Abortus spontan
atau keguguran didefinisikan sebagai terminasi kehamilan yang tidak disengaja
sebelum umur kehamilan 20 minggu (tertanggal dari peride menstruasi terakhir)
atau berat janin dibawah 500 gr. Kehilangan setelah 20 minggu dianggap
stillbirths atau kelahiran prematur dan secara umum terdapat perbedaan
dibandingkan dengan kehilangan yang terjadi pada awal kehamilan.
Secara historis,
kehilangan kehamilan yang berulang atau “habitual abortion” didefinisikan
sebagai hubungan 3 atau lebih keguguran spontan. Teori yang populer selama
tahun 1930 dan 1940 mengatakan bahwa risiko keguguran spontan meningkat secara
progresif dengan setiap kehilangan yang berturut-turut. Perhitungan berdasarkan
asumsi oleh Malpas dan kemudian oleh Eastman menunjukkan bahwa 3 keguguran yang
berturut-turut menunjukkan sebuah predisposisi terhadap kehilangan kehamilan
yang menaikkan resiko untuk keguguran apontan pada kehamilan berikutnya
sebanyak 73-84%.
Pada masa itu, “kontrol” untuk beberapa penelitian yang
menilai keefektifan bermacam-macam pengobatan untuk kehilangan kehamilan yang
berulang (hormon, vitamins, psychotheraphy) merupakan teoritis dibandingkan
dengan kenyataan; insidensi keguguran yang diamati pada wanita yang obati dibandingkan
dengan yang diprediksi atau insidensi yang diharapkan dibandingkan dengan
insidensi yang sebenarnya yang diamati pada yang tidak diobati atau placebo.
Sayang sekali, salah satu konsekuensi seperti design penelitian yang cacat,
adalah menghasilkan kesimpulan yang salah terhadap pengobatan, termasuk
diethylstilbestrol (DES), adalah efektif, yang pada kenyataanya, tidak efektif.
Beberapa tahun kemudian, penelitian klinis berdasar observasi empiris
menunjukkan bahwa risiko keguguran setelah 3 kehilangan yang lampau sebenarnya
lebih rendah dibanding yang diprediksi (30-45%), dan bervariasi dengan jumlah
kelahiran yang terdahulu (tidak ada, 40-45%; satu atau lebih, sekitar 30%)
Risiko Kehilangan Kehamilan Berulang Pada Wanita Muda
Jumlah Keguguran Terdahulu
|
% Risiko Keguguran Pada
Kehamilan Selanjutnya
|
|
Wnita yang punya paling tidak 1 bayi hidup
|
0
|
12%
|
1
|
24%
|
|
2
|
26%
|
|
3
|
32%
|
|
4
|
26%
|
|
6
|
53%
|
|
Wanita yang tidak punya paling tidak 1 bayi hidup
|
2 atau lebih
|
40 – 45%
|
Tidak terdapat jumlah keguguran yang spesifik atau acuan
tetap yang ditetapkan yang menyuguhkan evaluasi untuk kehilangan kehamilan yang
berulang atau mendefinisikan jangkauan penelitian. Keputusan harus
diindifidualisasi berdasarkan umur pasangan wanita, waktu, dan keadaan yang
mengelilingi kehilangan kehamilan awal, elemen pribadi dan riwayat medis
keluarga, dan tingkat ketegangan pasangan. Sekarang, kehilangan kehamilan berulang
didefinisikan 3 atau lebih kehilangan kehamilan (tidak perlu berurutan).
Kebanyakan juga mempertimbangkan penyelidikan klinis dan pengobatan yang layak
pada pasangan dengan 2 kali secara beurutan keguguran spontan, terutama
terdapat beberapa yang dibawah ini:
1.
Aktivitas jantung embrio yang
diamati sebelum beberapa kehilangan kehamilan awal
2.
Normal kariotipe pada produk
konsepsi dari sebuah kehilangan awal.
3.
Umur
pasangan wanita lebih dari 35 tahun.
4.
Infertilitas.
Mayoritas kebanyakan dari
semua kehilangan kehamilan awal berasal dari abnormalitas kromosomal yang
timbul pada telur, sperma, atau selama perkembangan embrio awal dan merupakan
peristiwa acak. Meskipun keguguran berulang dapat terjadi dengan kemungkinan
sendiri, namun paling tidak beberapa pasangan yang terkena mempunyai faktor
predisposisi. Diantara semua faktor yang terlibat, hanya sebab yang tidak perlu
dipersoalkan lagi dari kehilangan kehamilan awal adalah genetik (translokasi
kromosomal yang seimbang pada kedua pasangan, hubungan umur ibu meningkatkan
prevalensi aneuploid oocyte), anatomis (kongenital atau abnormalitas uteri yang
didapat), atau immunologis (komplikasi trombosis antiphospholitik sindrom).
Alloimmunopathology, trombophilias yang diwarisi (faktor V Leiden dan yang
lain), endocrinophati (gangguan thyroid, diabetes, defisiensi fase lutheal),
infeksi (mycoplasma genital), dan paparan lingkungan (merokok, konsumsi tinggi
alkohol atau caffeine) merupakan terlibat namun bukan merupakan penyebab tetap
kehilangan kehamilan berulang. Meskipun setelah evaluasi komprehensif,
kehilangan kemailan berulang tetap tidak dapat dijelaskan dengan baikpada lebih
dari setengah pasangan yang terkena.
Untuk semua pasangan
yang mengalami kehilangan kehamilan berulang, edukasi dapat menyediakan cara
pandang penting; kebanyakan pasangan terbuka atas tawaran evaluasi untuk
mengidentifikasi beberapa faktor predisposis. Saat sebab yang mungkin dapat
ditemukan, konseling dan pengobatan
spesifik dapat meningkatkan prognosis untuk kehamilan. Saat tidak
terdapat sebab spesifik yang dapat ditemukan, penenteraman dan membesarkan hati
tidak kurang penting
Epidemiologi
Kehilangan Kehamilan
Kehilangan kehamilan awal merupakan peristiwa yang umum,
bahkan lebih dari yang banyak pasangan sadari. Hampir semua konsepsi kromosom
abnormal secara spontan terjadi abortus, kebanyakan sebelum umur kehamilan 10
minggu, dan lebih dari 90% konsepsi dengan normal kariotype dapat berlanjut. Sehingga
keguguran dapat dilihat sebagai proses seleksi alam untuk kontrol kualitas.
Belajar dari peristiwa bahwa keguguran merupakan peristiwa umum, normal dan
tidak dapat dihindari pada sebagian besar kasus, namun tidak dapat menyembuhkan
luka emosional yang ditinggalkan oleh kehilangan awal atau mengusir kecemasan
yang mempengaruhi pada pasangan saat memikirkan untuk mencoba kehamilan
selanjutnya namun cara pandang yang akurat meskipun demikian adalah penting dan
terkadang sangat membantu.
Insidensi kehilangan kehamilan
Secara
keseluruhan, kurang lebih 12-15% kehamilan yang dikenali secara klinis berakhir
dengan keguguran spontan antara umur kehamilan 4 sampai dengan 20 minggu.
Meskipun demikian, rerata kehilangan kehamilan awal yang nyata, termasuk yang
dikenali dan yang tidak dikenali secara klinis adalah 2 sampai dengan 4 kali
lebih besar, tergantung umur. Penelitian cermat pada wanita muda sehat dengan
siklus normal yang mencoba hamil telah menunjukkan bahwa human chorionic
gonadotropin (hCG) sering dapat sementara dideteksi pada urine wanita yang
sebaliknya kurang hari-hati kalau mereka telah mengalami keguguran. Tidak
kurang dari 30% dan sebanyak 60% dari seluruh konsepsi teraborsi dalam umur
kehamilan kurang dari 12 minggu, dan paling tidak setengah dari semua
kehilangan, tidak disadari. Kerugian reproduksi yang terjadi bahkan sebelum
menstruasi pertama adalah penting. Kebanyakan kehilangan kehamilan yang dapat
dikenali terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu dan secara relatif sedikit
terjadi setelah umur kehamilan 12 minggu.
Sejumlah
penelitian telah mendokumentasi bahwa resiko keguguran spontan berubah-ubah
dengan riwayat obstetric yang lalu. Secara umum, wanita pada kehamilan
pertamanya, mereka yang hanya kehamilan lainnya diterminasi secara elektif, dan
wanita yang hanya atau kehamilan terakhirnya berhasil secara relative mempunyai
resiko rendah terhadap keguguran (4-6%). Sebaliknya, wanita yang hanya atau
kehamilan terakhirnya berakhir dengan
kehilangan mempunyai resiko keguguran yang lebih tinggi pada kehamilan
selanjutnya (19-24%). Kecuali jika selanjutnya terdapat kehamilan yang sukses,
meskipun kehilangan tunggal meningkatkan resiko untuk keguguran spontan yang
lain pada kehamilan selanjutnya. Diambil bersama-sama, bukti yang ada juga
mengatakan bahwa resiko keguguran meningkat dengan jumlah kehilangan kehamilan,
namun sangat berangsur-angsur. Secara keseluruhan, resiko masih lebih kecil
dari 40% setelah 4 kehilangan terdahulu dan tidak lebih tinggi dari sekitar 50%
meskipun dengan kehilangan 6 atau lebih; resiko bias secara sederhana lebih
tinggi pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang dan tidak terdapat anak
yan bisa lahir hidub.
Riwayat
obstetric bebas yang lampau, resiko keguguran spontan yang dikenali secara
klinis meningkat dengan umur. Resiko secara relative lebih rendah sebelum umur
30 tahun (7-15%) dan hanya sedikit lebih tinggi pada wanita umur 30-34 (8-21%),
namun meningkat secara tajam pada umur 35-39 tahun (17-28%) dan wanita umur 4o
tahun atau lebih (34-52%). Diantara wanita dengan riwayat kehilangan kehamilan
yang lampau, pertambahan umur menamnah risiko dihubungkan dengan kehilangan
yang lampau; risiko keguguran pada wanita diatas umur 40 tahun (52%) lebih dari
dua kali dibandingkan pada wanita umur dibawah 30 tahun (25%). Jika kehilangan
kehamilan yang disadari dan tidak disadari dipertimbangkan, total kerugian
kehamilan pada wanita dengan umur lebih dari 40 tahun dapat menyentuh atau
lebih dari 75%.
Pada
kesimpulannya, kurang lebih 12-15% dari semua kehamilan yang dikenali secara
klinis berakhir dengan keguguran, namun insidensi nyata keguguran, termasuk
kehilangan kehamilan awal yang tidak dikenali, adalah 2-4 kali lebih tinggi
(30-40%). Risiko keguguran meningkat dengan jumlah kehilangan kehamilan yang
lampau namun jarang mencapai 40-50%. Risiko kehilangan kehamilan juga meningkat
dengan meningkatnya umur ibu, secara moderat setelah umur 35 tahun dan lebih
sering setelah umur 40 tahun.
Nilai Prognostik Observasi Ultrasonografi
Transvaginal
Observasi
serial yang hari-hati selama kehamilan awal telah mengindikasikan bahwa risiko
untuk keguguran menurun sejalan dengan meningkatnya umur kehamilan. Risiko
kehilangan kehamilan menurun secara progresif setelah observasi gestational sac
(12%), yolk sac (8%), dan meningkatnya embryonic crown-rump length (lebih besar
dari 5 mm, 7%; 6-10 mm, 3%; lebih besar dari 10 mm, kurang dari 1%). Observasi
aktivitas jantung embrio (kurang lebih umur kehamilan 6 minggu) adalah kejadian
perkembangan penting lainnya dan merupakan indicator prognostic yang baik
karena kabanyakan kegagalan kehamilan terjadi sebelumnya, namun nilai prediksi
bervariasi dengan riwayat obstetric yang lampau, konteks klinis, dan umur. Pada
wanita muda normal dan infertile asimtomatik, saat penampakan aktivitas jantung
embrio menurunkan risiko kehilangan kehamilan dari risiko secara umum 12-15%
sampai anatar 3-5%. Pada wanita dengan riwayat kehilangan kemailan berulang
yang lampau, rerata keguguran setelah deteksi aktivitas jantung embrio masih
berkisar 3-5 kali lebih tinggi (15-25%). Padaa wanita dengan abortus imminens,
aktivitas jantung embrio yang dapat ditampilkan sekali lagi merupakan indicator
prognostic yang baik secara keseluruhan (rerata kehilangan 15%), namun insidensi
kehilangan yang berurutan lebih tinggi jika terdapat penemuan sonografi
abnormal lainnya (aktivitas jantung terlihat secara pelan atau lambat, ketidak
cocokan ukuran atau umur, subchorionic hematoma). Akhirnya, nilai prognostic
aktivitas jantung embryo menurun dengan bertambahnya umur ibu; mengingat risiko
kehilangan berurutan rendah (kurang dari
5%) pada wanita umur 35 tahun atau kurang, 2-3 kali lebih tinggi (kurang lebih
10%) pada wanita umur 36-39, dan meningkat 3 kali lipat (29%) pada wanita umur
40 tahun atau lebih.
Faktor
Genetis
Kebanyakan
keguguran spontan berasal dari abnormalitas kromosomal pada embrio atau fetus.
Beberapa penelitian dengan banyak jumlah abortus yang sudah dikultur dan
dikaryotype telah menyimpulkan bahwa kurang lebih 50% dari semua kehilangan
kehamilan pada trimester awal, 30% pada trimester kedua, dan 3% stillbirth
adalah abnormal secara kromosom. Bagaimanapun juga, penleitian ini nampaknya
mengunderestimate prevalensi abnormalitas kromosom diantara abortus karena datanya
bias oleh kontaminasi sel maternal yang tidak dikenali dank arena sel euploid
normal (dari ibu atau abortus) nampaknya kurang untuk gagal mengkultur
dibandingkan dengan jajaran sel abnormal. Analisis menggunakan tehnik
terbaru tidak bergantung pada kultur sel (fluorescence in situ hybridization,
FISH; comparative genomic hybridization ,CGH), dan lebih penelitian cytogenic
terkini yang hati-hati dari missed aborsi awal menyarankan bahwa insidensi
nyata abnormalitas kromosomal pada miscarried kehamilan awal adalah mendekati
75%.
Lebih dari 90% abnormalitas kromosomal
yang diamati diantara abortus adalah numerical (aneuploidy, polypoidy); sisanya
terbagi antara abnormalitas structural (translokasi, inverse) dan mosicism.
Secara keseluruhan, trisomi sutosomal adalah abnormalitas yang paling sering
(biasanya termasuk kromosom 13-16, 21, atau 22), diikuti oleh monosomy X
(45,X), dan polyploidies. Diantara wanita dengan riwayat kehilangan kehamilan
berulang, kromosom normal (euploid) abortus adalah lebih umum, terutama pada
mereka dengan umur 35 tahun ke bawah. Distribusi abnormalitas kromosom yang
diamati diantara abortus pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang
adalah sebaliknya tidak terdapat perbedaan dari yang terlihat pada populasi
umum saat terbagi oleh ibu atau umur kehamilan. Kemungkinan sebuah abortus
euploid meningkat dengan jumlah keguguran terdahulu dan setelah abortus
terdahulu mempunyai karyotype normal.
Abnormalitas Kromosom Orang Tua
Mayoritas yang paling besar konsepsi
kromosom abnormal berasal dari kemungkinan penggabungan satu normal dan satu
gamete aneuploid atau dari nondisjunction selama perkembangan embryo awal.
Bagaimanapun juga, pada 4-8% pasangan dengan kehilangan kehamilan berulang,
satu atau pasangan lainnya mengandung sebuah abnormalitas kromosom yang secara
nyata meningkatkan kemungkinan sebuah konseptus kromosomal yang tidak seimbang.
Translokasi seimbang (reciprocal, Robertsonian) adalah abnormalitas yang paling
umum; sex chromosome mosaicism, inverse kromosom, dan abnormalitas structural
lainnya juga dapat dilihat.
Pada
sebuah potongan translokasi reciprocal yang seimbang dari dua autosome berbeda
(satu dari setiap dua pasang yang berbeda) adalah translokasi (exchanged). Pada
sebuah translokasi Robertsonian yang seimbang, centromere dari dua kromosom
acrocentric (nomer 13, 14, 15, 21, 22) fusi ke bentuk sebuah kromosom tunggal
mengandung lengan panjang dari dua kromosom yang terpengaruh; lengan pendek
(mengandung sedikit atau tidak ada material genetic) adalah hilang. Pada kedua
kasus, karier translokasi adalah secara genetic seimbang dan secara phenotype
normal. Namun sayang, saat oogonia atau spermatogonia mengalami meiosis untuk
yield oocytes haploid atau sperm, sejumlah besar gamet berakhir secara genetic
tidak seimbang dan tidak normal, mengalami baik sebuah defisiensi atau sebuah
kelebihan bahan-bahan genetis. Tergantung bagaimana kromosom terpisahkan selama
meiosis, gamete dapat secara kromosom normal (hanya mengandung salinan normal
dari setiap dua pasangan kromosom yang terpengaruh), abnormal namun seimbang
(mengandung anggota translokasi dari setiap dua pasangan kromosom yang
terpengaruh), atau abnormal dan tidak seimbang (mengandung dua salinan atau
tidak ada salinan dari kromosom yang terpengaruh atau segmen kromosom). Saat
secara kromosom gemet tidak seimbang digabung dengan normal gamet dari pasangan
yang tidak terpengaruh, konseptus akan mempunyai trisomi dan atau monosomi dan
akan hampir selalu abortus; hasil konseptus yang tidak seimbang terkadang dapat
bertahan, namun konsepsi yang terjadi akan berada pada risiko yang tinggi untuk
terjadi malformasi dan retardasi mental.
Secara
teori, ¼ gamet yang diproduksi dengan karier translokasi yang berbanding
terbalik seharusnya menjadi normal, ¼ seharusnya abnormal namun seimbang, dan ½
seharusnya abnormal dan tidak seimbang, menghasilkan
sebuah 50% kemungkinan sebuah kemailan normal (normal atau konsepsi seimbang)
dan 50% kemungkinan sebuah kehamilan abnormal (abortus atau viable namun fetus
anomaly), dengan anggapan penggabungan dengan sebuah normal gamet secara
kromosom dari pasangan yang tidak terpengaruh. Secara mirip, diberikan 3 jalan
yang berbeda dimana sebuah translokasi kromosom Robertsonian dan anggota yang
normal dan anggota normal pasangan kromosom yang terpengaruh dapat meluruskan
dan memisahkan selama miosis, 1/6 gamet diproduksi oleh carrier seharusnya
normal, 1/6 seharusnya abnormal naum seimbang, dan sisanya 2/3 seharusnya
abnormal dan tidak seimbang, menghasilkan
33% kemungkinan sebuah kehamilan normal (konseptus normal atau seimbang) dan
kemungkinan 67% kehamilan abnormal (abortus atau viable namun fetus anomaly),
dengan asumsi sebuah gabungan dengan sebuah gamet nornam secara kromosom dari
pasangan yang tidak terpengaruh. Bagaimanapun juga, saat sebuah translokasi
Robertsonian termasuk keduan anggota dari sebuah pasangan kromosom, carrier
tidak akan memproduksi normal gamet karena kesemuanya akan mempunyai dua atau
tidak ada salinan kromosom yang terpengaruh.
Beberapa
translokasi yang berbanding terbalik adalah predisposisi terhadap pola
pemisahan spesifi dibandingkan dengan acak dan dapat memberikan sebuah distribusi yang tidak simetris dari gamet yang
normal, seimbang, dan tidak seimbang. Kemungkinan sebuah kehamilan yang sukses
dan risiko kromosom abnormal namun fetus yang dapat hidub bervariasi dengan
kromosom spesifik yang terlibat dan ukuran serta lokasi segmen yang
translokasi. Abnormalitas beberapa kromosom (kromosom 21) adalah ditoleransi
lebih baik dibanding yang lain dan risiko konseptus yang tidak balance namun
dapat hidub adalah lebih tinggi saat segmen kromosom yang bertukaran, kecil.
Dengan sifat mereka yang alami, translokasi yang berbanding terbalik, cenderung
menjadi agak unik, sehingga biasanya tidak terdapat cara yang mudah untuk memprediksi
secara akurat probablilitas outcome kehamilan yang spesifik untuk indifidu
pasangan yang terpengaruh. Yang terbaik, kariotipe pasangan yang terpengaruh
dapat mengijinkan seseorang untuk memprediksi pola segregasi yang paling mirip
untuk sebuah translokasi yang spesifik dan memprediksi risiko keturunan yang
tidak seimbang. Saat pasangan laki-laki adalah carrier translokasi, distribusi
sperma normal, seimbang, dan tidak seimbang, dan prognosis untuk konsepsi yang
berhasil dapat lebih ditegaskan secara akurat. Saat pasangan perempuan adalah
carrier atau distribusi gamet dilain pihak tidak diketahui, pasangan yang
memiliki riwayat reproduksi (dan beberapa dari mereka yang mirip terpengaruh
anggota keluarga) adalah ukuran yang terbaik. Salah satu pengecualian adalah
sebuah translokasi recurrent spesifik yang menyangkut kromosom 11 dan 22,
t(11;22)(q23;q11), trasnlokasi berbanding terbalik paling sering pada manusia;
telah dilaporkan lebih dari 100 keluarga terpengaruh yang tidak berhubungan,
dan performa reproduksi carrier, telah didefinisikan dengan baik.
Inversi
kromosom terjadi kurang sering dibanding translokasi, dan baik dapat atau tidak
dapat memiliki implikasi reproduksi, tergantung ukuran dan lokasi. Inversi
pericentric (mereka yang melibatkan centromere) terkadang tidak terdapat
konsekuensi klinis; inversi pericentric kromosom 9, inv(9)(p11q13), adalah
sangat umum (1-1,5% dalam populasi umum) yang beberapa mempertimbangkannya
sebagai sebuah variasi normal dengan tidak terdapat kepentingan. Bagaimanapun
juga, crossover dan rekombinasi yang dapat terjadi dengan inversi paracentrik
(mereka yang tidak berada di centromer) secara sering menghasilkan material
genetik yang berlebih yang menghasilkan abortus atau fetus yang anomali.
Seperti
yang dapat diantipasi, riwayat reproduksi umum yang paling sering pada pasangan
carrier translokasi intermasuk baik anak yang normal dan kehilangan kehamilan
awal (6-7%); riwayat lainnya termasuk hanya keguguran spontan atau kombinasi
malformasi anak, stillbirth, dan abortus adalah sedit kurang umum (4-5%).
Kemungkinan untuk mengenali translokasi kromosom seimbang pada pasangan dengan
3 atau lebih kehilangan kehamilan terdahulu tidak lebih tinggi secara
signifikan dibandingkan mereka dengan 2 kehilangan kehamilan. Pada beberapa
pasangan, riwayat keluarga (kehilangan kehamilan berulang, stillbirth, atau
defek lahir) menyarankan kemungkinan abnormalitas kromosom tersembunyi setelah
hanya satu keguguran spontan.
Translokasi
kromosom seimbang dapat ditemukan pada kedua pasangan, dan keduanya harus
dikaryotype untuk mengecualikan kemungkinan. Beberapa translokasi seimbang yang
diidentifikasi dapat menaikkan de novo atau diwarisi dari satu orang tua
carrier. Jika translokasi diturunkan, salah satu dari saudara carrier dan, dalam
gilirannya, keturunannya juga dapat terkena. Kehamilan pada pasangan yang
terkena menjadi calon untuk penelitian diagnostic prenatal, tanpa mengecualikan
umur ibu atau riwayat reproduksi terdahulu. Secara konsekuensinya, konseling
pasangan carrier translokasi dengan kehilangan kehamilan berulang harus
dipertimbangkan karyotype orang tua carrier dan, saat tepat, indifidu yang
secara potensi terkena dalam hubungan keluarga. Untuk anak yang mungkin sebagai
carrier, mengkaryotype sebaiknya ditunda sampai pada umur dimana mereka dapat
menjamin inform consent.
Sangat
mungkin dan sepertinya bahwa beberapa pasangan dengan kehilangan kehamilan
berulang dapat mengandung abnormalitas genetic yang mengpredisposisikan risiko
keguguran yang lebih tinggi namun tidak dapat dideteksi teknik cytogenik
standart. Kemungkinannya termasuk gonadal yang terisolasi atau gonadal
mosaicism (termasuk garis sel trisomi) dan defek tunggal gen.
Pengumuran dan Gamete
Aneuploidy
Mekanisme
yang bertanggung jawab untutk peningkatan yang berkaitan dengan umur pada
insedensi keguguran dan penggunaan tes cadangan ovarium pada evaluasi umur
reproduktif dan prognosis dalah didiskusikan secara lengkap pada bab 27. Faktor
genetic yang mengkontribusi terhadap meningkatnya kehamilan sia-sia dihubungkan
dengan umur reproduksi dan kegunaan tes cadangan ovarium pada wanita dengan
kehilangan kehamilan yang berulang adalah disimpulkan secara jelas disini.
Beberapa
bukti menyarankan bahwa ketidakstabilan yang berhubungan dengan umur atau
mekanisme degradasi seluler yang menentukan formasi dan fungsi kumparan meiotic
menghasilkan kenaikan insidensi kesalahan segregasi meiotic dan kenaikan sering
jumlah oocyt aneuploid selama beberapa tahun kemuddina usia reproduktif.
Perkiraan terbaik yang ada menunjukkan bahwa prevalensi oocyt aneuploid relati
rendah sebelum umur 35 tahun (kurang dari 10%) namun meningkat tiba-tiba
kemudian, 30% pada umur 40 tahun, 50% pada umur 43 tahun, dan hamper 100%
setelah umur 45 tahun. Pengamatan ini menunjukkan penjelasan yang logis untuk
keseluruhan peningkatan yang berkaitan dengan umur pada insidensi keguguran dan
prevalensi aneuploidy yang lebih tinggi diantara wanita berumur yang mengalami
abortus. Tentu saja, kebanyakan trisomi yang diamati diantara abortus dapat
dilacak pada kegagalan meiotic maternal dan aneuploidy oocyt.
Beberapa
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang yang tidak bisa dijelaskan
mempunyai pengurangan cadangan ovarium yang dapt menjelaskan kemampuan
reproduksinya yang jelek. Prevalensi tes cadangan ovarium yang abnormal pada
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang yang tidak bisa dijelaskan adalah
lebih tinggi dibandingkan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang
dengan sebab yang jelas dan sebanding dengan mereka yang diamati pada populasi
umum wanita infertile. Pengamata ini menyarankan bahwa wanita dengan kehabisan
folikel ovarium derajat lanjut adalah pada risiko lebih tinggi terjadinya
keguguran bagaimanapun umur mereka. Untuk mereka, kurva yang menggambarkan
peningkatan yang berhubungan dengan umur pada insidensi keguguran spontanadalah
ditinggalkan berubah dan peningkatan tajampada risiko keguguran yang secara
normal dimulai pada umur 37 tahun, dimulai lebih awal. Beberapa wanita akan
mengalami kehabisan folikel ovarium premature karena mereka lahir dengan kutup
folikel ovarium yang lebih kecil dari yang normal dan secara genetic
ditakdirkan terdapat diantara 10% wanita yang mengalami menopause dini. Wanita yang telah mengalami abortus
trisomic mencapai menopause pada awal umur rata-rata. Wanita lainnya dapat
mengalami kehabisan kutup folikel ovarium karena penyakit yang meghancurkan
jaringan ovarium atau penyakit yang membutuhkan pengangkatan ovarium. Salah
satu jalan, hasil akhir adalah sama – percepatan kehabisan folikel, penurunan
fertilitas, dan kenaikan risiko keguguran mulai lebih awal dibandingkan umur
rata-rata. Wanita yang menunjukkan cadangan ovarium rendah mempunyai secara
ekstrim lebih tinggi rerata kehilangan kehamilan, tanpa mengeyampingkan umur.
Selain
dapat menawarkan informasi yang dapat membantu untuk menjelaskan kehilangan
kehamilan berulang, tes cadangan ovarium dapat mengenali wanita muda dengan
risiko tinggi untuk terjadinya fetal aneuploidy pada kehamilan selanjutnya yang
akan sebaliknya tidak dipikirkan menjadi calon untuk penelitian diagnostik
prenatal. Insidensi Down syndrom meingkat pada wanita dengan pengkatan serum
follicle stimulating hormone (FSH), tanpa menghiraukan umur dan tanpa
menghiraukan apakah cadangan ovarium rendah, FSH tinggi berasal dari proses alami
atau berasal dari operasi ovarium.
Prevalensi
inactivasi X chromososme yang tidak simetris, diartikan sebagai inaktivasi yang
spesial (lebih dari 90%) satu dari dua X chromosome pada sel wanita, adalah
meningkat pada waita dengan kehilangan kehamilan berulang. Pengamatan ini
mempunyai spekulasi yang cepat bahwa mutasi X-linked bersifat letal terhadap
laki-laki karena inaktivasi X chromosome yang tidak simetris pada perempuan
carrier dan predisposisi terjadinya aborsi pada konsesi laki-laki dan peningkatan
prevalensi kelahiran hidub perempuan. Bagaimanapun juga, penyelidikan masalah
ini tidak memastikan dampak yang diprediksi dari abortus dari laki-laki yang
normal secara kromosom. Observasi peningkatan prevalensi abortus trisomi
diantara wanita dengan kehilangan kehamilan berulang dan inaktivasi X chromoome
yang tidak simetris telah menyarankan hypotesis alternatif bahwa mutasi X
chromosome atau translokasi X autosome menghasilkan inaktivasi X hromosome yang
tidak simetris dan kutub folikel ovarii yang lebih kecil dari yang normal atau
percepatan kehabisan folikel yang mepredisposisikan aneuploidy oocyt dan
kehilangan kehamilan berulang.
Konseptus
yang ditakdirkan sakit yang abnormal secara kromosom juga dapat berasal dari
fertilisasi euploid oocyt normal oleh sperma aneuploidy. Sperma dari pria yang
pasangannya mempunyai riwayat kehilangan kehamilan berulang yang tidak dapat
dijelaskan menunjukkan prevalensi morphology abnormal, chromosome aneuploidy,
dan DNA fragmentasi yang lebih tinggi. Insidensi sperma aneuploidy meningkat
sejalan dengan umur orang tua, jika hanya secara sedikit, dan insidensi
keguguran pada wanita muda dengan pasangan laki-laki yang lebih tua adalah
lebih tinggi dibandingkan jika usia pasangannya muda. Diambil bersama,
pengamatan ini menyarankan bahwa kualitas semen yang jelek, seperti halnya
cadangan ovarium rendah pada wanita, dapat mendisposisikan baik infertilitas
dan kehilangan kehamilan awal, dua point yang berbeda pada sebuah rangkaian
kesatuan kegagalan reproduksi mempunyai beberapa kesamaan sebab. Bagaimanapun juga, sperma aneuploidy
jarang meningkat di atas kurang lebih 1 – 2%. Dibandingkan dengan pengaruh
aneuploidy oocyte pada risiko keguguran, sperma yang tidak normal secara
kromosom memiliki kepentingan sedikit atau tidak ada sebagai sebuah faktor
prdisposisi pada kehilangan kehamilan berulang.
Mengkaryotype Abortus
Banyak pandangan mengatakan bahwa
mengkaryotype produk konsepsi setelah keguguran adalah seatu kemewahan yang
tidak perlu dan mahal. Pendapat lain mengatakan bahwa mengkaryotype adalah
masalah kritis yang penting untuk membedakan pasangan yang merupakan kandidat
untuk evaluasi teliti dari mereka yang tidak memerlukannya. Tanpa
mengkaryotype, wanita yang mengalami keguguran berulang secara umum diasumsikan
mengalami kehilangan kehamilan normal yang, pada kenyataannya, kebanyakan tidak
normal. Beberapa menganjurkan mengkaryotype pada abortus pertama atau kedua,
dengan alasan bahwa wanita yang keguguran dengan kehamilan yang normal secara
kromosom seharusnya disaring untuk sebab kehilangan kehamilan yang dapat
diobati lebih cepat dibandingkan ditunda. Kebalikannya, bagi mereka yang
keguguran kehamilan yang tidak normal secara kromosom dapat dihindari evaluasi
yang tidak perlu dan mahal dan pengobatan empiris.
Sayangnya,
karyotype dari sebuah abortus tidak dapat menyediakan informasi yang pasti;
karyotype dapat berguna nmun juga memiliki keterbatasan dan perangkap yang
seharusnya dipertimbangkan secara hati-hati. Kebanyakan kegagalan kehamilan
awal kehilangan viabilitas yang baik sebelum onset simtom klinis keguguran atau
pengenalan lain kehilangan yang tidak dapat dicegah; produk konsepsi seperti
ini dapat gagal untuk berkembang dalam kultur. Spesimen jaringan yang keluar
secara spontan adalah sering gagal dikultur dibandingkan dengan jaringan yang
didapatkan dari kuretase.
Sebuah
karyotype normal abortus dapat diinterpretasikan sebagai pensyaranan bahwa
faktor genetis tampaknya tidak bertanggung jawab, difokuskan perhatian pada
evaluasi untuk sebab yang mungkin kehilangan kehamilan berulang yang lain. Sayang sekali, karyotype 46,XX
yang normal juga dapat merepresentasikan kontaminasi sel maternal dari jaringan
spesimen dan perkembangan istimewa garis sel maternal normal dalam kultur,
terutama saat tidak ada penanganan spesifik yang telah diambil untuk memotong
memisahkan, dan mengajukan hanya villi chorionik untuk kultur sel. Hasil dari
penelitian embryoscoscopic dan cytogenic dari missed aborsi asal menantang
secara langsung dugaan bahwa karyotype normal secara efektif mengeksklusi
penyebab genetis untuk sebauh kegagalan kehamilan. Padahal, 75% abortus adalah
tidak normal secara kromosom, 2/3 dari sisa 25 % mempunyai karyotype normal
(total 17%) menunjukkan perkembangan abnormal yang kasar sebarat mereka yang diobservasi
dalam abortu aneuploidy. Pengamatan ini menyarankan bahwa labih dari 90% dari
semua missed aborsi awal yang menyertakan embryo yang dapat dikenali dihasilkan
dari gangguan genetik dan menunjukkan bahwa proporsi substansial kegagalan
kehamilan awal dihasilkan dari kecacatan genetis kasar dalam proses organisasi
dan morphogenik yang tidak dapat dideteksi dengan teknik cytogenik
konvensional atau bahkan metode yang
lebih modern (FISH< comparative genomic hybridization). Dapat
diargumentasikan, kehamilan yang gagal sebelum embryogenesis yang dapat
dikenali (sacs yang kosong atau ”blighted ovum”) adalah sepertinya lebih karena
abnormalitas kromosom, dapat diambil kesimpulan bahwa lebih dari 90% kehilangan
kehamilan awal dapat berasal dari sebab genetis.
Sebuah
karyotype abortus yang tidak normal menampakkan trisomy, monosomy, atau
polyploidy menjelaskan bahwa kehilangan kehamilan spesifik, menyarankannya
tampaknya berasal dari kesempatan saja dan secara umum dipikirkan sebagai bukti
bahwa risiko kekambuhan tidak meningkat secara signifikan. Sedangkan penemuan
serupa dapat menyarankan bahwa tidak terdapat evaluasi formal yang diperlukan,
beberapa berasumsi bahwa pasangan dengan penyebab spesifik lainnya untuk
kehilangan kehamilan berulang mempunyai paling tidak kesempatan acak yang sama
untuk mengandung kehamilan aneuploidy seperti orang yang lain; mereka dapat
diabaikan jika evaluasi ditawarkan hanya kepada mereka yang mempunyai kromosom
abortus normal. Lebih lagi, abortus aneuploidy dapat juga mencerminkan
keterlibatan umur ibu yang tua atau dilain pihak kehabisan cadangan ovarium
yang tidak dicurigai, yang dimana kasus risiko untuk kekambuhan dalam kehamilan
selanjutnya secara jelas meningkat.
Karyotype
abortus yang menunjukkan sebuag translokasi kromosom yang tidak seimbang secara
jelas menyarankan bahwa orang tua dapat menjadi karrier seimbang dari
trasnlokasi yang sama, kecurigaan dapat secara mudah dikonfirmasi dengan
menunjukkan karyotype pada kedua pasangan pada pasangan yang terkena.
Diagnosis Genetik Preimplantasi dan Screening Aneuploidy
Diagnosis
genetik preimplantasi menggambarkan jumlah tehnik untuk evaluasi genetik
preconsepsional dari embrio yang berasal dari in vitro fertilization (IVF).
Diagnosis genetik preimplantasi dapat digunakan untuk mendeteksi abnormalitas
kromosom numerikal (aneuploidy) dan struktural (trasnlokasi, inversi),
mengidentifikasi oocyte atau embryo dengan gangguan gen tunggal yang diwarisi
(cystik fibrosisi, thalassemia, hemophillia, Duchenne muskular dystrophy, dan beberapa
yang lain), atau atau untuk menentukan jenis kelamin. Tehnik ini membutuhkan
satu atau lebih sel yang dapat didapatkan pada tingkatan perkembangan yang
berbeda. Komposisi kromosom oocyte dapat diduga dari oocyte dari badan kutub
yang extruded. Satu atau dua blastomer dapat dipisahkan dari embryo stadium
perpecahan. Biopsi trophoectoderm juga dapat dilakukan pada stadium blastocyst.
Dalam scenario yang paling umum (biopsi embryo stadium perpecahan), solusi
dilusi dari solusi asam Tyrode digunakan untuk menciptakan sebuah lubang kecil
dalam zona pellucida dan satu atau dua sel diaspirasi, secara typikap pada hari
ketiga setelah pengambilan kembali oocyte dan fertilisasi saat embryo pada
tahap 6 – 8 sel.
FISH
adalah sebuah tehnik untuk mendeteksi abnormalitas kromosom numerik menggunakan
probe yang dilebeli dengan fluorochrome warna yang berbeda yang mengikat
rangkaian gen spesifik pada kromosom yang spesifik. Dalam konteks kehilangan
kehamilan berulang, FISH telah digunakan untuk menyaring embryo yang dihasilkan
dari IVF untuk aneuploides yang paling umum yang diamati pada abortus (XY, 13,
14, 15, 16, 18, 21, 22) dan juga untuk membedakan kromosom embryo normal,
seimbang dan tidak seimbang pada pasangan yang membawa translokasi kromosom
seimbang. Sebagai metode penyaringan aneuploidy, FISH mempunyai keuntungan dan
batasan. FISH relatif mudah untuk dilakukan dan memberikan hasil yang tepat
waktu untuk transfer embryo yang terseleksi
secara genetis 2 hari setelah bipsi embryo (5 hari setelah pendapatan
kembali oocyt dan fertilisasi), pada stadium blastocyst. Meskipun FISH hanya
dapat mengevaluasi jumlah kromosom yang terbatas (khas anatar 5 dan 9), FISH
masih dapat mendeteksi lebih dari 80% dari semua kromosom abnormal karena FISH
secara khusus memasukkan semua kromosom yang terlibat pada kebanyakan
aneuploides. Kerena pmeriksaan hybridize terhadap locus khas atau centromer,
FISH menyediakan informasi hanya mengenai ada atau tidak adanya segmen yang
sangat kecil dari kromosom; parsial aneuploidy dapat tidak terdeteksi. Juga
fragmentasi nuclear pada blastomer yang dibiopsi adalah relatif umum dan dapat
dihasilkan pada kromosom yang hilang, mengasilkan kesalahan diagnosis
aneuploidy.
Hybridization
genomik komparatif adalah tehnik terkait dimana tes DNA (diekstraksi dari
blastomer tunggal) dan DNA referensi laki-laki normal (diekstraksi dari
lymphocyte), adalah diperjelas pertama kali, kemudian dilabel dengan
fluorochromes berwarna yang berbeda (hijau/merah), dan secara serentak
dihibridisasi untuk mempola kromosom metaphase dari lymphocyte laki-laki
normal; rasio fluoresensi hijau dan merah mencerminkan nomer salinan relatif
untuk setiap kromosom pada tes DNA dibandingkan dengan acuan DNA normal.
Meskipun hybridization genomik komparatif dapat menganalisa kesemuaan 24
kromosom (X, Y, 22 autosome) dan deteksi ketidaknormalan yang tidak dapat
dikanali dengan analisa yang lebih terbatas dengan FISH, waktu yang diperlukan
untuk dilakukan hybridization genomik komparatif (sekitar 5 hari) dapat
dilaksanakan hanya dalam cryppreserved dan tidak pada embryo yang segar.
Meskipun embryo biopsi lebih sensitif
terhadap kekakuan cryopreservasi dan pencairan, modifikasi tehnis pada
protokol pembekuan dapat secara besar memecahkan masalah. Pada akhirnya, pengurangan waktu hibridisasi atau
penggunaan DNA microarrays sebagai
pengganti metafase kromosom sebagai cetakan untuk perbandingan hibridisasi
genom (analisis “fish and chip”) dapat memberikan suatu analisis yang cermat
yang dapat diselesaikan dalam 2-3 hari, pada saat transfer blastokis.
Tanpa memperhatikan apakah
menggunakan FISH atau perbandingan hibridisasi genom, diagnosis genetik
pre-implantasi secara umum hanya melibatkan 1-2 blastomer, dengan mengasumsikan
bahwa blastomer tersebut telah diseleksi dengan baik dan mewakili seluruh
embrio. Sayangnya, sebuah studi menunjukkan bahwa kepingan/mozaik tersebut
biasa ditemukan pada awal embrio manusia yang dikultur secara invitro.
Prevalensi dari mozaik embrio meningkat seiring dengan usia ibu dan tingkat
perkembangannya; kira-kira separh dari seluruh tingka pembelahan embrio dan
lebih dari 90% blastokis menunjukkan berbagai derajad kepingan/mozaik kromosom.
Oleh karena itu kesalahan diagnosis tidak dapat dielakkan, dan pada beberapa
keadaan tidak dapat dihindari namun dapat diminimalisir dengan menganalisis 2
atau bahkan 3 blastomer.
Secara keseluruhan, hasil dari
studi diagnosis genetik pre-implantasi menggunakan FISH dan perbandingan
hibridisasi genom mengindikasikan bahwa dari semua kromosom yang diperiksa,
hanya 35-40% dari embrio adalah normal. Data yang diambil dari beberapa studi
menyatakan bahwa wanita yang lebih tua dan wanita dengan riwayat kehilangan
kehamilan berulang menghasilkan embrio aneuploid yang lebih banyak dibandingkan
dengan wanita yang lebih muda dan wanita dengan riwayat reproduksi yang normal.
Lagi pula, transfer dari diagnosis genetik pre-implantasi - embrio terseleksi
dapat meningkatkan angka kejadian implantasi dan menurunkan angka kejadian
aborsi pada wanita dengan risiko tinggi untuk kehilangan kehamilan. Pengaruh
yang paling kuat/penting dari diagnosis genetik pre-implantasi untuk skrining
aneuploid pada angka kelahiran hidup dari wanita yang lebih tua dan wanita
dengan riwayat kehilangan kehamilan berulang masih belum jelas dan analisis
mengenai kerugian & keuntungannya belum pernah dilakukan. Sebaliknya
mungkin cukup beralasan untuk mempertimbangkan skrining aneuploid dengan
diagnosis genetik pre-implantasi untuk indikasi usia ibu yang telah lanjut atau
kehilangan kehamilan berulang pada pasangan dengan indikasi spesifik lainnya
untuk IVF, hasil yang didapat dengan diagnosis genetik pre-implantasi sejauh
ini tidak membenarkan IVF dengan diagnosis genetik pre-implantasi untuk semua
pasangan dengan usia ibu yang telah lanjut atau riwayat kehilangan kehamilan
berulang. Hingga saat ini, diseluruh dunia baru beberapa center saja yang dapat
melakukan diagnosis genetik pre-implantasi, namun teknologi dan
pengaplikasiannya telah banyak berkembang.
Untuk pasangan yang mengalami
kehilangan kehamilan berulang dimana salah satu partner-nya membawa sebuah
translokasi kromosom seimbang, IVF dengan diagnosis genetic pre-implantasi dan
transfer embrio yang normal dan seimbang dapat mendapatkan angka kehamilan yang
sebanding dengan pasangan infertil yang diobservasi tanpa seleksi, yakni pada
intinya mengalami penurunan risiko terjadinya keguguran spontan, meskipun
proporsi angka kehamilannya berkebalikan dengan proporsi dari gamet abnormal.
Saat partner laki-laki membawa (kromosom) translokasi seimbang, analisis sperma
FISH dapat digunakan untuk mengetahui proporsi sperma yang tidak seimbang
melalui kromosom dan untuk mempresiksi kemungkinan untuk mendapatkan kehamilan
yang sukses. Data terdahulu berpendapat bahwa saat ada beberapa embrio dengan
kualitas baik dan kurang dari 65% sperma yang tidak seimbang, pasangan yang
membawa translokasi mempunyai kemungkinan yang beralasan untuk dapat sukses
dengan IVF dan diagnosis genetik pre-implantasi, atau sebaliknya. Jika
dikonfirmasikan dalam penggunaan yang lebih luas, analisis sperma FISH terbukti
dapat digunakan untuk mempengaruhi pasangan yang sedang mempertimbangkan
pilihan IVF dengan diagnosis genetik pre-implantasi dan terapi inseminasi
dengan donor sperma. Sayangnya, belum ada jalan untuk memperoleh informasi yang
sama untuk wanita pembawa translokasi seimbang; tergantung dari asal
translokasi dan riwayat reproduksi, beberapa wanita yang membawa translokasi
seokbang mungkin lebih suka menggunakan ketersediaan sumber daya yang ada yakni
IVF dengan donor oosit daripada mencoba IVF dengan diagnosis genetik
pre-implantasi.
Ringkasan Fakta Kunci Berkaitan dengan Faktor Genetik
Secara keseluruhan, 50-75%
keguguran spontan diakibatkan oleh adanya abnormalitas kromoson di dalam embrio
atau fetus dan terjadi karena ada kesempatan, yang paling lazim adalah trisomi.
Pada kira-kira 5% pasangan yang mengalami kehilangan kehamilan berulang,
kariotipenya akan menunjukkan adanya translokasi kromosom yang seimbang yang
secara nyata dapat meningkatkan risiko keguguran akibat dari tingginya prevalensi
aneuploid pada gamet yang terbentuk. Usia reproduktif yang lebih tua pada
wanita berhubungan dengan meningkatnya risiko keguguran, yang merefleksikan
peningkatan prevalensi oosit aneuploid. Tes cadangan ovarium pada wanita dengan
kehilangan kehamilan yang tidak dapat dijelaskan dapat menunjukkan bukti adanya
“premature reproductive aging”.
Kariotipe dari suatu abortus dapat menjelaskan kehilangannya (aneuploid),
memberikan bukti adanya translokasi kromosom pada orangtua (ketika diketahui
ada translokasi yang tidak seimbang), atau memberi kesan dari penyebab
non-genetik (normal). Bagaimanapun, kariotipe yang normal sama sekali tidak
dapat mengeksklusi faktor genetik sebagai penyebab keguguran, dan kariotipe
perempuan yang normal (46, XX) dapat dihasilkan dari kontaminasi sel ibu pada
spesimen jaringan yang dikultur. IVF dengan diagnosis genetik pre-implantasi
dan transfer embrio aneuploid yang terseleksi adalah suatu pengobatan yang
telah ada untuk pasangan dengan kehilangan kehamilan berulang yang salah
satunya membawa translokasi kromosom yang seimbang. IVF dengan diagnosis
genetik pre-implantasi untuk alasan usia maternal yang telah lanjut atau pada
pasangan dengan kehilangan kehamilan berulang yang tidak dapat dijelaskan,
dapat meningkatkan angka implantasi dan mengurangi risiko keguguran, namun
perkembangan pada angka kelahiran hidup yang telah dicapai hingga kini tidak
dapat memberikan ganti rugi yang berkaitan pada pasangan tanpa indikasi
spesifik lain untuk IVF.
Faktor Anatomis
Abnormalitas anatomi uterus
sebagai predisposisi meningkatnya kejadian kehilangan kehamilan antara lain
malformasi kongenital, leiomyoma uteri, dan adhesi intra uteri. Masing-masing
secara detil telah diketahui sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kesuburan
(Chapters 4 dan 27); diskusi pada bagian ini terbatas hanya pada kepentingan
dan manajemen pada wanita dengan riwayat kehilangan kehamilan berulang.
Metode yang penting untuk
mengevaluasi uterus termasuk histerosalphingografi (HSG), ultrasonografi
transvaginal, dan sonohisterografi. MRI dan endoskopi (histeroskopi dan
laparoskopi) secara umum dilakukan untuk mendapatkan definisi yang lebih baik
mengenai dasar abnormalitas atau untuk metode pemeriksaan yang lebih sederhana.
Masing-masing metode dengan keterbatasannya, kesulitan, dan keakuratan relatifnya telah dijelaskan
secara luas dalam konteks pemeriksaan infertilitas (chapter 27). Bagaimanapun,
kegunaan relatifnya berbeda untuk pemeriksaan infertilitas dan kehilangan
kehamilan berulang. HSG lebih menguntungkan dibanding dengan USG untuk
mengevaluasi faktor uterus pada wanita infertil karena HSG juga memberikan
informasi mengenai patensi tuba yang tidak dapat dilakukan dengan USG
transvaginal maupun sonohisterografi. Bagaimanapun, untuk evaluasi dari
kehilangan kehamilan berulang, USG transvaginal dan sonohisterografi memberikan
keuntungan yang berbeda dibanding dengan HSG; keduanya memberikan gambaran
kontur eksternal dari fundus uteri dan oleh karena itu dapat membedakan dengan
jelas antara uterus septa dan uterus bicornis; dan keduanya juga labih mudah
digunakan serta lebih dapat ditoleransi daripada HSG. Dibandingkan dengan HSG,
sonohisterografi mempunyai sensitivitas dan spesivisitas yang lebih tinggi
untuk mendeteksi massa/lesi intracavitas (myoma submukosa, polip endometrium)
dan mempunyai efikasi yang sama untuk penegakan diagnosis.
Malformasi Kongenital Uterus
Dalam perkembangannya, anomali
uterus telah lama diasosiasikan dengan kehilangan kehamilan dan komplikasi
obstetrik. Seperti yang telah dilaporkan, prevalensi malformasi uterus pada
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang sangat bervariasi dengan perbedaan
dalam hal metode diagnostik dan kriteria. Data terbaik yang tersedia
menunjukkan bahwa prevalensi anomali uterus (tidak termasuk uterus arcuata) pada
populasi umum adalah sekitar 2% dan 3 kali lebih tinggi (6-7%) pada wanita
dengan riwayat kehilangan kehamilan berulang. Hal ini memperkuat dugaan bahwa
malformasi uterus mungkin memang merupakan kausa terdekat terjadinya keguguran
dengan proporsi yang kecil pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang.
Patogenesia dari keguguran pada wanita dengan anomali uterus masih belum pasti,
namun secara umum berhubungan dengan berkurangnya volume ruang intrauteri atau
kurangnya suplai darah.
Uterus unicornis diakibatkan
oleh kegagalan perkembangan salah satu duktus mullerian. Outcome kehamilan pada
wanita dengan uterus unicornis biasanya jelek; kira-kira setengahnya mengalami
kegagalan. Sebagian besar uterus unicornis diasosiasikan dengan adanya “tanduk”
uteri kontralateral yang tidak saling berhubungan, beberapa diantaranya
mempunyai cavitas fungsional dan sebaiknya dangkat untuk mengurangi risiko
terjadinya kehamilan ektopik, atau jika ada keluhan (nyeri, massa,
endometriosis). Sekitar 40% uterus unicornis berkaitan dengan agenesis ginjal
ipsilateral, sehingga diindikasikan dilakukan pemeriksaan lebih jauh dengan
pyelogram intravena atau renal sonogram. Tidak ada prosedur bedah untuk
memperbesar ruang pada uterus unicornis. Suatu anekdokt menyatakan kehamilan yang
sukses setelah cerclage serviks cukup banyak, tapi efikasi cerclage pada wanita
dengan uterus unicornis belum diteliti dengan cermat. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa sebagian besar kehamilan yang terjadi pada wanita dengan
uterus unicornis paling baik dilakukan manajemen konservatif (expectant management) dengan cerclage
serviks pada mereka dengan riwayat keguguran pada kehamilan trimester 2 atau
ada bukti pemendekan serviks yang progresif.
Uterus didelfis diakibatkan
karena kegagalan duktus mullerian untuk berfusi secara lengkap dan
masing-masing berdiferensiasi normal membentuk serviks dan hemiuterus. Fungsi
reproduksi pada wanita dengan uterus didelfis sedikit lebih baik daripada
wanita dengan uterus unicornis, kemungkinan karena meningkatnya suplai darah
kolateral antara 2 “tanduk” yang berfusi. Meski demikian, kira-kira 40%
kehamilan pada wanita dengan uterus didelfis berakhir sebagai keguguran
spontan. Secara umum, pembedahan yang diindikasikan pada wanita dengan uterus
didelfis hanya untuk menghilangkan obstruksi longitudinal pada septum vagina
(prevalensi 75%). Prosedur penggabungan/penyatuan biasanya tidak dibutuhkan,
namun dapat menguntungkan bagi sebagian wanita dengan keguguran berulang dan
kelahiran prematur. Ketika tindakan bedah dilakukan, teknik yang
direkomendasikan adalah menyatukan 2 fundus dan tetap membiarkan 2 serviks-nya
utuh.
Uterus bicornis diakibatkan
oleh fusi tak lengkap duktus mullerian pada bagian fundus, menghasilkan cavitas
uteri yang terpisah dengan segmen bawah yang normal dan serviks tunggal; secara
eksternal, uterus mempunyai celah dengan garis tengah yang dalamnya bervariasi
tergantung dari tingkat anomali fusi-nya. Data yang dikumpulkan secara serial
dari wanita dengan uterus bicornis menyatakan bahwa keguguran dan fetal loss terjadi kira-kira 30% dan
40%. Semakin besar ruang pada
segmen bawah uteri maka risiko kelahiran preterm semakin menurun. Meskipun
keuntungan dari prosedur penyatuan/penggabungan belum dievaluasi secara
sistematik, secara umum pembedahan perlu dilakukan pada wanita dengan uterus
bicornis yang telah berulangkali mengalami keguguran yang tak dapat dijelaskan
penyebabnya atau kelahiran premature. “Strassman abdominal metroplasty” adalah
prosedur pembedahan pilihan dan jika dibandingkan outcome kehamilan antara
sebelum dan sesudah penyatuan menunjukkan bahwa pembedahan tersebut
menguntungkan. Insidensi inkompetensi serviks berkaitan dengan anomaly
congenital uterus dilaporkan meningkat pada wanita dengan uterus bicornis, dan
ada bukti dari “case series” yang menunjukkan cerclage serviks dapat
meningkatkan angka kelangsungan hidup fetus.
Uterus septa diakibatkan oleh
resorpsi inkomplit dari septum medial yang memisahkan 2 ruang, yang telah
berfusi secara normal untuk menjadi hemiuteri. Resorpsi septum normalnya
terjadi hanya setelah perkembangan urologi komplit, oleh karena itu prevalensi
anomali traktus urinarius tidak meningkat pada wanita dengan uterus septa.
Uterus septa sejauh ini merupakan anomali uterus yang paling sering terjadi,
mencapai 80-90% dari semua malformasi pada wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang (prevalensi 3,5%) maupun pada populasi umum. Uterus septa juga
merupakan malformasi yang paling banyak berkaitan dengan outcome kehamilan yang
kurang baik (poor pregnancy outcomes).
Data dari beberapa case series mengindikasikan bahwa angka keguguran yang
berkaitan dengan uterus septa mencapai 65%. Uterus septa yang berkaitan dengan
kehilangan kehamilan berulang tidak lebih besar dibandingkan dengan kejadian
yang terjadi pada wanita dengan riwayat reproduksi yang normal. Bagaimanapun,
ukuran dari cavitas yang tidak terpengaruh (diatas dibatasi oleh tepi septum
dan bawah oleh os serviks internal) lebih kecil pada wanita dengan kehilangan
kehamilan berulang. Suatu penelitian mengarahkan pada hipotesis bahwa
implantasi pada septum yang miskin vaskularisasi adalah predisposisi untuk
terjadinya kehilangan kehamilan. Meskipun uterus septa tidak selalu dikaitkan
dengan outcome kehamilan yang kurang baik, temuannya pada wanita dengan
kehilangan kehamilan berulang merupakan indikasi untuk dilakukan koreksi
pembedahan. Histeroskopi septoplasti adalah prosedur endoskopi yang relative
singkat dan menguntungkan berkaitan dengan morbiditas yang rendah dan
menigkatkan outcome kehamilan post operasi (80% kelahiran aterm, 5% kelairah
pre term, 15% kehilangan kehamilan). Histeroskopi septoplasti dapat dilakukan
menggunakan gunting mikro (microscissors),
yakni suatu alat bedah elektro (electrosurgical),
atau dengan laser dan hasil yang sangat memuaskan dapat diperoleh dari semua
metode. Dengan sedikit pengecualian, insisi lebih dipilih untuk dikerjakan
karena biasanya terjadi retraksi septum, meninggalkan sedikit sisa. Prosedur
ini biasanya telah sempurna bila kedua ostium tuba telah terlihat pada saat
yang sama,. Sangat berguna untuk mengingat bahwa suatu uterus arcuata secara
umum dianggap sebagai variasi yang normal dan bila sisa septa diukur kurang
dari 1 cm tidak akan menimbulkan efek samping pada outcome kehamilan.
Hampir 70% dari wanita yang
terpapar dietilstilbestrol (DES) pada uterus mempunyai perkembangan uterus yang abnormal. Cavum uteri
T-shaped adalah salah satu malformasi yang sering terjadi; yang lainnya
termasuk hipoplasi uterus, konstriksi jaringan dan defek pengisian intrauteri
yang ireguler (irregular intrauterine
filling defects). Meskipun penggunaan DES pada kehamilan telah dilarang
pada tahun 1971 karena diketahui berkaitan dengan adenokarsinoma sel jernih
vagina (vaginal clear cell adenocarcinoma)
dan sebagian besar wanita yang terpapar saat ini berada dalam masa reproduktif,
penggunaanya oleh wanita masih terus diperdebatkan. Wanita yang terpapar DES
pada uterusnya mempunyai peningkatan risiko pada outcome kehamilannya, termasuk
risiko terjadinya keguguran spontan yang 2 kali lebih tinggi (kira-kira 24%)
dan 9 kali lebih tinggi untuk terjadi kehamilan ektopik. Perubahan struktur
pada kolagen penyusun serviks merupakan predisposisi bagi wanita yang telah
terpapar untuk menderita inkompetensi serviks, dan data dari nonrandomized clinical trial menyatakan
bahwa cerclage menjamin perhatian yang serius pada wanita dengan riwayat
kehilangan kehamilan pada trimester kedua atau kelahiran preterm.
Leiomyoma Uteri
Tidak ada bukti yang
mengimplikasikan moma uteri sebagai penyebab terjadinya keguguran berulang.
Bukti yang saat ini ada diambil dari beberapa kasus yang kemudian dibandingkan
outcome reproduksi sebelum dan sesudah myomektomi. Seluruh mekanisme bermaksud
menjelaskan bagaimana myoma dapat menjadi predisposisi bagi kehilangan
kehamilan berulang sehubungan dengan konsekuensi adanya aliran darah regional
yang kurang. Banyak studi yang telah meneliti efek dari fibroid uterus dalam
fertilitas (Chaoters 4 dan 27), namun tidak satupun yang secara spesifik
meneliti mengenai efek myoma terhadap outcome kehamilan pada wanita yang
fertile. Data terbaik yang tersedia datang dari penelitian yang baru saja
dilakukan untuk meneliti efek dari myoma uteri pada outcome yang dicapai dengan
fertilisasi invitro (IVF) pada wanita infertile. On balance, data ini
menunjukkan bahwa outcome kehamilan, seperti angka kehamilan dan implantasi,
dipengaruhi oleh myoma submukosa, namun tidak dipengaruhi oleh myoma subserosa
maupun myoma intramural yang berukuran < 5-7cm. Maka dari itu, manajemen
yang direkomendasikan untuk wanita denga kehilangan kehamilan berulang dan
myoma uteri sama dengan pada wanita infertile dengan moma uteri.
Secara umum, saat myoma
submukosa yang terjadi berukuran kecil dan tunggal, histeroskopi myomektomi
akan memberikan keuntungan yang lebih banyak dengan risiko yang kecil. Jika
myoma submukosa besar dan multiple, histeroskopi myomektomi secara teknik akan
lebih menantang dan mempunyai risiko yang lebih tinggi, termasuk sterilitas
yang diakibatkan karena adhesi intrauteri post operatif. Ketika myoma submukosa
meluas hingga mencapai myometrium, pilihan pengobatannya termasuk subtotal
histeroskopi myomektomi dan myomektomi abdominal. Ketika myoma mempunyai efek
pada cavum uteri yang nyata namun terbatas, keputusan untuk menunda atau segera
melakukan terapi pembedahan mungkin bervariasi, tergantung dari usia, riwayat
reproduksi, ukuran dan lokasi dari myoma, dan kompleksitas yang akan memerlukan
tindakan lain. Ketika myoma tidak mengganggu atau mengubah cavum uteri, juga
bila tidak ada gejala-gejala yang diakibatkan oleh myoma tersebut, tindakan
pembedahan tidak diindikasikan.
Adhesi
Intrauteri (Sindrom Asherman)
Kehilangan kehamilan berulang dapat
disebabkan oleh adhesi intrauteri, namun gangguan menstruasi (hipomenore,
dismenore, amenore) dan infertilitas merupakan manifestasi klinis yang paling
sering muncul pada adhesi intrauteri. Suatu trauma yang cukup berat untuk
menghilangkan atau menghancurkan endometrium dapat menyebabkan adhesi
intrauteri, dan uterus gravid tampaknya jauh lebih rentan terhadap trauma.
Karena kehilangan kehamilan merupakan indikasi paling sering untuk dilakukan
kuretase uterus, adhesi intrauteri mungkin pada awalnya merupakan akibat dari
kehilangan kehamilan, namun akhirnya menjadi faktor yang berperan pada
kehilangan kehamilan berulang. Mekanisme kehilangan kehamilan berulang akibat
adhesi intrauteri meliputi penurunan volume fungsional uterus serta fibrosis
dan inflamasi endometrium yang merupakan faktor predisposisi insufisiensi
plasenta. Luaran kehamilan pada wanita dengan adhesi intrauteri biasanya buruk
(40-80% mengalami kehilangan kehamilan spontan dan sekitar 25% mengalami
kelahiran prematur) namun membaik setelah dilakukan adhesiolisis (50-90%
berakhir dengan kelahiran aterm; 7-23% mengalami kehilangan kehamilan spontan);
prognosis berkorelasi erat dengan beratnya adhesi.
Histeroskopi merupakan pemeriksaan
yang dilakukan untuk mengkonfirmasi kecurigaan adhesi intrauteri pada
pemeriksaan histerosonografi atau HSG dan juga merupakan salah satu pilihan
terapi, yang lebih aman dan lebih efektif daripada kuretase tanpa panduan.
Tampilan adhesi yang terlihat melalui histeroskopi, teknik lisis, risiko
operasi, dan terapi adjuvant dibahas secara terperinci dalam bab 27.
Rangkuman
Fakta Kunci Terkait Faktor Anatomi
Abnormalitas uterus kongenital dan didapat merupakan faktor predisposisi
terhadap meningkatnya risiko kehilangan kehamilan dan dapat diidentifikasi
dengan sonohisterografi atau HSG tradisional; MRI mungkin diperlukan untuk
membedakan septum uterus dan uterus bikornus dengan akurat. Septum uterus
merupakan abnormalitas Mullerian yang paling sering ditemukan, paling sering
menyebabkan kehilangan kehamilan, dan merupakan malformasi yang paling mudah
dikoreksi; septoplasti histeroskopik diindikasikan pada wanita yang mengalami
kehilangan kehamilan berulang dan memiliki septum uterus. Prosedur metroplasti
abdominal diindikasikan untuk wanita dengan uterus didelfis atau uterus
bikornus yang jarang didapatkan. Cervical
cerclage mungkin dapat memperbaiki luaran kehamilan pada wanita dengan
uterus bikornus dan pada wanita dengan uterus didelfis atau uterus unikornus
yang sebelumnya pernah melahirkan dengan selamat atau mengalami pemendekan
servik uterus progresif selama awal kehamilan. Prevalensi abnormalitas saluran
kemih meningkat pada wanita yang memiliki uterus bikornus atau unikornus atau
uterus didelfis, namun tidak pada wanita dengan septum uterus. Leiomioma uteri
sering ditemukan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang, namun hanya
mioma submukosa dan fibroid intramural yang cukup besar untuk memasuki atau
menggeser kavum uterus yang memiliki peran bermakna. Adhesi intrauteri
merupakan penyebab kehilangan kehamilan spontan yang jarang ditemukan; luaran
kehamilan membaik setelah dilakukan lisis secara histeroskopik.
Faktor Imunologis
Baik mekanisme autoimun maupun
alloimun telah dicurigai sebagai penyebab kehilangan kehamilan berulang.
Gangguan autoimun melibatkan suatu respon imun yang ditujukan terhadap suatu
bagian spesifik dari self; mekanisme
autoimun yang telah diketahui berkaitan dengan kehilangan kehamilan berulang meliputi beberapa penyakit autoimun
klasik seperti lupus eritematosus sistemik dan sindrom antifosfolipid. Gangguan
alloimun meliputi respon imun maternal yang abnormal terhadap antigen fetal
atau plasenta, tidak adanya maternal
blocking antibodies, dan gangguan distribusi serta fungsi natural killer cells.
Gangguan
autoimun
Lupus eritematosus sistemik telah lama
diketahui berkaitan dengan kehilangan kehamilan. Data dari beberapa seri kasus
menunjukkan terdapatnya risiko kehilangan kehamilan sebesar 20% pada penderita
lupus eritematosus sistemik, terdapat risiko kehilangan kehamilan tambahan pada
trimester kedua dan ketiga kehamilan. Kehilangan kehamilan spontan awal tidak
lebih sering terjadi pada wanita dengan lupus eritematosus sistemik
dibandingkan wanita normal, namun insidensi kehilangan kehamilan pada tahap
kehamilan yang lebih lanjut adalah 2 sampai 4 kali lebih tinggi (6%). Hampir
semua kematian fetal yang terjadi pada wanita dengan lupus eritematosus
sistemik berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, suatu indikator yang
paling sensitif untuk distress fetal
maupun kematian fetal. Penyakit yang aktif pada saat konsepsi, onset lupus
eritematosus sistemik selama kehamilan, dan penyakit ginjal juga meningkatkan
risiko kehilangan kehamilan. Monitoring ketat dan intervensi pada saat yang
tepat dapat memperbaiki luaran kehamilan. Terapi yang ditujukan untuk mencegah
terjadinya kehilangan kehamilan pada wanita dengan lupus eritematosus sistemik
dan antibodi antifosfolipid mirip dengan terapi yang ditujukan untuk wanita
dengan sindrom antifosfolipid, yang akan dibahas kemudian. Secara umum, wanita
dengan lupus eritematosus sistemik harus dianjurkan untuk menunda konsepsi
sampai remisi dapat dicapai, dan wanita dengan insufisiensi ginjal berat harus
disarankan untuk menghindari kehamilan; terdapat peningkatan risiko preeklamsia
dan kelahiran prematur jika kehamilan dapat bertahan.
Sindrom antifosfolipid merupakan suatu
gangguan autoimun yang memiliki gambaran klinis dan laboratoris spesifik;
diagnosis ditegakkan jika terdapat setidaknya satu manifestasi klinis maupun
laboratoris. Kriteria diagnosis klinis meliputi kejadian tromboembolik (arteri,
vena, atau pembuluh darah kecil) dan kehilangan kehamilan (kehilangan kehamilan
3 kali atau lebih pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu, kematian fetal
setelah 10 minggu kehamilan, kelahiran prematur pada usia kehamilan kurang dari
34 minggu yang terkait preeklamsia atau insufisiensi plasenta berat). Terdapat
dua kriteria laboratoris. Yang pertama adalah terdapatnya antikoagulan lupus,
yang ditunjukkan oleh memanjangnya waktu koagulasi pada uji koagulasi
tergantung fosfolipid (APTT, kaolin
clotting time, dilute Russel’s viper venom time), yang dapat dikoreksi
dengan penambahan fosfolipid, namun tidak dengan penambahan plasma miskin
trombosit. Yang kedua adalah terdapatnya kadar moderat atau tinggi antibodi
antikardiolipin (IgG atau IgM); kadar yang rendah mungkin terdapat pada 3-5%
individu normal dan kepentingan klinisnya belum jelas. Abnormalitas hasil
pemeriksaan laboratorium harus dipastikan dengan setidaknya 2 pemeriksaan yang
berjarak setidaknya 6 minggu.
Walaupun prevalensi sindrom
antifosfolipid pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang cukup rendah
(3-5%), sindrom antifosfolipid merupakan penyebab kehilangan kehamilan berulang
yang dapat diterapi. Pemeriksaan untuk mendeteksi antikoagulan
lupus dan antibodi antikardiolipin merupakan pemeriksaan yang invasif minimal,
relatif tidak mahal, dan oleh karena itu dibenarkan untuk dilakukan pada
sebagian besar atau bahkan semua wanita dengan kehilangan kehamilan berulang. Pemeriksaan
untuk mendeteksi antibodi antifosfolipid lain (anti-β2 glikoprotein 1,
antiannexin, antifosfatidilserin, antifosfatidiletanolamin, dan lainnya) juga
disarankan untuk dilakukan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang,
namun hasilnya tidak memberikan informasi tambahan yang penting. Pemeriksaan
untuk antibodi antifosfolipid selain antikoagulan lupus dan antikardiolipin
belum distandardisasi dan belum diteliti secra mendalam, kepentingan klinisnya
belum diketahui dengan jelas, dan banyak wanita yang tampak sehat memiliki
antibodi antifosfolipid sirkulasi dalam kadar rendah.
Data yang membuktikan bahwa antibodi
antifosfolipid merupakan faktor predisposisi kehilangan kehamilan berulang
cukup konklusif. Sedikit, namun dalam jumlah yang tetap bermakna, dari wanita
yang mengalami kehilangan kehamilan berulang memiliki antibodi antifosfolipid
dalam sirkulasi. Wanita dengan antibodi antifosfolipid yang terdeteksi pada
awal kehamilan mengalami peningkatan risiko kehilangan kehamilan. Mereka juga
berisiko sangat tinggi untuk mengalami kehilangan kehamilan pada kehamilan-kehamilan
berikutnya, bahkan jika telah mendapatkan terapi. Bukti tambahan didapatkan
dari hewan model; imunisasi pasif dengan IgG antibodi antifosfolipid dari
wanita dengan sindrom antifosfolipid menyebabkan terjadinya aborsi pada tikus.
Sindrom antifosfolipid dapat ditemukan bersamaan dengan lupus eritematosus
sistemik atau pada wanita tanpa kelainan imunologis lainnya.
Berkebalikan dengan pengamatan pada
sebagian besar seri kasus wanita dengan kehilangan kehamilan berulang, sekitar
sepertiga sampai tiga perempat kehilangan kehamilan yang berkaitan dengan
sindrom antifosfolipid adalah kematian fetal (setelah usia kehamilan 10
minggu). Kematian fetal sering didahului pertumbuhan fetal yang buruk,
oligohidramnion, dan abnormalitas frekuensi denyut jantung, yang semuanya
mungkin mencerminkan terjadinya hipoksemia akibat insufisiensi plasenta. Bukti
menunjukkan bahwa antibodi antifosfolipid menyerang trombosit (memicu adhesi)
dan endotel vaskuler (sehingga terjadi perubahan dalam metabolisme prostasiklin/tromboksan
yang menyebabkan vasokonstriksi), kedua mekanisme yang memicu terjadinya
trombosis. Antibodi antifosfolipid sirkulasi juga terkait dengan penurunan
kadar protein pengikat fosfolipid yang bersifat antitrombotik pada permukaan
trofoblas dan sel endotel (annexin V). Maka tidak mengejutkan bila vaskulopati
arterioler spiral, bahkan infark plasenta, sering ditemukan pada wanita dengan
sindrom antifosfolipid.
Trombosis pada sirkulasi plasenta
merupakan mekanisme yang mungkin menyebabkan kehilangan kehamilan pada usia
kehamilan yang lebih lanjut pada wanita dengan sindrom antifosfolipid, namun
tidak dapat menjelaskan kehilangan kehamilan pada usia kehamilan kurang dari 10
minggu, pada saat hubungan arteri maternal dengan ruang intervilus terbentuk. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa mekanisme lain yang berkaitan dengan abnormalitas
invasi awal trofoblas mungkin berperan pada kehilangan kehamilan awal maupun
lanjut. Pada awal kehamilan normal, trofoblas ekstravilous menginvasi pembuluh
darah desidua, pertama-tama membentuk plug
yang kemudian terurai saat trofoblas melakukan migrasi di sepanjang sirkulasi
arterial maternal dan mengubah pembuluh darah uteroplaseta menjadi suatu
sirkuit dengan resistensi rendah. Defek pada invasi trofoblas ke dalam arteri
uteroplasenta terkait dengan komplikasi lanjut pada kehamilan, termasuk
preeklamsia dan retardasi pertumbuhan fetal. Antibodi antifosfolipid pada
permukaan trofoblas maupun pembuluh darah maternal dapat menghambat invasi
endovaskular trofoblas, sehingga pembentukan plug yang berperan menurunkan aliran darah intervilous dan
menghambat kerusakan oksidatif maupun kerusakan akibat tekanan pada trofoblas
pada awal perkembangan plasenta terganggu. Antibodi antifosfolipid juga dapat
merusak trofoblas secara langsung. Mekanisme manapun yang terjadi, abnormalitas
invasi endovaskuler trofoblas mejelaskan terjadinya kehilangan kehamilan awal
pada wanita dengan sindrom antifosfolipid, dan pada kasus yang lebih ringan,
menjelaskan terjadinya komplikasi lanjut kehamilan akibat insufisiensi vaskuler
uteroplasenta.
Terapi untuk sindrom antifosfolipid
meliputi pemberian agen antitrombosit (aspirin), antikoagulan (heparin), dan
terapi imunosupresif (prednison, imunoglobulin intravena). Kebanyakan
penelitian menyimpulkan bahwa terapi dengan heparin jauh lebih efektif
dibandingkan aspirin dan kombinasi terapi dengan aspirin dan heparin lebih baik
daripada dengan aspirin atau heparin saja, satu penelitian menunjukkan bahwa
heparin tidak meningkatkan efek terapi yang didapat dengan aspirin. Suatu
regimen terapi tipikal untuk sindrom antifosfolipid meliputi aspirin (75-80
mg/hari) yang dimulai pada saat pasangan berusaha mendapatkan konsepsi dan unfractionated heparin (5000-10000 UI
dua kali sehari, subkutan) yang dimulai saat tanda-tanda pertama terjadinya
kehamilan muncul. Tingkat kelahiran hidup pada wanita dengan sindrom
antifosfolipid yang menerima terapi kombinasi dengan aspirin dan heparin selama
kehamilan (70-80%) adalah jauh lebih tinggi dibandingkan pada wanita yang
menerima terapi aspirin saja atau tanpa terapi (20-40%). Namun, terapi tidak
menghilangkan risiko tinggi terjadinya komplikasi kehamilan (kelahiran
prematur, ketuban pecah dini, retardasi petumbuhan intrauteri, kematian fetal,
preeklamsia, dan ruptur plasenta), dan juga menimbulkan risiko efek samping
maternal (perdarahan lambung, osteopenia).
Low molecular weight heparin (LMWH) memiliki beberapa kelebihan dibandingkan unfractionated heparin. LMWH memiliki rasio antitrombotik yang
lebih tinggi (mencegah terjadinya pembekuan darah abnormal dengan efek samping
perdarahan yang lebih rendah) dan berkaitan dengan risiko perdarahan lambung
dan osteopenia yang lebih rendah; waktu paruh LMWH yang relatif lebih panjang
juga memungkinkan frekuensi pemberian dan monitoring yang lebih jarang,
keduanya meningkatkan kepatuhan pasien. Walaupun penggunaan LMWH dalam
kehamilan masih cukup terbatas, penelitian intervensional pada wanita dengan
kehilangan kehamilan berulang dan sindrom antifosfolipid atau trombofilia
didapat lainnya menunjukkan bahwa LMWH aman dan efektif. Prednison memiliki
suatu manfaat pada terapi untuk wanita dengan kehilangan kehamilan berulang dan
sindrom antifosfolipid, namun risiko efek sampingnya (diabetes, hipertensi,
kelahiran prematur) melebihi manfaatnya; terapi kombinasi dengan aspirin dan
heparin lebih efekif dan juga lebih aman daripada prednison. Imunoglobulin
intravena juga telah digunakan sebagai terapi pada wanita dengan kehilangan
kehamilan berulang dan sindrom antifosfolipid; efikasi imunoglobulin intravena
belum pernah dibandingkan secara langsung dengan heparin/aspirin atau dengan
LMWH/aspirin.
Walaupun peningkatan prevalensi
antibodi antiroid dan antibodi antinuklear ditemukan pada wanita dengan
kehilangan kehamilan berulang, relevansi keduanya tidak jelas karena baik
antibodi antitiroid maupun antibodi antinuklear tidak memprediksi luaran
kehamilan dan belum ada terapi efektif untuk keduanya. Pemeriksaan untuk
mendeteksi antibodi antitiroid dan antibodi antinuklear tidak memiliki kegunaan
klinis pada wanita eutiroid yang mengalami kehilangan kehamilan berulang.
Rangkuman
Fakta Kunci Terkait Faktor Autoimun
Penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik dan sindrom
antifosfolipid merupakan gangguan imunologis yang dapat diidentifikasi dan
diterapi serta berkaitan dengan terjadinya kehilangan kehamilan berulang.
Beberapa mekanisme dapat menjelaskan peran antibodi antifosfolipid sebagai
faktor predisposisi trombosis plasenta maupun gangguan sirkulasi uteroplasenta
normal, keduanya merupakan penyebab kehilangan kehamilan awal maupun lanjut.
Saat ini, pemeriksaan untuk mendeteksi antikoagulan lupus dan antibodi
antikardiolipin merupakan satu-satunya pemeriksaan imunologis yang memiliki
kegunaan klinis pada evaluasi wanita yang mengalami kehilangan kehamilan
berulang. Sebaliknya, pemeriksaan untuk antibodi antifosfolipid lain belum
memiliki kegunaan klinis bila dinilai terpisah dari antikoagulan lupus dan
antibodi antikardiolipin. Terapi kombinasi dengan aspirin dan heparin terbukti
efektif dan merupakan terapi pilihan untuk wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang akibat sindrom antifosfolipid.
Gangguan
Alloimun
Secara teoretis, kehamilan normal
memerlukan pengenalan dan respon imunologis maternal terhadap antigen paternal
pada jaringan embrionik, dan abnormalitas pada respon alloimun maternal
merupakan faktor predisposisi kehilangan kehamilan berulang. Beberapa hipotesis
yang diajukan adalah produksi antibodi sitotoksik maternal, kegagalan maternal
untuk memproduksi blocking antibodies yang
berperan mencegah immune attack yang
diperantarai sel maternal (mungkin karena ayah dan ibu secara antigenik terlalu
mirip), dan disregulasi sitokin dari mekanisme imun yang bekerja pada interface maternal-fetal.
Antibodi limfositotoksik antipaternal
juga diajukan sebagai salah satu penyebab kehilangan kehamilan berulang. Namun,
antibodi tersebut juga terdapat pada banyak wanita dengan kehamilan normal dan
lebih sering ditemui pada pasangan yang subur dibandingkan pada pasangan dengan
kehilangan kehamilan berulang. Pengamatan-pengamatan tersebut mengarah pada
kesimpulan bahwa antibodi limfositotoksik mencerminkan jumlah dan durasi
kehamilan dan tidak memiliki pengaruh pada luaran kehamilan berikutnya.
Berkebalikan dengan teori antibodi
sitotoksik, teori blocking antibodies maternal
beranggapan bahwa kegagalan maternal untuk mengenali dan merespon antibodi
fetal dengan produksi suatu blocking
factor (mungkin suatu antibodi) menyebabkan embrio diserang suatu mekanisme
penolakan diperantarai sel. Respon maternal yang buruk terhadap sel paternal
dalam kultur limfosit campuran merupakan bukti terdapatnya defisiensi imun pada
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang. Namun, blocking antibodies tidak selalu terdapat pada wanita dengan
kehamilan normal, lebih sering terdeteksi pada wanita dengan kehilangan
kehamilan berulang, dan keberadaannya tidak memprediksi luaran kehamilan
berikutnya secara akurat. Terdapatnya blocking
antibodies lebih merupakan cerminan hasil kehamilan sebelumnya dan bukan
faktor prediksi luaran kehamilan berikutnya.
Peningkatan proporsi HLA maternal dan
paternal yang sama dianggap sebagai salah satu faktor yang mengganggu
pengenalan antigen fetal yang berasal dari paternal oleh sistem imun maternal
dan mengganggu produksi blocking
antibodies. Hasil dari sejumlah penelitian yang dilaksanakan untuk
mengetahui proporsi HLA yang sama antara maternal dan paternal pada pasangan
dengan kehilangan kehamilan berulang sangat bervariasi. Bukti terkuat bahwa
peningkatan proporsi HLA maternal dan paternal yang sama merupakan faktor
predisposisi kehilangan kehamilan berulang berasal dari Hutteries, suatu sekte religius yang memberlakukan peraturan
perkawinan antarkeluarga yang sangat ketat di mana tingginya proporsi HLA
maternal dan paternal yang sama berkaitan dengan peningkatan risiko kehilangan
kehamilan berulang, namun pada populasi yang tidak memberlakukan perkawinan
antarkeluarga dengan risiko homogenitas HLA yang rendah, proporsi HLA paternal
dan maternal yang sama tidak memprediksi luaran kehamilan dan pemeriksaan HLA
tidak memiliki kegunaan klinis.
Pemikiran bahwa kehamilan yang
berhasil memerlukan beberapa tipe supresi imun maternal tetap merupakan
pemikiran yang menarik. Konsep baru yang muncul berdasarkan pemikiran di atas
adalah bahwa disregulasi fungsi imun lokal pada interface maternal-fetal menyebabkan terjadinya kehilangan
kehamilan berulang. Saat ini penelitian-penelitian difokuskan pada suatu
populasi unik dengan limfosit granuler besar terkait natural killer cells yang predominan pada desidua dan pada pola
sekresi sitokin oleh sel imun maternal sebagai respon terhadap antigen
trofoblas.
Limfosit granuler besar yang terdapat
pada desidua awal kehamilan tampaknya dikendalikan oleh perubahan hormonal dan
invasi trofoblas. Peningkatan jumlah natural
killer cells desidua tersebut terjadi pada tikus model kehilangan kehamilan
berulang, dan tingkat kejadian aborsi pada tikus tersebut meningkat saat natural killer cells diaktivasi dan
berkurang saat sel tersebut lenyap. Pada wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang, terjadi peningkatan aktivitas natural
killer cells desidua dan peningkatan jumlah natural killer cells perifer yang berkaitan dengan terjadinya
kegagalan kehamilan. Namun, apakah perubahan pada natural killer cells perifer mencerminkan perubahan yang terjadi di
desidua dan apakah perubahan pada desidua merupakan penyebab atau akibat
kehilangan kehamilan masih belum jelas.
Respon imun distimulasi antigen
melibatkan dua macam limfosit T-helper
yang mencerminkan kondisi lingkungan tempat limfosit tersebut matur dan
berdiferensiasi; limfosit T yang terpapar interferon (IFN)-γ menjadi sel
limfosit T-helper tipe 1, sedangkan
yang terpapar ineterleukin (IL)-4 menjadi sel limfosit T-helper tipe 2. Respon sel limfosit T-helper tipe 1 berkaitan dengan inflamasi dan secara karakteristik
ditandai dengan pelepasan IFN-γ dan IL-12, IL-2, dan TNF-α. Respon sel limfosit
T-helper tipe 2 berkaitan dengan
produksi antibodi dan sitokin IL-10, IL-4, IL-5, dan IL-6. TNF-α disekresi oleh
limfosit T-helper tipe 1 maupun tipe
2, namun lebih sering berkaitan dengan respon limfosit T-helper tipe 1. Sementara wanita dengan kehamilan normal memiliki
respon imun limfosit T-helper tipe 2
yang predominan terhadap antigen trofoblas yang belum dikenali, beberapa wanita
dengan kehilangan kehamilan berulang mencetuskan respon inflamatorik yang
diperantarai limfosit T-helper tipe 1
yang sangat mungkin memiliki efek negatif terhadap embrio yang baru saja
melakukan implantasi. Sekitar 15-20% wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang memiliki respon abnormal diperantarai limfosit T-helper tipe 1 terhadap antigen trofoblas in vitro, dibandingkan
dengan kurang dari 3% pada wanita dengan riwayat kehamilan normal. Namun,
apakah pola sekresi sitokin limfosit perifer mencerminkan kejadian sesungguhnya
pada interface maternal-fetal dan
apakah pola respon limfosit T-helper tipe
1 merupakan sebab atau akibat dari kehilangan kehamilan masih belum diketahui
dengan pasti.
Pemikiran bahwa respon imun seluler
maupun humoral maternal yang abnormal terhadap antigen trofoblas sebagai
penyebab kehilangan kehamilan berulang memicu pengembangan dua metode
imunoterapi yang sangat berbeda bagi wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang, yaitu imunostimulasi (imunisasi dengan lekosit paternal) dan
imunosupresi (imunoglobulin intravena).
Imunisasi lekosit paternal dilakukan
berdasarkan efek menguntungkan lekosit pihak ketiga terhadap penolakan alograft
pada pasien yang menerima transplantasi dan bukti yang menunjukkan bahwa hal
tersebut dapat menurunkan jumlah natural
killer cells pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang. Beberapa
penelitian kecil dengan dan tanpa randomisasi serta suatu metaanalisis
memberikan hasil dan kesimpulan yang bervariasi dan bertentangan. Secara
bersama, penelitian-penelitian dan metaanalisis tersebut menunjukkan bahwa
manfaat terapi yang kecil (peningkatan tingkat kelahiran hidup sebesar 8-10%)
harus benar-benar ditimbang terhadap biaya dan risiko terapi (reaksi pada
tempat injeksi, demam, mialgia, alloimunisasi trombosit dan eritrosit). Penelitian
multisenter berskala besar terkontrol dengan randomisasi menunjukkan mengenai
tidak adanya bukti bahwa imunisasi lekosit paternal efektif sebagai terapi
kehilangan kehamilan berulang, tanpa memandang usia maternal, jumlah kehilangan
kehamilan sebelumnya, dan apakah pasangan tersebut pernah mendapatkan kelahiran
hidup sebelumnya, dan kemudian menyimpulkan bahwa imunisasi lekosit paternal
tidak perlu diberikan sebagai terapi kehilangan kehamilan rekuren. Metaanalisis
yang paling baru dan paling komprehensif mengenai penelitian terapi juga
menarik kesimpulan yang sama.
Imunoglobulin intravena disiapkan
dengan mengisolasi dan mengumpulkan protein imunolobulin dari serum sejumlah
besar darah donasi sukarelawan (sampai 150 donor per vial) dan secara umum
dapat dianggap sebagai terapi imunosupresi yang bekerja melalui beberapa
mekanisme yang berbeda. Terapi imunoglobulin intravena sangat mahal,
membutuhkan beberapa kali infus imunoglobulin intravena selama kehamilan, serta
menimbulkan risiko transmisi penyakit (virus, prion) dan anafilaksis. Terdapat
beberapa penelitian dengan randomisasi mengenai terapi imunoglobulin intravena
pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang, dan semua tidak dapat
menunjukkan bahwa terapi dengan imunoglobulin intravena efektif untuk
memperbaiki luaran kehamilan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang.
Rangkuman
Fakta Kunci Terkait Faktor Alloimun
Tidak diragukan lagi bahwa pengenalan dan respon imun maternal memiliki
peran penting pada kehamilan normal dan gangguan alloimun mungkin merupakan
penyebab terjadinya kehilangan kehamilan berulang. Disregulasi sitokin dari
mekanisme imun yang bekerja pada interface
maternal-fetal merupakan mekanisme patofisiologis utama yang terlibat.
Namun, semua metode pemeriksaan untuk evaluasi alloimunopatologi yang terdapat
pada saat ini, termasuk pemeriksaan HLA, pemeriksaan sel imun (kultur limfosit
campuran, pemeriksaan natural killer
cells) dan pemeriksaan sitokin (untuk membedakan antara pola respon
terhadap antigen trofoblas in vitro yang ditimbulkan oleh limfosit T-helper tipe 1 dan limfosit T-helper tipe 2) masih berada dalam
tahap penelitian. Dua metode imunoterapi yang diajukan sebagai modalitas terapi
bagi wanita dengan kehilangan kehamilan berulang yang mungkin disebabkan
gangguan alloimun (imunisasi lekosit paternal, imunoglobulin intravena) juga
tidak terbukti efektif.
Trombofilia Diwariskan
Perhatian pada trombofilia diwariskan
sebagai salah satu penyebab potensial kehilangan kehamilan berulang muncul
setalah sindrom antifosfolipid (suatu trombofilia didapat) dipastikan sebagai
penyebab kehilangan kehamilan berulang yang penting dan dapat diterapi. Konsep
patofisiologi kedua trombofilia tersebut sama: pada beberapa wanita dengan
kehilangan kehamilan berulang, perubahan trombogenik akibat kehamilan semakin
meningkatkan kemungkinan terjadinya trombosis yang secara inheren memang telah
meningkat, sehingga terjadi penurunan aliran darah uteroplasenta, trombosis
plasenta, dan kehilangan kehamilan. Hasil dari penelitian-penelitian terbaru
mendukung hipotesis tersebut, namun masih terdapat beberapa pertanyaan yang
belum terjawab. Walaupun terdapat suatu argumen bahwa kehamilan adalah suatu kondisi
trombogenik, kepentingan trombofilia diwariskan sebagai penyebab kehilangan
kehamilan berulang, indikasi untuk evaluasi, serta manfaat dan risiko dari
terapi belum diketahui dengan pasti.
Secara sederhana, trombosis patologis
terjadi akibat ketidakseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis, yang
mencerminkan ketidakseimbangan antara faktor koagulasi, protein antikoagulan
(protein C, protein S, antitrombin III), dan mekanisme fibrinolitik. Kehamilan
normal merupakan suatu kondisi hiperkoagulasi yang ditandai dengan peningkatan
kadar faktor V, VII, VIII, X, dan fibrinogen, penurunan kadar protein S,
peningkatan resistensi terhadap protein C teraktivasi, peningkatan kadar plasminogen activator inhibitor (PAI),
dan peningkatan agregasi trombosit, yang semuanya meningkatkan kemungkinan
terjadinya trombosis.
Faktor
Koagulasi:
Faktor yang memicu koagulasi jika
kadarnya meningkat
Fibrinogen
Faktor VII, VIII, X
Faktor yang memicu koagulasi jika
kadarnya turun
Antitrombin III
Protein C
Protein S
Faktor
Fibrinolitik:
Faktor
yang memicu koagulasi jika kadarnya meningkat
Plasminogen
Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)
Faktor
yang memicu koagulasi jika kadarnya turun
Antiplasmin
Beberapa mutasi genetik merupakan
predisposisi diwariskan terhadap trombosis. Mutasi faktor V Leiden (G à A pada nekleotid 1691) dan mutasi lain yang melibatkan gen protrombin (G à A pada nukleotid 20210) adalah mutasi yang paling sering terjadi. Mutasi
ketiga yang juga sering ditemukan melibatkan gen yang mengkode enzim metilen
tetrahidrofolat reduktase (C à T pada nukleotid 677); homozigot rentan terhadap
hiperhomosistinemia, suatu faktor risiko untuk trombosis. Trombofilia
diwariskan lain yang telah banyak diketahui adalah defisiensi antitrombin III,
protein S, dan protein C. Defisiensi faktor XII (yang terlibat dalam koagulasi
maupun fibrinolisis) merupakan suatu abnormalitas yang akhir-akhir ini mulai
dipertimbangkan sebagai faktor predisposisi terhadap trombosis dan kehilangan
kehamilan.
Protein C merupakan komponen utama
dalam jalur antikoagulasi dan, jika teraktivasi, menghambat aksi faktor V dan
VIII; protein S berperan sebagai kofaktor yang memfasilitasi aksi protein C.
Resistensi terhadap komponen antikoagulan protein C dapat diwariskan maupun
didapat, serta menyebabkan terjadinya produksi trombin meningkat dan
menimbulkan kondisi hiperkoagulasi. Sekitar 95% resistensi terhadap protein C
teraktivasi berkaitan dengan mutasi faktor V Leiden, yang menghasilkan faktor V
yang resisten terhadap aksi protein C teraktivasi. Prevalensi mutasi faktor V
Leiden bervariasi antara 2 sampai 10% pada populasi Barat. Risiko trombosis
sitemik meningkat 5 kali lipat pada heterozigot dan 80 kali lipat pada
homozigot. Pada beberapa individu, resistensi terhadap protein C teraktivasi
merupakan kelainan dapatan, bukan kelainan yang diwariskan.
Semua faktor risiko untuk trombosis
meningkatkan risiko komplikasi kehamilan yang berhubungan dengan trombosis,
termasuk kehilangan kehamilan spontan, preeklamsi, ruptur plasenta, retardasi
pertumbuhan intrauteri, dan kelahiran mati. Hubungan antara trombofilia dan
kehilangan kehamilan bervariasi, tergantung pada tipe kehilangan kehamilan (awal,
lanjut) dan tipe trombofilia. Suatu metaanalisis yang melibatkan data dari 31
penelitian menemukan bahwa walaupun trombofilia berkaitan dengan kehilangan
kehamilan awal maupun lanjut, hubungan tersebut lebih kuat untuk kehilangan
kehamilan yang terjadi pada trimester kedua atau ketiga dibandingkan kehilangan
kehamilan awal. Hasil pengamatan tersebut tidak mengejutkan jika diingat bahwa
aliran darah intervilous maternal belum berkembang secara signifikan sampai
minggu kedelapan kehamilan (seawal-awalnya); oleh karena itu, trombosis yang
disebabkan trombofilia kemungkinan besar bukan penyebab kehilangan kehamilan
awal. Hubungan antara trombosis dan kehilangan kehamilan juga lebih kuat untuk
faktor V Leidenm mutasi gen protrombin, dan defisiensi protein S daripada defek
trombofilik lainnya.
Banyak penelitian telah membandingkan
prevalensi berbagai trombofilia pada wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang dan trombofilia pada kontrol yang pernah melahirkan hidup, dengan
hasil yang saling bertentangan. Beberapa penelitian menemukan peningkatan
prevalensi trombofilia pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang, namun
penelitian-penelitian lain tidak menemukan hasil serupa. Suatu penelitian pada
1000 wanita Kaukasia dengan kehilangan kehamilan berulang menemukan bahwa
prevalensi mutasi faktor V Leiden pada wanita dengan kehilangan kehamilan awal
(3,3%) dan kehilangan kehamilan lanjut (3,9%) hampir sama dengan prevalensi
pada kontrol normal (4%), namun tingkat prevalensi resistensi terhadap protein
C teraktivasi didapat lebih tinggi secara signifikan pada wanita dengan
kehamilan awal (8,8%) maupun lanjut (8,7%) dibandingkan kontrol normal (3,3%).
Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa trombofilia didapat mungkin sama
penting atau bahkan lebih penting daripada defek diwariskan sebagai penyebab
kehilangan kehamilan berulang. Suatu penelitian lain mengambil pendekatan yang
berlawanan dengan memeriksa riwayat reproduksi wanita yang mengalami
trombofilia, dan secara umum menemukan hubungan yang cukup kuat antara defek
trombofilik maternal dengan luaran akhir kehamilan yang buruk. Suatu penelitian
prospektif menemukan bahwa tingkat kelahiran hidup pada wanita dengan riwayat
kehilangan kehamilan berulang atau kehilangan kehamilan lanjut dan heterozigot
untuk alel faktor V Leiden (38%) jauh lebih rendah daripada wanita dengan
riwayat reproduksi serupa namun dengan genotipe faktor V normal (69%). Walaupun
kehilangan kehamilan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang dan
faktor V Leiden terjadi pada kehamilan awal maupun lanjut, semua kehilangan
kehamilan pada wanita tanpa trombofilia terjadi di atas usia kehamilan 12
minggu. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa trombofilia merupakan
predisposisi terhadap kehilangan kehamilan awal maupun akhir. Namun, bukti-bukti
yang sama juga menunjukkan bahwa beberapa wanita dengan trombofilia memiliki
performa reproduksi yang sepenuhnya normal. Sampai saat ini, belum dapat
disimpulkan dengan pasti kelompok mana dari wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang dan trombofilia yang benar-benar berisiko tinggi mengalami kehilangan
kehamilan lagi.
Risiko trombosis sistemik meningkat
bila terdapat lebih dari satu trombofilia diwariskan, dan bukti menunjukkan
bahwa risiko terjadinya luaran kehamilan yang buruk juga meningkat bila
terdapat trombofilia maternal. Genotipe embrio atau fetus mungkin juga berperan
penting dalam meningkatkan risiko kehilangan kehamilan pada wanita dengan
trombofilia; infark plasenta juga lebih sering terjadi jika fetus juga memiliki
alel faktor V Leiden daripada jika fetus memiliki genotipe faktor V normal.
Indikasi untuk pemeriksaan penyaring
pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang untuk berbagai trombofilia
yang telah dikenal belum sepenuhnya jelas. Saat ini, pemeriksaan penyaring
paling masuk akal untuk dilakukan pada wanita dengan kehilangan kehamilan yang
mencurigakan (setelah usia kehamilan 8 minggu atau dengan deteksi aktivitas
jantung fetal) atau dengan riwayat komplikasi kehamilan lain yang disebabkan
oleh trombosis atau insufisiensi plasenta (preeklamsia, retardasi pertumbuhan
intrauteri, ruptur plasenta). Selain antikoagulan lupus dan antikardiolipin
untuk diagnosis sindrom antifosfolipid (suatu trombofilia didapat), pemeriksaan
penyaring meliputi pemeriksaan untuk faktor V Leiden dan mutasi gen protrombin
G20210A. Faktor V Leiden dan mutasi gen protrombin G20210A merupakan penyebab
tromboembolisme vena dan trombofilia diwariskan yang berhubungan kuat dengan
luaran kehamilan yang buruk, namun ras juga harus dipertimbangkan. Prevalensi kedua
abnormalitas tersebut cukup tinggi pada ras Eropa, namun sangat rendah pada ras
Asia, Afrika, dan Amerika asli. Pengukuran resistensi protein C teraktivasi
merupakan pemeriksaan umum untuk deteksi bentuk resistensi protein C
teraktivasi yang diwariskan maupun didapat. Pemeriksaan penyaring untuk mutasi
metilen tetrahidrofolat reduktase (homosistein serum) dan defisiensi
antitrombin III, protein S, dan protein C juga patut dipertimbangkan
berdasarkan riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga.
Indikasi untuk terapi pada wanita
dengan kehilangan kehamilan berulang yang terkait trombofilia belum ditentukan
dengan tegas. Pada suatu penelitian terapi tanpa kontrol, peningkatan tingkat
kelahiran hidup terjadi pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang dan
satu atau lebih defek trombofilik setelah pemberian terapi heparin, dengan atau
tanpa aspirin. Walaupun tidak semua wanita dengan kondisi tersebut memerlukan
terapi, kriteria untuk memberikan trombofilaksis tetap harus berasal dati
penelitian terkontrol dengan randomisasi, yang sekarang sedang berjalan. Terapi
empirik rutin dengan aspirin pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang
yang belum mendapatkan terapi sebelumnya tidak terbukti bermanfaat.
Rangkuman
Faktor Kunci Terkait Trombofilia Diwariskan
Trombofilia
diwariskan yang disebabkan oelh mutasi genetik pada faktor koagulasi merupakan
penyebab potensial kehilangan kehamilan berulang, namun banyak wanita dengan
mutasi tersebut memiliki performa kehamilan yang sepenuhnya normal. Mengapa
beberapa wanita dengan trombofilia mengalami kehilangan kehamilan sementara
wanita lain dengan kelainan serupa tidak belum sepenuhnya diketahui; wanita
dengan satu atau lebih tipe mutasi atau dengan fetus yang memiliki kelainan
yang sama mungkin berisiko lebih tinggi untuk mengalami kehilangan kehamilan.
Sampai saat ini, pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang mana
pemeriksaan penyaring harus dilakukan dan apakah mereka harus diperiksa secara
menyeluruh tetap merupakan pertanyaan yang belum terjawab. Pemeriksaan
penyaring terpilih cukup rasional untuk dilakukan untuk mendeteksi abnormalitas
yang paling sering ditemukan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang
yang mencurigakan (karena terjadi setelah usia kehamilan 8 minggu atau dengan
deteksi aktivitas jantung fetus), namun pemeriksaan penyaring rutin untuk semua
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang tidak dapat dibenarkan. Walaupun
data awal menunjukkan bahwa terapi kombinasi dengan heparin dan aspirin dapat
meningkatkan luaran kehamilan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang
yang memiliki suatu trombofilia, terapi aspirin empirik pada wanita yang belum
menjalani pemeriksaan untuk trombofilia tidak terbukti bermanfaat.
Faktor Endokrin
Faktor endokrin yang merupakan predisposisi
terhadap peningkatan risiko kehilangan kehamilan meliputi penyakit tiroid,
diabetes melitus, sindrom ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome, POCS), dan defisiensi fase luteal.
Risiko kehilangan kehamilan dapat
meningkat pada wanita dengan hipotiroidisme nyata atau subklinis yang tidak
ditangani. Penyakit yang ringan atau subklinis biasanya dianggap tidak memiliki
konsekuensi klinis penting. Namun, hasil suatu penelitian mengenai luaran
kehamilan pada wanita dengan hipotiroidisme mempertanyakan anggapan di atas.
Insidensi kehilangan kehamilan sangat rendah pada wanita hipotiroid yang
mendapatkan terapi dan memiliki indeks fungsi tiroid normal, namun sangat
meningkat pada wanita dengan peningkatan kadar TSH, termasuk wanita dengan
penyakit subklinis yang tidak mendapatkan terapi maupun pada wanita dengan
penyakit nyata yang mendapatkan terapi pengganti hormon tiroid secara tidak
adekuat. Pengamatan tersebut menunjukkan bahwa hipotiroidisme subklinis mungkin
bukan suatu kelainan yang tidak berbahaya dan dengan demikian direkomendasikan
pemeriksaan penyaring untuk mendeteksi kadar TSH pada wanita dengan kehilangan
kehamilan berulang. Rekomendasi tersebut pada awalnya diberikan
berdasarkan biaya pemeriksaan yang murah dan tingginya prevalensi penyakit
tiroid pada wanita usia reproduktif, namun diagnosis dan terapi penyakit tiroid
yang subklinis sekalipun dapat memiliki implikasi prognostik penting pada
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang.
Wanita diabetik dengan kontrol
metabolik yang baik tidak lebih berisiko mengalami kehilangan kehamilan
dibandingkan dengan wanita normal, namun wanita diabetik dengan peningkatan
kadar gula darah dan hemoglobin terglikosilasi (A1C) pada trimester pertama
secara signifikan berisiko lebih tinggi untuk mengalami kehilangan kehamilan
spontan. Pada wanita dengan kontrol diabetik yang buruk, risiko kehilangan
kehamilan meningkat sesuai peningkatan kadar hemoglobin A1C. Pada
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang, pemeriksaan kadar glukosa darah
dan hemoglobin A1C hanya diindikasikan pada mereka yang diketahui atau
dicurigai mengalami diabetes melitus. Wanita diabetik dengan kehilangan
kehamilan berulang dan peningkatan kadar hemoglobin A1C disarankan untuk
menunda kehamilan sampai kadar hemoglobin A1C kembali ke rentang normal.
Beberapa penelitian menunjukkan suatu
korelasi antara peningkatan kadar hormon LH dengan kehilangan kehamilan
berulang. Dahulu, korelasi tersebut dianggap disebabkan oleh efek negatif LH
atau karena hiperandrogenisme yang dipicu LH pada wanita dengan PCOS. Namun,
supresi sekresi LH dengan agonis GnRH sebelum induksi ovulasi dengan
gonadotropin eksogen dosis rendah tidak memberikan manfaat pada luaran
kehamilan pada wanita dengan PCOS. Hiperinsulinemia dan tingkat aktivitas PAI
yang tinggi juga dianggap sebagai penyebab potensial meningkatnya insidensi
kehilangan kehamilan (30-50%) pada wanita dengan PCOS. Metformin merupakan
suatu agen peningkat sensitivitas terhadap insulin dengan kegunaan klinis yang
telah terbukti untuk induksi ovulasi pada wanita anovulatoir dengan PCOS dan
juga terbukti menurunkan tingkat aktivitas PAI. Terapi dengan metformin sebelum
konsepsi dan selama kehamilan telah diteliti sebagai salah satu cara untuk
menurunkan risiko kehilangan kehamilan pada wanita dengan PCOS.
Hasil dua penelitian retrospektif
menunjukkan bahwa terapi dengan metformin dapat menurunkan atau bahkan
menghilangkan risiko kehilangan kehamilan pada wanita dengan PCOS. Pada salah
satu penelitian di atas, prevalensi kehilangan kehamilan pada wanita dengan
PCOS yang mendapatkan metformin sebelum dan selama kehamilan jauh lebih rendah
(26%) dibandingkan kehamilan sebelumnya pada populasi wanita yang sama (62%);
kadar insulin dan aktivitas PAI juga berkurang. Pada penelitian kedua, tingkat
kehilangan kehamilan keseluruhan pada wanita dengan PCOS yang mendapatkan
terapi metformin (9%, 6/68) secara signifikan lebih rendah daripada yang tidak
mendapatkan terapi (42%, 13/31); perbedaan tersebut jauh lebih mencolok pada
wanita dengan riwayat kehilangan kehamilan berulang yang mendapatkan metformin
(11%, 4/36) daripada yang tidak (58%, 7/12). Sebagai tambahan, kadar insulin
pada tes toleransi glukosa oral yang diperiksa sebelum dan selama kehamilan
pada kedua kelompok konsisten dengan perbaikan sensitivitas terhadap insulin
pada wanita yang mendapatkan terapi. Kedua penelitian tersebut mendukung
hipotesis bahwa penurunan resistensi insulin hiperinsulinemik dan aktivitas PAI
dengan metformin pada wanita dengan PCOS menurunkan risiko terjadinya
kehilangan kehamilan.
Mempertimbangkan peningkatan risiko kehilangan
kehamilan terkait dengan kelainan di atas, metformin merupakan terapi awal yang
paling baik untuk induksi ovulasi pada wanita dengan PCOS yang mengalami
hiperinsulinemia, bagaimanapun riwayat kehamilan sebelumnya, namun terutama
pada wanita dengan riwayat kehilangan kehamilan berulang. Klomifen sitrat dapat ditambahkan ke dalam regimen
terapi jika metformin saja gagal mengembalikan fungsi ovulasi normal. Terapi
dapat dihentikan setelah konsepsi terjadi atau setelah trimester pertama
berakhir, atau tetap dilanjutkan selama kehamilan berlangsung dengan harapan
dapat mencegah terjadinya diabetes melitus gestasional. Metformin dikategorikan
sebagai obat kategori B (tidak ada efek teratogenik yang ditemukan pada penelitian
dengan hewan) dan penggunaanya pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa
metformin tidak menimbulkan efek teratogenik maupun efek samping berat lain.
Berbagai penyebab buruknya fungsi
luteal dan metode untuk menegakkan diagnosis klinis defisiensi fase luteal
dipaparkan secara panjang lebar dalam konteks infertilitas pada wanita dalam
bab 27. Pembahasan di sini dibatasi pada patofisiologi, diagnosis, dan terapi
defisiensi fase luteal pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa
keberhasilan kehamilan awal sangat tergantung pada dukungan progestasional dari
korpus luteum sampai sekitar usia kehamilan 7 minggu (sejak hari pertama
menstruasi terakhir). Pengukuran serial 17-hidroksiprogesteron (yang dihasilkan
oleh korpus luteum, namun tidak dihasilkan oleh trofoblas), progesteron,
estradiol, dan hCG selama awal kehamilan spontan dan kehamilan yang diperoleh
dengan fertilisasi in vitro (IVF) menggunakan oosit donor pada wanita dengan
kegagalan ovarium menunjukkan bahwa pengalihan peran luteal-plasenta tidak
terjadi secara mendadak namun terjadi secara bertahap dari minggu kelima sampai
minggu kesembilan kehamilan. Penelitian mengenai luaran kehamilan pada wanita
yang ingin mengakhiri kehamilannya dengan menjalani luteektomi bedah pada
berbagai waktu selama kehamilan awal dengan jelasi menunjukkan bahwa kehamilan
tidak lagi tergantung pada korpus luteum pada usia kehamilan 7 minggu;
luteektomi yang dilakukan pada usia kehamilan kurang dari 7 minggu selalu
menyebabkan kehilangan kehamilan spontan.
Konsentrasi progesteron baik pada
kehamilan awal normal maupun abnormal menunjukkan kontribusi korpus luteum dan
trofoblas yang sedang berkembang. Pengukuran kadar progesteron serum untuk
menentukan fungsi luteal pada awal kehamilan dan untuk mengidentifikasi
kehamilan berisiko yang mungkin dapat diselamatkan dengan pemberian terapi
progesteron eksogen tidak bermanfaat. Konsentrasi progesteron yang
rendah pada awal kehamilan mencerminkan terdapatnya defek korpus luteum, embrio
yang abnormal, atau keduanya. Pendekatan altenatif berupa diagnosis pada siklus
nonkonsepsi dan terapi untuk mengkoreksi defisiensi fase luteal sebelum
konsepsi berikutnya terjadi juga dapat dilakukan namun metode diagnostik yang
digunakan memiliki sangat banyak keterbatasan dan kelemahan. Konsentrasi
progesteron serum berfluktuasi sangat lebar dan tidak dapat dinilai dengan
pasti karena sekresi progesteron serum bersifat pulsatil. Biopsi endometrium
merupakan metode diagnostik yang invasif, menyakitkan, dan sangat mahal. Maka,
durasi fase luteal yang secara abnormal sangat pendek (kurang dari 13 hari),
paling baik ditentukan dari interval surge
LH midsiklus sampai onset menstruasi, merupakan kriteria diagnostik yang
paling objektif dan paling terpercaya. Jika kriteria tersebut terpenuhi,
pengukuran prolaktin serum diindikasikan untuk menyingkirkan hiperprolaktinemia
dan untuk menentukan pilihan terapi terbaik. Perkiraan prevalensi defisiensi
fase luteal pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang sangat bervariasi,
tergantung pada metode diagnosis yang digunakan; prevalensi sebenarnya dan
kepentingannya sebagai penyebab kehilangan kehamilan berulang tidak diketahui,
namun kemungkinan cukup rendah (kurang dari 10%).
Kami memandang defisiensi fase luteal
merupakan disfungsi ovulasi ringan yang dapat ditangani dengan terapi yang
digunakan untuk menginduksi ovulasi pada wanita infertil yang anovulatoir (bab
31). Dengan mengingat bahwa wanita dengan defisiensi fase luteal telah
mengalami ovulasi, walaupun berkualitas rendah, mereka biasanya tidak
memerlukan terapi yang agresif. Pengukuran TSH dan prolaktin perlu dilakukan,
dan klomifen sitrat adalah pilihan terapi yang rasional untuk wanita eutiroid
euprolaktinemik. Terdapat banyak bukti eksperimental dan klinis yang
menunjukkan bahwa kadar FSH fase folikuler rendah pada siklus dengan fase
luteal pendek dan klomifen sitrat dapat mengkoreksi abnormalitas tersebut
dengan efektif. Beberapa ahli memilih menangani defisiensi fase luteal dengan
suplementasi progesteron eksogen yang mulai diberikan 2 sampai 3 hari setelah
ovulasi, namun pendekatan tersebut sering menunda menstruasi dan menimbulkan
harapan yang salah akan terjadinya kehamilan, meningkatkan stres, dan memicu
kekecewaan.
Rangkuman
Fakta Kunci Terkait Faktor Endokrin
Faktor
endokrin merupakan penyebab kehilangan kehamilan berulang yang jarang. Gangguan
tiroid dapat diidentifikasi dan ditangani dengan mudah sehingga harus
disingkirkan dengan pemeriksaan TSH; abnormalitas yang ringan sekalipun dapat
memiliki efek negatif pada luaran kehamilan. Pemeriksaan kadar glukosa dan
hemoglobin A1C diindikasikan pada wanita yang diketahui atau dicurigai
menderita diabetes melitus, namun tidak diperlukan pada wanita nondiabetik.
Risiko kehilangan kehamilan meningkat pada wanita dengan PCOS dan dapat
diturunkan dengan terapi menggunakan metformin; untuk wanita dengan PCOS dan
hiperinsulinemia yang memerlukan induksi ovulasi, metformin merupakan pilihan
terapi awal terbaik. Defisiensi fase luteal tidak dapat didiagnosis selama kehamilan;
durasi fase luteal yang secara konsisten sangat pendek merupakan kriteria
diagnostik paling terpercaya. Klomifen sitrat merupakan pilihan terapi yang
efektif untuk defisiensi fase luteal dan tidak menimbulkan kebingungan,
kecemasan, dan kekecewaan akibat tertundanya menstruasi yang sering terjadi
pada pemberian terapi progesteron eksogen.
Infeksi sebagai Penyebab
Secara keseluruhan, hanya terdapat
sedikit data mengenai kemungkinan infeksi servikovaginal sebagai penyebab
kehilangan kehamilan awal. Selain beberapa laporan periodik mengenai infeksi
spesifik tertentu sebagai faktor risiko untuk kehilangan kehamilan, tidak
terdapat bukti yang meyakinkan bahwa infeksi bakterial atau viral merupakan
penyebab kehilangan kehamilan berulang. Infeksi Chlamydia trachomatis disimpulkan sebagai penyebab kehilangan
kehamilan pada suatu penelitian yang menemukan prevalensi antibodi antiklamidia
yang sangat tinggi pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang, mungkin
mencerminkan reaksi imunologis maternal yang berlebihan terhadap organisme
tersebut; namun, penelitian prospektif yang dilakukan setelah itu tidak
menemukan hubungan antara antibodi antiklamidia dan kehilangan kehamilan
spontan. Penelitian-penelitian lain melaporkan hubungan antara kehilangan kehamilan
spontan dengan infeksi Ureaplasma (U.
urealyticum) dan Mikoplasma (M.
hominis) di daerah genital. Toxoplasma
gondii, Listeria monocytogenes, spesies Campylobacter,
virus herpes, dan sitomegalovirus mungkin juga berperan dalam kehilangan
kehamilan berulang.
Terdapat hubungan antara risiko
kehilangan kehamilan dan vaginosis bakterial. Pada suatu penelitian berskala
besar ditemukan bahwa diagnosis vaginosis bakterial pada kunjungan prenatal
pertama sebelum usia kehamilan 14 minggu berhubungan dengan peningkatan risiko
kehilangan kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu sebesar 5 kali lipat.
Penelitian lain yang melibatkan wanita yang berusaha mendapatkan kehamilan
dengan IVF menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat konsepsi antara wanita
dengan dan tanpa vaginosis bakterial, namun wanita dengan vaginosis bakterial
yang berhasil mendapatkan konsepsi memiliki risiko kehilangan kehamilan spontan
2 kali lipat dibandingkan wanita tanpa vaginosis bakterial yang berhasil
mendapatkan konsepsi. Penelitian ketiga yang juga berskala besar menemukan
bahwa vaginosis bakterial bukan faktor prediktif untuk kehilangan kehamilan
awal namun berhubungan dengan peningkatan risiko moderat kehilangan kehamilan
setelah usia kehamilan 13 minggu. Bukti lain menunjukkan bahwa endometritis
kronis subklinis sering ditemukan pada wanita dengan infeksi genital bagian
bawah simtomatik, termasuk servisitis dan vaginosis bakterial, yang mungkin
merupakan penjelasan mengenai hubungan antara vaginosis bakterial dan
kehilangan kehamilan.
Data yang tersedia belum memungkinkan
menentukan indikasi pasti pemeriksaan serologis untuk mendeteksi paparan
Chlamydia, kultur serviks, maupun biopsi endometrium untuk evaluasi wanita
dengan kehilangan kehamilan berulang. Namun, seperti pada wanita infertil,
evaluasi dan terapi perlu dilakukan pada wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang yang mengalami servisitis klinis, vaginosis bakterial kronis atau
rekuren, atau gejala-gejala lain yang mengarah ke infeksi pelvis.
Penelitian-penelitian tanpa kontrol menunjukkan bahwa terapi antibiotika
empirik dapat menurunkan risiko kehilangan kehamilan pada wanita dengan infeksi
mikoplasma genital dan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang lain
tanpa tanda infeksi yang jelas. Mempertimbangkan biaya yang rendah dan risiko
efek samping yang tidak bermakna, pemberian terapi antibiotika empirik selama 2
minggu (azithromycin, erythromycin, atau doksisiklin) lebih rasional daripada
melakukan kultur berulang.
Rangkuman
Faktor Kunci Terkait Infeksi sebagai Penyebab
Pemeriksaan
serologis, kultur serviks, dan biopsi endometrium rutin untuk mendeteksi
infeksi genital pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang tidak dapat
dibenarkan. Evaluasi harus dibatasi untuk wanita dengan servisitis klinis,
vaginosis bakterial kronis atau rekuren, atau dengan gejala-gejala yang
mengarah ke infeksi pelvis. Terapi antibiotika empirik pada wanita yang
dicurigai mengalami infeksi mikoplasma genital jauh lebih murah dan lebih
sederhana dibandingkan kultur serial.
Faktor Lingkungan
Merokok, alkohol, dan konsumsi kopi
berlebihan merupakan faktor lingkungan yang mungkin merupakan predisposisi
untuk kehilangan kehamilan berulang.
Beberapa penelitian dilaksanakan untuk
menilai hubungan antara merokok dan risiko kehilangan kehamilan awal.
Penelitian-penelitian tersebut mendukung kesimpulan bahwa merokok meningkatkan
risiko kehilangan kehamilan spontan dengan pola tergantung dosis, efek negatif
merokok terlihat jelas pada perokok yang menghabiskan setidaknya 10 batang
rokok sehari. Mekanisme yang berperan belum diketahui pasti, namun
vasokonstriksi dan aksi antimetabolik yang ditimbulkan beberapa komponen asap
rokok, termasuk nikotin, karbondioksida, dan sianida, mungkin merupakan
predisposisi terjadinya insufisiensi plasenta.
Alkohol merupakan suatu teratogen yang
tergantung dosis. Konsumsi alkohol lebih dari 2 gelas per hari meningkatkan
risiko kehilangan kehamilan spontan dua kali lipat. Walaupun konsumsi alkohol
dalam jumlah kecil tidak memiliki efek yang bermakna pada risiko kehilangan
kehamilan, ambang konsumsi alkohol yang aman untuk kehamilan belum diketahui
pasti. Efek negatif alkohol bersifat aditif dengan efek negatif merokok.
Sebagian besar, namun tidak semua,
penelitian mengenai hubungan antara konsumsi kafein maternal dan risiko
kehilangan kehamilan menemukan bahwa konsumsi kafein dalam jumlah besar (lebih
dari 300 mg/hari, setara dengan sekitar 3 cangkir kopi) berhubungan dengan
peningkatan moderat (kurang dari 2 kali lipat) risiko kehilangan kehamilan
spontan.
Pasangan yang mengalami kehilangan
kehamilan spontan kadang ingin tahu apakah toksin yang terdapat di lingkungan
memiliki peran dalam kesulitan reproduksi yang mereka alami. Pertanyaan mereka
sulit untuk dijawab karena belum ada informasi mengenai efek toksin potensial terhadap
kehamilan. Gas anestesi, perkloretilen (pelarut dry-cleaning) dan pelarut organik lain, dan paparan logam berat
(merkuri, timbal) dinilai sebagai salah satu penyebab kehilangan kehamilan
spontan. Paparan terminal video bukan suatu faktor risiko. Program latihan
fisik tidak meningkatkan risiko kehilangan kehamilan, dan tirah baring tidak
menurunkan risiko kehilangan kehamilan berulang. Isotretinoin (Accutane)
berhubungan nyata dengan peningkatan insidensi kehilangan kehamilan.
Peningkatan risiko kehilangan kehamilan terjadi pada tukang cat dan buruh
pabrik, namun tidak terjadi pada asisten dokter gigi, pegawai laboratorium,
atau tukang kebun. Penggunaan selimut elektrik dan tempat tidur air dengan
pemanas juga tidak berhubungan dengan peningkatan risiko kehilangan kehamilan
spontan.
Rangkuman
Fakta Kunci Terkait Faktor Lingkungan
Merokok
meningkatkan risiko kehilangan kehamilan dan harus dihindari. Konsumsi alkohol
lebih dari 2 gelas per hari dan konsumsi kafein lebih dari 300 mg per hari
dapat meningkatkan risiko kehilangan kehamilan dan oleh karena itu sebaiknya
dihindari.
Kehilangan Kehamilan Spontan Tak Terjelaskan
Bahkan setelah evaluasi yang
sistematik dan menyeluruh, lebih dari separuh wanita dengan kehilangan
kehamilan berulang tidak memiliki faktor predisposisi yang mungkin dapat
menjelaskan riwayat reproduksi mereka yang buruk, dan hal yang sama juga
terjadi pada kehamilan berikutnya. Wanita dengan riwayat kehilangan kehamilan
pada trimester kedua memiliki prognosis yang lebih buruk dan berisiko lebih
tinggi untuk mengalami kelahiran prematur, kelahiran mati, dan kematian
neonatal. Komunikasi yang sering, optimisme yang berhati-hati, dan dukungan
emosional selama trimester pertama kehamilan berikutnya memiliki nilai
terapeutik tersendiri. Dengan usaha yang berdedikasi, 70-75% dari wanita dengan
kehilangan kehamilan berulang yang tak terjelaskan akhirnya mendapatkan
kehamilan yang berhasil. Monitoring yang cermat diperlukan karena wanita dengan
kehilangan kehamilan berulang juga berisiko lebih tinggi untuk mengalami
kehamilan ektopik.
Banyak dokter yang menawarkan atau
merekomendasikan suplementasi progesteron eksogen selama kehamilan awal untuk
wanita dengan kehilangan kehamilan berulang tak terjelaskan. Dokter biasanya
ingin melakukan semua yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesempatan
mendapatkan kehamilan yang berhasil. Dengan mempertimbangkan bahwa dua pertiga
atau lebih kehamilan pada wanita dengan kehilangan kehamilan berulang tak
terjelaskan mungkin akan berhasil, dengan atau tanpa terapi, mudah dimengerti
mengapa sangat banyak dokter yang benar-benar meyakini manfaat terapi walaupun
tidak terdapat bukti yang meyakinkan. Terapi aspirin dosis rendah merupakan
regimen terapi lain yang sering direkomendasikan untuk wanita dengan kehilangan
kehamilan awal berulang tak terjelaskan, walaupun penelitian-penelitian dengan
randomisasi menunjukkan bahwa terapi tersebut tidak bermanfaat. Pada dosis yang
biasanya diberikan, suplementasi progesteron eksogen dan aspirin dosis rendah
hanya menimbulkan sedikit risiko efek samping sehingga sulit untuk dilarang;
namun karena tidak adanya bukti yang jelas mengenai efektivitasnya, pemberian
progesteron eksogen maupun aspirin dosis rendah tidak direkomendasikan.
Rangkuman
Fakta Kunci Kehilangan Kehamilan Berulang Tak Terjelaskan
Kadang
evaluasi menyeluruh sekalipun tidak dapat mengidentifikasi faktor predisposisi
pada lebih dari wanita dengan kehilangan kehamilan berulang. Pada kondisi
tersebut, prognosis jangka panjang untuk mendapatkan kehamilan yang berhasil
sangat bagus. Dukungan emosional dan monitoring yang berhati-hati selama
kehamilan awal dapat meningkatkan luaran kehamilan. Terapi empirik dengan
progesteron eksogen atau aspirin pada wanita dengan kehilangan kehamilan
berulang tak terjelaskan tidak terbukti bermanfaat.
Rangkuman
mengenai Evaluasi dan Terapi Kehilangan Kehamilan Berulang
Tabel berikut merangkum rekomendasi yang kami
ajukan mengenai evaluasi dan terapi untuk faktor predisposisi kehilangan
kehamilan berulang. Pemeriksaan dan terapi dengan manfaat yang jelas dicetak tebal.
Pemeriksaan dan terapi yang harus dilakukan secara selektif dan belum terbukti
bermanfaat dicetak standar.
Kategori
|
Evaluasi
|
Terapi
|
Genetik
|
Kariotipe, kedua
orangtua
Pemeriksaan cadangan ovarium
|
Konseling
Donor gamet bila
memungkinkan
Diagnosis genetik preimplantasi
|
Anatomik
|
Sonohisterografi
atau HSG
MRI
IVP atau ultrasonografi renal
|
Septoplasti
histeroskopik
Miomektomi
histeroskopik
Adhesiolisis
histeroskopik
Metroplasti abdominal
Miomektomi abdominal
Cervical cerclage
|
Imunologik
|
Antikoagulan lupus
Antibodi
antikardiolipin
|
Aspirin dan
heparin
|
Trombofilia
|
Faktor V Leiden
Mutasi gen protrombin
Resistensi protein C teraktivasi
Homosistein
Protein C
Protein S
Antitrombin III
|
Aspirin dan heparin
|
Endokrin
|
TSH
Durasi fase luteal
Glukosa darah, HbA1C
Prolaktin
|
Tiroksin
Klomifen sitrat
Metformin
Agonis dopamin
|
Infeksi
|
Sesuai yang diindikasikan gejala
|
Antibiotika empirik
|
Lingkungan
|
Riwayat
|
Modifikasi tingkah laku
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar