Laman

Selasa, November 22, 2011

Fistula Rektovaginalis

fistula rektovaginal

Fistula rektovaginalis didefinisikan dengan adanya saluran yang dibatasi jaringan epitel menghubungkan rektum dengan vaginal. Fistula ini sangat jarang dan terjadi ± 5% dari fistula anorektalis. Pada pasien dengan keganasan ginekologik, terjadinya fistula rektovaginalis lebih banyak terjadi karena infiltrasi tumor itu sendiri atau radiasi di daerah pelvis.

Tidak ada klasifikasi khusus untuk mendiskripsikan fistula rektovaginalis, biasanya hanya berdasarkan penyebab, lokasi, dan ukuran dari fistula itu sendiri. Fistula rektovaginalis sederhana meliputi ukuran fistula yang kecil, melibatkan vagina bagian distal, dan disebabkan oleh trauma atau infeksi, sedangkan yang komplek ukuran fistula lebih besar, melibatkan vagina bagian proksimal dan disebabkan karena neoplasma, penyakit infeksi usus dan terapi radiasi.

Frekuensi fistula rektovaginalis post radiasi kurang dari 5%. Rektum adalah tempat yang sering mengalami perlukaan dengan peningkatan dosis terapi radiasi setelah 2-5 tahun. Toleransi rektum terhadap dosis radiasi adalah 45-5- Gy dan insiden terjadinya perlukaan gastrointestinal terjadi pada dosis lebih dari 50 Gy.

Sebab lain yang dapat meningkatkan komplikasi gastrointestinal adalah diabetes, penyakit jantung, hipertensi, usia lanjut, merokok sigaret, kemoterapi sebelumnya dan operasi daerah pelvis sebelumnya, termasuk histerektomi.

Perlukaan usus yang berhubungan dengan radiasi meliputi proktitis dan ulserasi yang dapat menyebabkan komplikasi akut maupun kronik. Kejadian proktitis berhubungan dengan dosis radiasi dan volume rektum yang terkena radasi. Daerah yang mengalami perlukaan dapat menimbulkan terjadinya fistula karena jaringan yang diradiasi mengalami penurunan kemampuan regenerasi dan tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri. Karena alasan ini, biasanya tidak dilakukan biopsi pada daerah yang teradiasi, kecuali dengan kecurgaan keganasan.

Tabel 1. Penyebab fistula rektovaginalis

Trauma obstetrik

Inflammatory bowel disease: Corhn’s Disease

Operasi daerah pelvis sebelumnya

Infeksi: tuberculosis, limfogranuloma venerum, skistosomasis, divertikulitis

Kanker: ginekologik, anorektal (anal-rektum)

Terapi radiasi

Gejala

Keluhan flatus dan keluar feses melalui vagina, adalah gejala yang paling banyak dikeluhkan pasien dengan fistula rektovaginalis. Pada wanita dengan fistula yang sangat kecil, flatus mungkin merupakan satu-satunya keluhan, tetapi pada wanita yang fesesnya berbentuk cair, timbul bau dan cairan yang berbau busuk dari vagina dan dapat terjadi vaginitis kronik sampai berulang dan ekskorisasi pada kult perianal.

Timbulnya dispareuni disebabkan oleh infeksi dan fibrosis. Fistula yang besar dapat menyebabkan keluarnya feses dalam bentuk padat melalui vagina.

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pemeriksaan dimulai dari anamnesis meliputi riwayat penyakit yang diderita yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya fistula. Harus ditanyakan tentang operasi sebelumnya, terapi radiasi di daerah pelvis yang pernah dijalani dan penyakit infeksi usus. Riwayat adanya repair fistula juga harus ditanyakan, karena pada jaringan fibrosis terdapat suplai darah yang buruk, sehingga mempengaruhi keberhasilan terapi bedah selanjutnya.

Penyakit Crohn’s harus dipertimbangkan sebagai sebab potensial pada pasien dengan kecenderungan fistula berulang dan tidak mempunyai faktor risiko lain.

Penyebab fistula dapat diperkirakan melalui inspeksi dan palpasi pada vagina. Sebagai contoh, tanda yang nyata dari infeksi atau abses menunjukkan fistula terjadi karena proses infeksi. Dan sebaliknya, fistula yang tampak pada inspeksi yang terlihat atau teraba massa di apeks vagina mengindikasikan adanya tumor pelvik.

Pada pemeriksaan fisik, dapat ditentukan posisi, ukuran, dan hubungannya dengan spingter. Diagnosis fistula rektovaginalis dapat ditegakkan jika pada pemeriksaan spekulum ditemukan feses dan lubang pada vagina yang menunjukkan adanya hubungan vagina dengan rektum.

Kolposkopi dapat digunakan untuk mengindentifikasi pembukaan fistula, yang tampak sebagai daerah mukosa rektum yang berwarna merah gelap dengan kontras dibandingkan dengan mukosa vagina disekitarnya.

