Sekitar 1 dari 9 kehamilan berakhir dengan abortus spontan pada trimester pertama. Diagnosis abortus secara tradisional akan diikuti terapi kuretase secara surgical, dengan anggapan bahwa hal ini dapat menurunkan risiko infeksi ginekologis. Bagaimanapun kuretase secara surgical bukan tanpa komplikasi. Pilihan terapi lain yang ditawarkan pada wanita dengan abortus adalah penatalaksanaan secara ekspektasi maupun medis. Penatalaksanaan ekspektasi adalah membiarkan produk kehamilan atau hasil konsepsi keluar secara spontan dan penatalaksanaan medis adalah menggunakan obat-obatan untuk membantu mengeluarkan produk kehamilan. Kedua penatalaksaan ini secara optimal telah ditunjukkan dalam penatalaksanaan abortus inkomplit dan kematian awal janin (dahulu disebut sebagai missed abortion).
Dari hasil penelitian randomised controlled trial juga menunjukkan bahwa misoprostol efektif sebagai dasar pematangan serviks sebelum evakuasi secara surgical (operatif) pada abortus spontan. Penelitian ini membandingkan penggunaan misoprostol vaginal dengan penatalaksanaan secara ekspektatif pada abortus spontan. Pada wanita dengan abortus spontan penggunaan misoprostol vaginal dosis 400 µg yang diberikan secara berulang pada hari 1, 2, 3 dan 5 sangat direkomendasikan.
Surgical curretage secara tradisional juga digunakan pada penatalaksanaan abortus inkomplit sejak tahun 1930. Dahulu dianggap sebagai hal yang berlebihan apabila proses pengosongan uterus pada abortus inkomplit menggunakan penatalaksaan medis (obat-obatan). Dengan penemuan misoprostol, maka risiko untuk dilakukannya pengosongan uterus secara surgical dapat diturunkan, bahkan terapi medis ini juga menurunkan komplikasi akibat surgical evacuation dan komplikasi jangka pendek lainnya. Saat ini bahkan telah disarankan untuk membandingkan efikasi dan efek samping dari misoprostol secara oral dan vaginal. Hal itu disebabkan secara klinis dari hasil penilaian terhadap absorpsi kinetik dan akivitas uterus terlihat bahwa misoprostol vaginal lebih efektif pada evakuasi produk kehamilan dibandingkan dengan misoprostol oral.
Dari penelitian didapatkan bahwa penatalaksanaan abortus tidak selalu diikuti oleh tindakan kuretase untuk mengangkat produk kehamilan. Insidensi infeksi giekologi sesudah penatalaksanaan secara operatif, ekspektasi dan medis menunjukkan hasil yang sama rendah (2-3%) dan tidak ada perbedaan bermakna dengan masing-masing cara penatalaksanaan. Meskipun kejadian masuk rumah sakit dan kuretase yang tak direncanakan pada terapi ekspektasi dan medis lebih tinggi dibandingkan secara operatif.
Penggunaan misoprostol vaginal pada penatalaksanaan secara medis pada abortus inkomplit lebih efektif dibandingkan misoprostol oral. Penggunaan secara vaginal juga menunjukkan penurunan yang bermakna terhadap insiden diare dibandingkan penggunaan secara oral. Karena hal tersebut peneliti menyarankan untuk menggunakan misoprostol vaginal pada penanganan pasien dengan abortus inkomplit. Meskipun diakui bahwa kedua cara penggunaan misoprostol memiliki efektivitas yang sama.
Dengan penelitian ini para wanita menjadi lebih memiliki pilihan terhadap model penatalaksanaan abortus yang ditawarkan. Studi ini memberi data yang sangat penting dimana para wanita mendapatkan informasi mengenai berbagai pilihan penatalaksaan abortus secara lengkap. Dengan tingginya angka masuk rumah sakit yang tidak direncanakan maka penatalaksanaan secara ekspektasi menurut Royal College of Obstetricians and Gynaecologists disarankan hanya dilakukan di tempat pelayanan rumah sakit yang memiliki fasilitas informasi telepon 24 jam untuk mendatangkan pertolongan dan proses penerimaan pasien yang cepat. Penatalaksanaan secara ekspektasi tampaknya menjadi terapi yang tepat pada abortus inkomplit dengan angka kesuksesan 75% meski harus pula diantisipasi meningkatnya angka perawatan mendadak di rumah sakit yang mencapai > 29%.
Penggunaan misoprosol pada penatalaksanaan abortus spontan juga bukan merupakan hal baru. Dalam penelitian Herabuty and Praserwawat (1997) menunjukkan bahwa pengunaan 200 µg misoprostol vaginal menunjukkan peningkatan yang bermakna dalam mengeluarkan massa jaringan dari dalam rahim dibandingkan terhadap plasebo (83,3% pada misoprostol terhadap 17,1% pada pacebo).
Dalam penelitian yang dilakukan Suk Wai Ngai dkk, disarankan bahwa penggunaan misprostol vaginal dengan dosis 400 µg yang diulang pada hari 1, 3 dan 5 akan membeikan hasil yang efektif pada penatalaksanaan abortus spontan yang terjadi pada trimester pertama. Meskipun penggunaan misoprostol efektif tetapi penggunaan regimen ini memerlukan kunjungan pasien beberapa kali ke Rumah Sakit untuk follow-up dan rasa tidak nyaman pada pasien. Sehingga perlu studi yang lebih jauh mengenai dosis yang berbeda dan jadwal untk memperpendek pemberian terapi serta kunjungan untuk follow-up.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar