Minggu, April 03, 2011

Episiotomi

Episiotomi dilakukan lebih dari 90% pada nulipara di rumah sakit, walaupun angkanya telah menurun dari 65% pada tahun 1979 menjadi 21% pada tahun 2002. Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko laserasi sfingter ani yang dihubungkan dengan dilakukannya episiotomi.


Baru-baru ini, keuntungan yang diberikan oleh episiotomi telah dipertanyakan oleh beberapa ahli. Satu manfaat yang sering disebut tetapi tidak terbukti dari episiotomi rutin adalah bahwa tindakan ini mencegah kendornya panggul, yaitu: sistokel, rektokel dan inkontinensia urin. Episiotomi rutin dianjurkan untuk dievaluasi kembali karena kemungkinan berhubungan dengan meningginya insiden laserasi sfingter ani dan rektum.1 Pada penelitian sekitar 25.000 kelahiran di rumah sakit John Radcliffe di Oxford dan dilaporkan bahwa angka episiotomi pada nullipara menurun dari 73% pada tahun 1980 menjadi 45% pada tahun 1984, 39% pada tahun 1997, dan 21% pada tahun 2002.2 Dalam waktu yang sama, insiden robekan derajat kedua meningkat  dari 7 sampai 20 per 1000, tetapi insiden laserasi derajat ketiga tidak berubah sekitar 5 per 1000.1
    Laserasi sfingter ani dilaporkan terjadi mencapai 20% dari persalinan pervaginal dengan episiotomi medial dan menifestasi baik jangka pendek maupun jangka panjang, walaupun telah memperoleh perbaikan dari laserasinya tapi lebih dari 50% wanita mengeluhkan terjadinya inkontinensia ani, termasuk inkontinensia flatus, cair dan feses.3,4

    Episiotomi adalah incisi perineum untuk memperlebar ruang pada jalan lahir, sehingga memudahkan kelahiran bayi. Jenis episiotomi antara lain: episiotomi median, episiotomi mediolateral dan episiotomi lateral. Episiotomi median mempunyai keuntungan antara lain: mudah diperbaiki, kesalahan penyembuhan jarang, nyeri dimasa nifas tidak berat, dispareuni jarang terjadi, hasil akhir anatomi labih baik, perdarahan sedikit. Kerugiannya adalah sering terjadi perluasan laserasi ke sfingter ani dan ke dalam rektum. Keuntungan episiotomi mediolateral adalah jarang terjadi perluasan laserasi ke sfingter ani dan rektum. Sedangkan kerugiannya antara lain lebih sulit diperbaiki, kesalahan penyembuhan lebih sering, rasa nyeri pada sepertiga kasus terjadi selama beberapa hari, kadang diikuti dispareuni, hasil akhir anatomi sedikit kurang baik pada sekitar 10% kasus (tergantung operator), perdarahan lebih banyak. Episiotomi lateral pada saat ini sudah tidak pernah dikerjakan lagi.1,2
Dahulu penggunaan episiotomi secara rutin dianjurkan untuk mencegah laserasi perineum yang berat, mencegah terjadinya luka pada janin (hipoksia dan perdarahan intrakranial), menurunkan inkontinensia urin dan feses post partum dan juga fungsi seksual lebih baik.3  
Pendapat utama tentang episiotomi adalah dapat melindungi perineum dari laserasi, perlindungan didapat dengan cara menggunting kulit perineum, jaringan ikat dan otot. Para ahli beranggapan ruptur spontan menyebabkan kerusakan lebih parah, tetapi sekarang para peneliti lebih banyak menemukan bahwa laserasi yang dalam hampir semuanya akibat dari perluasan episiotomi.4
    Laserasi vagina dan perineum diklasifikasikan sebagai derajat pertama, kedua dan ketiga. Laserasi derajat pertama mengenai fourchet, kulit perineum dan membran mukosa vagina, tetapi tidak mengenai fasia dan otot. Laserasi derajat dua mengenai kulit dan membran mukosa, fasia dan otot-otot perineum, tetapi tidak mengenai sfingter ani. Bagian-bagian ini biasanya robek sampai ke atas pada satu atau kedua sisi vagina, membentuk cedera segitiga tidak teratur. Laserasi derajat tiga mengenai mulai dari kulit, selaput mukosa dan perineum, sampai mengenai sfingter ani. Tidak jarang meluas jauh sampai dinding anterior rektum. Laserasi derajat empat adalah robekan derajat tiga yang meluas sampai mukosa rektum sehingga memaparkan lumen rektum.1
Beberapa faktor demografik umum yang menjadi faktor risiko terjadinya laserasi perineum antara lain ras, keterkaitan dengan ras Asia, dimana ras kulit hitam tergolong aman dari kejadian tersebut, usia persalinan operatif pervaginal, episiotomi, panjang perineum dan Body Mass Index (BMI). BMI yang tinggi menunjukkan bahwa jaringan lunak di perineum lebih tebal, menjadikan terjadinya distosia jaringan lunak, meningkatkan resistensi outlet dan menyebabkan laserasi menjadi lebih panjang. Berat bayi yang dilahirkan dan nulipara. Sedangkan faktor risiko kejadian laserasi sfingter ani dilihat dari faktor ibu adalah nulipara, Vaginal Birth After Cesarean (VBAC), dilihat dari faktor obstetrik termasuk tipe persalinan: spontan, induksi atau stimulasi. Macam anestesi: umum, spiral, epidural, atau lokal. Persalinan operatif pervaginal: forseps dan vakum. Adanya distosia bahu dan fetal distress, lingkar kepala bayi, berat bayi lahir dan jenis kelamin bayi.3,4,5,6,7,8.
    Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan risiko kejadian laserasi sfingter ani (laserasi derajat 3 atau 4) berhubungan dengan penggunaan episiotomi, dengan angka kejadian 4 dari 12 partus pervaginal.2,4. Penelitian di Wake Country Medical Center and Raleight, North Carolina menunjukkan bahwa pada wanita nulipara dengan episiotomi selektif lebih sedikit terjadi laserasi sampai dengan sfingter ani dan mukosa rektum.5
    Penelitian di Quebec, menunjukkan wanita yang dilakukan episiotomi medial mempunyai 4,58 risiko relatif terjadinya laserasi perineum derajat 3 atau 4 dibandingkan dengan yang tidak dilakukan episiotomi.4 Penelitian oleh Thorp dan Bowes pada 88.356 pasien dan didapatkan 6,5% insiden laserasi perineum derajat 3 dan 4 dengan dilakukannya episiotomi medial tapi hanya 1,4 insiden jika episiotomi tidak dikerjakan.4 Penelitian oleh Departemen kesehatan dimana mengevaluasi hubungan antara laserasi perineum yang berat pada 24.114 wanita, memperoleh hasil odd ratio 4,2 dengan episiotomi medial dan 0,4 pada episiotomi medio lateral yang diteliti dan dibandingkan dengan pasien yang tidak dikerjakan episiotomi.4
    Pada penelitian dipercaya bahwa episiotomi medial memulai laserasi yang memanjang sampai dengan sfingter ani, mengendorkan jaringan lunak pada regio tersebut, dan meningkatkan risiko terjadinya laserasi sfingter ani.4 Bahwa episiotomi medio lateral merupakan faktor risiko terjadinya laserasi perineum derajat 3 atau 4 masih menjadi perdebatan yang kontroversial.8 Bek et al, Bodner et al dan Bodner Adler menemukan bahwa terdapat peningkatan risiko terjadinya laserasi sfingter ani saat episiotomi medio lateral dikerjakan.8 Sedangkan pada contras, Poen et al, Shiono et al dan de leeuw et al menunjukan bahwa episiotomi medio lateral mencegah terjadinya laserasi sfingter ani dan inkontinensia fecal setelah partus pervaginal.8 Hendrikson et al dan Buekens et al menemukan bahwa tidak ada hubungan antara episiotomi medio lateral dengan laserasi sfingter ani.8
Resensi dari Cochrane menunjukan bahwa penelitian tentang episiotomi medial meningkatkan risiko dari laserasi sfingter ani, sedangkan episiotomi medio lateral kemungkinan menurunkan risiko terjadinya laserasi sfinter ani, disitu juga dijelaskan bahwa pembatasan episiotomi berhubungan dengan peningkatan trauma perineum anterior dibandingkan dengan episiotomi rutin.2,9 Cochrane, juga menunjukkan pada penelitian 6 random dimana membandingkan pembatasan  penggunaan episiotomi dengan episiotomi rutin memperoleh angka relatif risk 0,88 yang secara statistik signifikan untuk trauma perineum posterior dengan pembatasan penggunaan episiotomi.4,9

    Penggunan episiotomi sebaiknya dibatasi sesuai dengan indikasi spesifik pada bayi dan ibu. Indikasi episiotomi, antara lain: distosia bahu, introitus vagina kaku, fetal heart rate (FHR) yang tidak bisa dipantau secara kontinu dan kondisi ibu dimana usaha mengejan dapat membahayakan terjadinya ablasi retina, kondisi jantung termasuk aneurisma, iskemik miokard atau hipertensi pulmonal primer dan stenosis duktus atau anomali kongenital lain pada sistem saraf pusat yang akan meningkatkan tekanan sistem saraf pusat.2,4
    Dua dari hasil penelitian secara random di AS yang membandingkan penggunaan episiotomi secara rutin dengan pembatasan penggunaan episiotomi, gagal menunjukkan adanya keuntungan dari penggunaan episiotomi rutin. Pada kenyataannya, pembatasan penggunaan episiotomi berhubungan dengan penurunan trauma perineum posterior, mengurangi penjahitan, lebih sedikit komplikasi penyembuhan luka, penurunan kehilangan darah pada ibu dan pengembalian fungsi seksual lebih cepat, tapi dengan lebih banyak terjadi trauma perineum anterior dimana biasanya hanya minor. Bagaimanapun dalam hal ini tidak ada perbedaan pada trauma berat dari perineum atau vagina (termasuk laserasi sfingter ani), dispereunia, inkontinensia urin, atau rasa sakit yang lama. Meskipun demikian, pembatasan penggunaan episiotomi dianjurkan dengan tujuan mengurangi trauma perineum.2,3,4,5

    Penggunaan episiotomi menurun dari 73% pada tahun 1980 menjadi 17% pada tahun 2002. Pembatasan penggunaan episiotomi bertujuan untuk menentukan apakah pembatasan penggunaan episiotomi berhubungan dengan penurunan laserasi sfingter ani yang disebabkan oleh episiotomi.2,3
Lebih lanjut disarankan untuk membatasi penggunaan episiotomi terutama episiotomi medial sesuai dengan indikasinya, dimana akan menurunkan terjadinya laserasi sfingter ani (laserasi perineum derajat 3 dan 4) terutama pada nulipara.2,3,4,5







DAFTAR PUSTAKA


1.    Cunningham. FG, Leveno. KJ, Bloom. SL, Hauth. JC, Gilstrap III. LC, Wenstrom. KD. Episiotomy and repair. William Obstetrics. 2005; 22: 435-48.
2.    Clemons. JL, Towers GD, McClure GB, O’Boyle AL. Decreased anal sphingter lacerations associated with restrictive episiotomi use. American Jurnal of Obstetry and Gynecology. 2005;192:1620-5.
3.    Richter. HE, Brumfield. CG, Cliver. SP, Burgio. KL, Neely. CL, Varner. E. Risk factors associated with anal sphincter tear: A comparison of primiparous patiens, vaginal births after cesarean deliveries, and patiens with previous vaginal delivery. Division of Medical and Surgical Gynecology. Department of Obstetry and Gynecology, University of Alabama at Birmingham. 2002; 187: 1194-8.
4.    Nager. CW, Helliwell. JP. Episiotomy increases perineal laceration length in primiparous women. Department of Reproductive Medicine, The University of California, San Diego, Medical Center. 2001; 185: 444-50.
5.    Thorp. JM, Bowes. WA, Brame. RG, Cefalo. R. Selected use of midline episiotomy: Effect on perineal trauma. Department of Obstetry and Gynecology, Division of Maternal and Fetal Medicine, University of North Carolina: 1987; 70:260-2.
6.    Robinson. JN, Norwitz. ER, Cohen. AP, Elrath. TF. Mc, Lieberman. ES. Episiotomy, operative vaginal delivery, and significant perineal trauma in nilliparous women. Depatrment of Obstetry and Gynecology, Brigham and Women’s Hospital, 75 Francis St. Boston: 1999; 181: 1180-4.
7.    Hopkins. LM, Caughey. AB, Glidden. DV, Laros. RK. Jr. Racial/ethnic differences in perineal, vaginal and cervical laserations. American Journal of Obstetry and Gynecology: 2005; 193: 455-9.
8.    Hudelist. J, Gelle’n. J, Singer. C, Ruecklinger. E, Czerwenka. K, Kandolf. O, Keckstein. J. Factors predicting severe perineal trauma during childbirth: Role of forceps delivery routinely combined with medio lateral episiotomy. American Journal of Obstetry and Gynecology: 2005; 192: 875-81.
9.    Carroli.G, Belizan.J. Episiotomi for vaginal birth. Cochrane Database of Systematic Reviews: 2007; Issue 4.


Artikel Terkait:

1 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...