Fistula juga dapat ditentukan dengan pemeriksaan bimanual. Derajat inkontinensia fekal juga harus ditentukan. Fistula yang berasal dari usus halus harus dipikirkan pada pasien dengan keluhan feses padat keluar dari vagina. Pada pasien ini, ekskoriasi yang terjadi pada vulva dan vagina mungkin juga berasal dari enzim pencernaan yang berhubungan dengan kulit.

Kanker persisten atau rekuren juga merupakan penyebab yang mungkin menyebabkan fistula rektvaginalis. Jika didapatkan kecurigaan keganasan, pada tempat fistula dilakukan biopsi untuk konfirmasi, sehingga terapi terhadap neoplasmanya lebih terarah. Secara umum, sebaiknya jika pada tempat fistula ditemukan mukosa yang mengalami inflamasi, ulserasi dan terdapat massa, dianjurkan untuk dilakukan biopsi. Pada repair fistula letak rendah, lokasi fistula harus dicatat sehubungan dengan letak muskulus spingter ani eksternus. Muskulus spingter dan dasar panggul harus dinilai sebelum operasi karena mungkin dapat terjadi defek yang mengganggu fungsinya.

Pada fistula letak rendah ini, mungkin gangguan kecil pada spingter tidak ditemukan secara nyata karena fistula sendiri memberikan tekanan yang rendah diatas spingter. Pada kasus seperti ini, pasien yang menjalani repair fistula, post operasinya mungkin terjadi inkontinensia, karena terjadinya defek pada spingter tidak terdiagnosis. Ultrasonografi transvaginal atau endoanal, dengan manometer dapat digunakan untuk menilai integritas spingter secara kompleks.

Tes identifikasi

Tes yang sering digunakan untuk memeriksa ada tidaknya fistula rektovaginalis adalah methylene blue test, dengan menempatkan tampon pada vagina, sementara itu pada rektum dimasukkan cairan metilen blue. Warna biru yang membasahi tampon setelah ± 10-15 menit mengindikasikan terdapatnya fistula. Jika tes ini negatif, mungkin memang tidak ada fistula, atau ada fistula tetapi dari struktur lain, misalnya usus halus atau kolon. Tes lain yang dapat dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi litotomi atau tredenleburg dan mengisi vagina dengan air. Kemudian udara dimasukkan kedalam rektum, adanya gelembung udara menunjukkan keberadaan dan lokasi fistula. Pasien dapat mempunyai lebih dari 1 fistula, yang dapat mempengaruhi organ pelvik.

CT scan dan MRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi lokasi fistula, organ pelvik yang terkena, juga keberadaan tumor. Tanda diagnostik adanya fistula yang dapat ditunjukkan oleh CT scan adalah ditemukan kontras, udara, dan atau cairan di septum vagina.

Kontras yang sering digunakan adalah watersoluble vaginogram, gastrograffin enema, barium enema, atau fistulogram, dapat membantu menegakkan diagnosis atau menentukan lokasi fistula rektovaginalis Batas fistula pada vagina dan rektum harus ditentukan. Untuk fistula letak rendah (bagian bawah rektum), pemeriksaan visual secara langsung dengan proktoskopi atau anoskopi dapat membantu mengidentifikasi bagian rektum yang menjadi fistula.

Pilihan terapi

Pilihan terapi melalui pendekatan transabdominal, transanal, transperineal, atau transvaginal. Terapi yang dipilih tergantung dari kemampuan ahli bedah, ada tidaknya defek pada spingter, penyebab, perubahan anatomi yang terjadi, dan lokasi fistula. Pendekatan apapun yang akan ditempuh harus mengingat kondisi jaringan yang akan dikoreksi harus bebas dari inflamasi dan infeksi. Terapi kanker yang masih berjalan harus dihentikan, mengingat terdapatnya fistula mungkin akan berkembang menjadi infeksi. Meskipun beberapa fistula dapat menutup kembali dengan manajemen konservatif, banyak pasien membutuhkan tindakan operatif dengan tambahan kolostomi atau reseksi lokal saja. Fistula yang disebabkan oleh terapi radiasi, penyakit Crohn’s, atau neoplasma jarang menutup sendiri tanpa dilakukan tindakan operatif.

Fistula yang berhubungan dengan infeksi kronik biasanya dilakukan tindakan operatif bertingkat. Artinya pada pasien seperti ini dilakukan dahulu kolostomi (diverting colostomy), kemudian fistula dapat diperbaiki setelah infeksi terlokalisir dan sudah proses inflamasi sudah menyembuh. Kolostomi dikerjakan dahulu, kemudian setelah daerah dengan fistula diperbaiki, maka kolostomi dapat disambung kembali. Kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh tumor dan keadaan umum pasien yang lemah seringkali menjadikan alasan dilakukan kolostomi permanen.

Jaringan yang mendapat radiasi dengan dosis besar, mungkin tidak dapat menyembuh dengan sendirinya dan tindakan operatif dapat menyebabkan komplikasi, seperti kebocoran yang menyambung (anastomotic leak), abses dan perluasan fistula.

Pendekatan transanal, banyak dipilih oleh sebagian besar ahli bedah, sedangkan ahli kandungan lebih memilih pendekatan transvaginal. Keuntungan pendekatan ini adalah adanya akses langsung untuk memperbaiki fistula. Paparannya juga lebih sedikit dibanding pendekatan secara vaginal. Prosedur yang sering dilakukan adalah dengan pembentukan flap. Pasien ditempatkan dengan posisi prone jackknife.

Sebelum operasi dilakukan proktoskopi untuk mengirigasi rektum bagian bawah dan menghilangkan sisa-sisa dari preparasi kolon sebelumnya. Kemudian ditempatkan retraktor ke dalam rektum untuk menampakkan fistula, sementara perineum dan vagina dibersihkan dengan antiseptik. Untuk lebih menampakkan rektum dapat juga dilakukan 4 jahitan pada batas anus yang dikaitkan pada kulit perianal. Insisi curvelinier dibuat mulai dari dentate line sampai kira-kira ½-⅓ melingkari daerah anal kanal. Mukosa daerah ini diinfiltrasi dengan larutan epinefrin untuk membantu menjaga hemostasis akibat diseksi. Diseksi dapat dilakukan dengan elektrokauter. Flap harus terdiri dari mukosa, submuka dan muskulus sirkuler. Flap yang diangkat berukuran 4-5 cm dengan dasarnya paling tidak 2x lebar apeknya. Diseksi dilakukan pada cephalad direction sampai flap dapat dengan mudah menutupi fistula tanpa tekanan. Jika fistula telah tertutupi oleh flap, bagian distal flap yang terdiri dari bagian fistula itu sendiri, dieksisi. Diseksi fistula diperdalam sampai septum rektovaginal, jaringan dijepit dengan Allis klem untuk membantu membuka daerah yang akan diseksi sampai daerah luka. Jika diseksi telah sampai ke dinding vagina, m.spingter internus dimobilisasi dari posisi lateral dan didekatkan sampai menutup vagina. Kemudian flap dijahit diatas muskulus ini, dengan jahitan interrupted, benang monofilament 3-0 yang bersifat absorben.

Prosedur transanal flap ini sangat baik untuk pasien dengan fistula yang tidak terjadi inkontinensia fekal atau gangguan pada muskulus spingter.

Pendekatan transperineal mempunyai risiko kegagalan dan gangguan fungsi yang tinggi daripada transanal. Fistulotomi saja, yaitu tindakan untuk memperbaiki fistula yang terbentuk akibat rupture perineum derajat 4, tidak dapat langsung dikerjakan. Fistulotomi dikombinasikan dengan perineoproktotomi yang diikuti jahitan 1 lapis adalah pendekatan yang ideal untuk fistula dengan defek spingter. Pada tindakan ini, setelah dilakukan preparasi kolon, pasien ditempatkan dalam posisi litotomi, fistula diidentifikasi, kemudian kulit, jaringan lemak, muskulus spingter (jika ada), rektum dan dinding vagina diidentifikasi dan dipisahkan, sehingga tampak fistula melalui perineal cloaca. Fistula kemudian dieksisi. Mukosa rektum dan vagina diseksi dari muskulus spingter dan septum fistula kemudian dijahit sendiri-sendiri dengan benang monofilamen absorben. Dinding rektum kemudian di imbirikasi untuk membantu tekanan di daerah anal kanal, sehingga meningkatkan kontinensia. Muskulus spingter eksternus dijahit overlapping dengan spingteroplasti tanpa menimbulkan fistula. Pada saat repair ini sangat penting untuk memobilisasi muskulus dari posisi lateralnya ke setiap fosa iskiorektal. Setelah operasi pasien dipondokkan 2-3 hari, dengan diberikan analgetik dan perawatan luka. Dilaporkan keberhasilan dari pendekatan ini mencapai 85%-100%.

Pada pendekatan transvaginal, untuk tindakan ini, persiapan pasien sama dengan pendekatan transanal, tetapi posisi pasien litotomi. Fistula diidentifikasi, lapisan submukosa dinding vagina posterior diinfiltrasi dengan larutan epinefrin untuk menjaga hemostasis dan mengidentifikasi jaringan yang akan diinsisi. Insisi dilakukan melingkari fistula pada dinding posterior vagina. Setelah mucosa vagina diangkat, dilakukan eksisi pada saluran fistula sampai mencapai rektum. Jahitan konsententrik dilakukan pada septum rektovaginal sehingga tidak terjadi pertemuan antara rektum dan vagina. Setelah itu mukosa vagina ditutup. Kadang-kadang levatorplasti juga dilakukan pada pendekatan ini. Penutupan levator ani seringkali dapat menyebabkan ‘streng’ dinding vagina dan rektum yang dijahit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar