunakan Thinprep atau sitologi serviks dengan liquid-base method setiap 1-3 tahun.
4. Skrining untuk wanita di atas 30 tahun menggunakan Pap’s smear dan pemeriksaan DNA HPV. Bila keduanya negatif maka pemeriksaan diulang 3 tahun kemudian.
5. Skrining dihentikan bila usia mencapai 70 tahun atau telah dilakukan 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan hasil negatif.
DIAGNOSIS DAN STAGING
Staging untuk kanker serviks berdasarkan pemeriksaan klinis, sehingga pemeriksaan yang lebih teliti dan cermat dibutuhkan untuk penegakkan diagnosis. Stadium klinik seharusnya tidak berubah setelah beberapa kali pemeriksaan. Apabila ada keraguan pada stadiumnya maka stadium yang lebih dini dianjurkan. Pemeriksaan berikut dianjurkan untuk membantu penegakkan diagnosis seperti palpasi, inspeksi, komposkopi, kuretase endoserviks, histeroskopi, sistoskopi, proktoskopi, intravenous urography, dan pemeriksaan X-ray untuk paru-paru dan tulang. Kecurigaan infiltrasi pada kandung kemih dan saluran pencernaan sebaiknya dipastikan dengan biopsi. Konisasi dan amputasi serviks dapat dilakukan untuk pemeriksaan klinis. Interpretasi dari limfangografi, arteriografi, venografi, laparoskopi, ultrasonografi, CT scan dan MRI sampai saat ini belum dapat digunakan secara baik untuk staging karsinoma atau deteksi penyebaran karsinoma karena hasilnya yang sangat subyektif.7
Pemeriksaan patologi anatomi setelah prosedur operasi dapat menjadi data yang akurat untuk penyebaran penyakit, tetapi penemuan ini tidak dianjurkan untuk menajdi perubahan diagnosis staging sebelumnya. Nomenklatur TNM lebih sesuai untuk penemuan ini.7
TERAPI
Manajemen Tumor Insitu
Manajemen yang tepat diperlukan pada karsinoma insitu. Biopsi dengan kolposkopi oleh onkologist berpengalaman dibutuhkan untuk mengeksklusi kemungkinan invasi sebelum terapi dilakukan. Pilihan terapi pada pasien dengan tumor insitu beragam bergantung pada usia, kebutuhan fertilitas, dan kondisi medis lainnya. Hal penting yang harus diketahui juga adalah penyebaran penyakitnya harus diidentifikasi dengan baik.16
Karsinoma insitu digolongkan sebagai high grade skuamous intraepitelial lesion (HGSIL). Beberapa terapi yang dapat digunakan adalah loop electrosurgical excision procedure (LEEP), konisasi, krioterapi dengan bimbingan kolposkopi, dan vaporisasi laser. Pada seleksi kasus yang ketat maka LEEP dapat dilakukan selain konisasi. LEEP memiliki keunggulan karena dapat bertindak sebagai biopsi luas untuk pemeriksaan lebih lanjut. Keberhasilan eksisi LEEP mencapai 90% sedangkan konisasi mencapai 70-92%. Teknik lain yang dapat dilakukan untuk terapi karsinoma insitu adalah krioterapi yang keberhasilannya mencapai 80-90% bila lesi tidak luas (< 2,5 cm), tetapi akan turun sampai 50% apabila lesi luas (> 2,5 cm). Evaporasi laser pada HGSIL memberikan kerbehasilan sampai 94% untuk lesi tidak luas dan 92% untuk lesi luas.3
HGSIL yang disertai NIS III memberikan indikasi yang kuat untuk dilakukan histerektomi. Pada 795 kasus HGSIL yang dilakukan konisasi didapatkan adanya risiko residif atau kegagalan 0,9-1,2% untuk terjadinya karsinoma invasif.3
Manajemen Mikroinvasif
Diagnosis untuk stadium IA1 dan IA2 hanya dapat ditegakkan setelah biopsi cone dengan batas sel-sel normal, trakelektomi, atau histerektomi. Bila biopsi cone positif menunjukkan CIN III atau kanker invasif sebaiknya dilakukan biopsi cone ulangan karena kemungkinan stadium penyakitnya lebih tinggi yaitu IB. Kolposkopi dianjurkan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya vaginal intraepithelial neoplasia (VAIN) sebelum dilakukan terapi definitif.7
Stadium serviks IA1 diterapi dengan histerektomi total baik abdominal maupun vaginal.7,14 Apabila ada VAIN maka vagina yang berasosiasi harus ikut diangkat. Pertimbangan fertilitas pada pasien-pasien dengan stadium ini mengarahkan terapi pada hanya biopsi cone diikuti dengan Pap’s smear dengan interval 4 bulan, 10 bulan, dan 12 bulan bila hasilnya negatif. Stadium serviks IA2 berasosiasi dengan penyebaran pada kelenjar limfe sampai dengan 10% sehingga terapinya adalah modified radical hysterectomy diikuti dengan limfadenektomi.15,16 Pada stadium ini bila kepentingan fertilitas masih dipertimbangkan atau tidak ditemukan bukti invasi ke kelenjar limfe maka dapat dilakukan biopsi cone yang luas disertai limfadenektomi laparoskopi atau radikal trakelektomi dengan limfadenektomi laparoskopi. Observasi selanjutnya dilakukan dengan Pap’s smear dengan interval 4 bulan, 10 bulan dan 12 bulan.7,14
Pasien-pasien dengan tumor yang tampak harus dilakukan biopsi untuk konfirmasi diagnosis. Apabila ditemukan gejala-gejala yang berhubungan dengan metastasis maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan seperti sistoskopi dan sigmoidoskopi. Pemeriksaan foto toraks dan evaluasi fungsi ginjal sangat dianjurkan.7
Stadium awal karsinoma serviks invasif adalah stadium IB sampai IIA (< 4 cm). Stadium ini memiliki prognosis yang baik apabila diterapi dengan operasi atau radioterapi.7 Angka kesembuhan dapat mencapai 85% sampai 90% pada pasien dengan massa yang kecil. Ukuran tumor merupakan faktor prognostik yang penting untuk kesembuhan atau angka harapan hidup 5 tahunnya. Penelitian kontrol acak selama 5 tahun mendapatkan bahwa radioterapi atau operasi menunjukkan angaka harapan hidup 5 tahunan yang sama dan tingkat kekambuhan yang sama-sama kecil untuk terapi karsinoma serviks stadium dini.17 Morbiditas terutama meningkat apabila operasi dan radiasi dilakukan bersama-sama.7 Namun, pemilihan pasien dengan penegakkan stadium yang baik dibutuhkan untuk menentukan terapi operatif.18
Jenis operasi yang dianjurkan untuk stadium IB dan IIA (dengan massa < 4 cm) adalah modified radical hysterectomy atau radical abdominal hysterectomy (Kelas II dan kelas III pada klasifikasi menurut Piver Rutledge) disertai limfadenektomi selektif. Setelah dilakukan pemeriksaan patologi anatomi pada jaringan hasil operasi dan bila didapatkan penyebaran pada kelenjar limfe paraaorta atau sekitar pelvis maka dilakukan radiasi pelvis dan paraaorta. Radiasi langsung dilakukan apabila besar massa mencapai lebih dari 4 cm tanpa harus menunggu hasil patologi anatomi kelenjar limfe.16
Penelitian kontrol acak menunjukkan bahwa pemberian terapi sisplatin yang bersamaan dengan radioterapi setelah operasi yang memiliki invasi pada kelenjar limfe, parametrium, atau batas-batas operatif menunjukkan keuntungan secara klinis. Penelitian dengan berbagai dosis dan jadwal pemberian sisplatin yang diberikan bersamaan dengan radioterapi menunjukkan penurunan risiko kematian karena kanker serviks sebanyak 30-50%.7,16,19 Risiko juga meningkat apabila didapat ukuran massa yang lebih dari 4 cm walaupun tanpa invasi pada kelenjar-kelenjar limfe, infiltrasi pada kapiler pembuluh darah, invasi di lebih dari 1/3 stroma serviks. Radioterapi pelvis adjuvan akan meningkatkan kekambuhan lokal dan menurunkan angka progresifitas dibandingkan tanpa radioterapi.7
Manajemen Karsinoma Invasif Stadium Lanjut
Ukuran tumor primer penting sebagai faktor prognostik dan harus dievaluasi dengan cermat untuk memilih terapi optimal. Angka harapan hidup dan kontrol terhadap rekurensi lokal lebih baik apabila didapatkan infiltrasi satu parametrium dibandingkan kedua parametrium. Pengobatan terpilih adalah radioterapi lengkap, dilanjutkan penyinaran intrakaviter. Terapi variasi yang diberikan biasanya beruapa pemberian kemoterapi seperti sisplatin, paclitaxel, 5-fluorourasil, docetaxel, dan gemcitabine.3,16 Pengobatan bersifat paliatif bila stadium mencapai staidum IVB dalam bentuk radiasi paliatif.3
Prognosis
Prognosis kanker serviks dipengaruhi oleh stadium, jenis histopatologi, derajat diferensiasi, infiltrasi pada kelenjar limfe, lymph-vascular space invasion (LVSI), serta faktor pengobatan.3,21
A. Rekomendasi untuk skrining kanker serviks
1. Skrining dengan Pap’s smear menggunakan citobrush atau spatula yang lebih panjang atau extended spatula dinyatakan lebih baik dari pada menggunakan spatula Ayre dalam rangka pengumpulan sel-sel sitologi serviks untuk deteksi dini karsinoma serviks (Grade IA).
2. Spesimen sitologi yang lebih adekuat untuk interpretasi lebih akurat dihasilkan dari sitologi serviks yang berdasar liquid-base atau Thinprep (Grade I B).
3. Sensitivitas skrining atau deteksi dini CIN 3 akan meningkat apabila pemeriksaan sitologi dengan hasil ASCUS diikuti dengan pemeriksaan DNA HPV (Grade I B).
4. Skrining dimulai pada wanita yang telah melakukan hubungan seksual setidak-tidaknya tiga tahun sebelumnya dan umurnya tidak kurang dari 21 tahun. Skrining dihentikan bila usia wanita mencapai 70 tahun atau telah melakukan tiga kali pemeriksaan Pap’s smear dan DNA HPV berturut-turut dengan hasil negatif (Grade IV).
B. Rekomendasi untuk manajemen
1. Stadium IA terapi pilihannya adalah histerektomi total untuk mendapatkan peningkatan angka harapan hidup dan penurunan kekambuhan, kecuali ada pertimbangan mempertahankan fertilitas (Grade II B).
2. Terapi operatif saja ataupun radioterapi saja pada stadium dini sama-sama memberikan hasil yang baik untuk karsinoma serviks stadium dini (Grade I B).
3. Morbiditas meningkat apabila terapi operatif dikombinasikan dengan terapi operatif pada karsinoma serviks stadium dini (Grade I B).
4. Terapi operatif akan memberikan keuntungan klinis apabila diikuti dengan pemberian kemoterapi sisplatin atau 5-FU untuk karsinoma serviks stadium dini yang disertai invasi pada kelenjar limfe, parametrium, dan melewati batas-batas operasi (grade I B).
5. Radiasi adjuvan yang mengikuti terapi operatif pada karsinoma serviks stadium dini dengan risiko tinggi seperti ukuran tumor yang besar akan menurunkan kekambuhan lokal dan menurunkan angka progesifitas dibandingkan hanya operasi saja (Grade I B).
6. Terapi untuk karsinoma serviks stadium lanjut adalah kombinasi radiasi internal dan eksternal bersamaan dengan kemoterapi akan meningkatkan angka harapan hidup (Grade I B).
7. Terapi radiasi diindikasikan pada pasien-pasien dengan kanker serviks lokal rekuren yang telah dilakukan operasi radikal (Grade III).
8. Sisplatin adalah agen yang paling aktif untuk terapi karsinoma serviks (Grade III).
9. Respon terhadap sisplatin 100 mg/m2 lebih baik dari pada 50mg/m2 untuk terapi kanker serviks stadium lanjut tapi tidak memperbaiki angka harapan hidup maupun progresivitas (Grade III).
10. Efek kemoterapi pada perawatan paliatif karsinoma serviks stadium lanjut masih belum jelas (Grade III).
DAFTAR PUSTAKA
1. Hacker NF. Cervical cancer. In: Berek JS, Hacker NF. Practical and gynecologic oncology. 3rd ed. Philadelphia:Lippincott & Wilkins. 2000; p.345-54.
2. Mardjikoen. Tumor ganas alat genital. dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi T. Ilmu kandungan. Edisi kedua. Jakarta:Yayasan bina pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997; p.367 – 405.
3. Andrijono. Sinopsis Kanker Ginekologi. Jakarta: Bristol-Meyers 2003; p.14-35.
4. Arends MJ, Buckley CH and Wells M. Aetiology, pathogenesis, and pathology of cervical neoplasia. J Clin Pathol 1998;51: 96-103.
5. Lopez A, Kudelka AD, Edwards CL, Kavanagh JJ. Carcinoma of the uterine cerviks. Accessed January, 10th, 2002 [cited March 2005]. Avalaible from URL:
http://www.cancernetwork.com/textbook/morev.htm.
6. YF Gloria. Bierman R. Beardsley L. et al. Natural History of cervicovaginal papillomavirus infection in young women. N Eng J Med 1998;338: 423-428.
7. Benedet JL. Pecorelli S. et al. Staging classification and clinical practice guidelines of gynaecologic cancers. Int J Obstet Gynecol 2000;70:207-312.
8. Parkin D, Nguyen-Dinh Z, Day N. The impact of cervical screening on the incidence of cervical cancer in England and Wales. British J of Obstet Gynaecol 1985;92: 150-7.
9. DiSaia PJ. Creasman WT. Clinic Gynecologic Oncology. Fifth edition. Missouri: Mosby-Year Book Inc 1997; p.11-14,51-100.
10. Jin XW. Cervical Cancer Screening and Prevention. 2003. [cited March 2005]. Avalaible from URL:
http://www.clevelandclinicmeded.com/diseasemanagement/women/ccscreening/ccscreening.htm
11. Martin-Hirsch P, Jarvis G, Kitchener H, Lilford R. Collection devices for obtaining cervical cytology samples. In: Cochrane Library, Issue 1, 2002. Oxford: Update Software.
12. Hutchinson ML, Agarwarl P, Denault T, Berger B, Cibas ES. A new look at cervical cytology. Thinprep multicenter trial results. Acta Cytol. 1992;36(4): 499-504.
13. Solomon D, Schiffman M, Tarone R; ALTS Study Group. Comparison of three management strategies for patients with atypical squamous cells of undetermined significance: baseline results from randomized trial. Int J Gynecol Cancer. 2001;93(4):293-9.
14. Sevin BU, Nadji M, Averette HE, et al. Microinvasive carcinoma of the cervix. Cancer 1992;70(8): 2121-8.
15. Jones WB, Mercer GO, Lewis JL Jr, et al. Early invasive carcinoma of the cervix. Gynecol Oncol 1993;51(1): 26-32.
16. National cancer institute. Cervical Cancer. Last modified 02/01/2005. [cited March, 2005] Avalaible from URL:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/cervical/HealthProfessional.htm
17. Landoni F, Maneo A, Colombo A, et al. Randomised study of radical surgery versus radiotherapy for stage Ib-IIa cervical cancer. Lancet 1997;350(9077): 535-40.
18. Powell JL, Ross SC, Hinderson GS. Radical hysterectomy and pelvic lymphadenectomy at a Community Teaching Hospital. J Gynecol Surg 2003;19: 129-131.
19. Peters III WA, Liu PY, Barret II RJ, et. al . Concurrent chemotherapy and pelvic radiation therapy compared with pelvic radiation therapy alone as adjuvant therapy after radical surgery in high-risk early-stage cancer of the cervix. J Clin Oncol 2000;18(8): 1606-13.
20. Rose PG, Bundy BN, Watkins ET, et.al. Concurrent cicplatin-based radiotherapy and chemotherapy for locally advanced cervical cancer. N Eng J Med 1999;49: 1144-53.
21. Takeda N, Sakuragi N, Takeda M, et. al. Multivariate analysis of hystopathologic prognostic factors for invasive cervical cancer treated with radical hysterectomy and systemic retroperitoneal lymphadenectomy. Acta Obstet Gynecol Scand 2002;81: 1144-51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar