Laman

Jumat, Mei 14, 2010

Abses Tuboovarial

Keterkaitan antara penggunaan AKDR dan Abses tuboovarial telah menjadi masalah yang besar bagi klinisi reproduksi. Abses yang meliputi ovarium dan tuba falopi sering muncul sebagi akibat penyakit radang panggul. Akan tetapi TOA dapat juga akibat operasi pelvis atau sebagai komplikasi proses intraabdominal seperti apendisitis atau divertikulitis. Oleh karena tingginya insidensi PID dan beratnya sekuele yang tejadi, jika penggunaan IUD meningkatkan risiko PID, maka akibat yang ditimbulkannya di masyarakat tentu sangat besar. Penanganan TOA mencakup antibiotikaa, drainase terarah dan pembedahan.
Penanganan standar kasus TOA pada awal abad dua puluh adalah “ menunda operasi selama mungkin” (1). Akan tetapi, mortalitas dengan pendekatan ini sekitar 90%; laparatomi emergensi untuk drainase dan reseksi abses dan jaringan sekitar yang terinfeksi dapat menurunkan mortalitas hingga sekitar 10%. Antibiotika dirasakan tidak efektif pada penanganan TOA selama periode awal tersebut. Akan tetapi, sejak 1952, antibiotika pada PID dipercaya menurunkan prevalensi TOA (4), dengan kecenderungan terus berlanjut.
Selama awal 1980-an, pembedahan pada TOA dengan reseksi selektif jaringan yang rusak sangat direkomendasikan (5,6). Akan tetapi, pada saat yang sama, kesuksesan penanganan TOA dengan klindamisin dilaporkan pada 232 pasien (7). Tujuh puluh lima persen pasien pada kelompok tersebut tidak memerlukan intervensi bedah; pasien yang menerima regimen klindamisin mengalami penurunan ukuran TOA dibanding pada kelompok yang mendapat antibiotika tetapi tidak mengandung klindamisin (68 vs 37 %). Akhir-akhir ini, laporan tentang TOA tertuju pada kesuksesan drainase invasif minimal digabungkan dengan terapi medis.
TOA primer umumnya sebagai komplikasi PID, selain karena operasi pelvis. Infeksi pelvis bukan merupakan komplikasi umum akibat pengobatan hormonal untuk infertilitas (0,4 persen dari 1500 kasus pengambilan oosit transvaginal pada sebuah studi (8)), tetapi TOA dapat ditemukan pada beberapa pasien dengan hiperstimulasi ovarium. TOA sekunder berasal dari perforasi usus (apendisitis, divertikulitis) dengan penyebaran infeksi intraperitoneal, atau akibat keganasan pelvis. Penanganan TOA primer dan sekunder sama, kecuali oleh karena keganasan pelvis. Penggolongan klinis antara TOA primer dan sekunder kadang sulit. TOA primer merupakan diagnosis umum pada wanita premenopausal, akan tetapi, pada wanita pascamenopause, adanya keganasan ginekologi atau patologi pelvis lain penyebab TOA sekunder tidaklah umum dan harus harus disingkirkan(9,10).
PID berasal dari penyebaran patogen melalui lumen organ reproduksi dan kedalam kavum peritoneal pelvis melalui ostium tuba. Jika organisme tersebut tidak dapat diatasi oleh imunitas tubuh atau pengobatan medis maka akan merusak jaringan tubuh. Infeksi permukaan, aglutinasi dan abses terbentuk saat bakteri, lekosit dan cairan terakumulasi pada suatu ruangan tertutup. Perfusi abses ke dinding dalam sangat berbahaya, menimbulkan lingkungan anaerobik sehingga kuman anaerobik asli ataupun fakultatif dapat berkembang biak.
Ovarium dapat melekat dengan fimbria dari tuba yang terinfeksi (pyosalphing) dan menjadi dinding abses, atau infeksi ovarium primer, yang dapat berlanjut menjadi abses. Usus, peritoneum parietale, uterus dan omentum biasanya menjadi melekat. Abses dapat membesar dan mengisi kavum douglas, atau bocor dan menimbulkan abses metastasis.
Jika pertahanan tubuh mampu mengatasi, maka infeksi kemudian menjadi steril. Proses ini mencakup drainase spontan ke dalam celah viskus. Akan tetapi, jka terjadi ruptur intraperitoneal, infeksi dapat menyebar cepat dan timbul bakteremia. Pembentukan abses merupakan keadaan terakhir pertahanan tubuh dan infeksi yang mencapai keadaan ini sangat berat dan berbahaya. TOA merupakan bentuk paling berbahaya dari PID.
Organisme yang ditemukan pada TOA juga ditemukan pada PID, yakni, infeksi campuran polimikrobal dengan prevalensi tinggi mikroba anaerob (7,11). Spesies streptokokus, escherecia coli dan organisme enterik gram negatif lain juga sering ditemukan. Kuman anaerob yang sering dijumpai adalah bakterioides dan (prevotela, porphyromonas) serta peptostreptokokus. Gonokokus jarang ditemukan pada TOA walaupun sering dijumpai pada PID. Sebagai contoh, 16 dari 53 pasien dengan TOA (31 persen) memiliki gonokokus yang didapat dari endoservik tetapi hanya dua ( 4 persen) memiliki organisme yang didapat dari abses (7)
Sejumlah organisme lain ditemukan dalam laporan kasus TOA (12,13). Pseudomonas aeruginosa dilaporkan hanya dalam delapan kasus, satu dari mereka adalah wanita pascamenopaus yang mengeluh nyeri abdomen selama tujuh tahun setelah mendapat transplantasi renal (14). Spesies aktinomises jarang pada TOA, tetapi, jika ditemukan pada PID, patogen ini cenderung mengakibatkan TOA. Pada sebuah penelitian dari 46 pasien dengan PID, sebagai contoh, jika organisme menyerupai aktinomises ditemukan pada paps smear, TOA lebih sering ditemukan (88 versus 29 persent) (15). Aktinomises berhubungan kuat dengan IUD; semua pasien dengan aktinomises pada paps smear pada studi ini sedang atau pernah menggunakan IUD. Gambaran TOA pada pasien tersebut dapat lebih lamban (16).
Organisme yang jarang seperti Pasteurella multocida (17), salmonella enteritidis (18), candida spp (berhubungan dengan penggunaan IUD 10 tahun) (19) dan kriptokokus neoforman (pada pasien positif HIV) (20) juga dilaporkan menyebabkan TOA pada sebuah laporan kasus. Kemungkinan adanya organisme atipikal tersebut harus dicurigai jika TOA tidak respon terhadap terapi konvensional.
TOA juga dapat terjadi pada anak kecil dan dewasa. Pada satu laporan kasus, anak umur 15 tahun mengalami nyeri abdomen ringan dan perdarahan berat dari jalan lahir tanpa demam; TOA didiagnosis saat laparaskopi dengan adhesi pada dinding pelvis (21). Streptokokus pneumoniae ditemukan sebagai patogen TOA pada anak pada tiga laporan (22). Enterokoki jarang ditemukan pada TOA, tetapi, banyak ditemukan pada abses intraabdomen, tidak jelas apakah pengobatan terhadap organisme tersebut diperlukan.
TOA dilaporkan sebagai komplikasi PID pada lebih dari sepertiga pasien (23), walaupun mungkin jarang (24). Perkiraan insiden tahunan abses pelvis oleh karena berbagai penyebab di Amerika Serikat adalah 100.000 (25)
TOA umumnya terjadi pada wanita umur 20 hingga 40 tahun. Lebih tua daripada puncak prevalensi PID. Walaupun dipercayai sebelumnya, riwayat PID tampak tidak lebih sering pada pasien dengan TOA (7). Kontrasepsi IUD dilaporkan berhubungan dengan peningkatan risiko TOA jika menggunakan lapisan Dalkon (26). IUD modern membawa risiko terjadinya TOA tetapi tidak tampak meningkatkan risiko PID dengan alkat baru tersebut (27). Sebagai kesimpulan, tidak terdapat faktor risiko TOA pada pasien PID.
TOA harus dicurigai pada semua pasien suspek PID. Nyeri abdomen dan pelvis merupakan gejala khas yang terdapat pada lebih dari 90 persen pasien dengan TOA (3,7,24,28). Demam dan lekositosis ditemukan pada sekitar 60 hingga 80 persen pasien tersebut (3,7,15,24,28). Oleh karena itu, tidak adanya demam dan atau lekositosis tidak dapat menyingkirkan diagnosis TOA. Penelitian di Israel (29) membandingkan 42 pasien dengan TOA terhadap 121 pasien dengan PID dan menemukan bahwa wanita lebih tua dari 42 tahun dengan masa adneksa yang teraba dan mereka dengan angka sedimentasi > 50 mm/hr secara signifikan memiliki TOA; temperatur rata-rata dan durasi nyeri tidak dapat memprediksi TOA
Sulit mengumpulkan data dari literatur proporsi TOA yang teraba pada pemeriksaan pelvis. Dimana ini tampak bahwa mayoritas secara klinis (90 persen pada satu studi (7)), kebanyakan laporan menemukan TOA yang tidak terduga dalam jumlah yang tinggi jika laparatomi dikerjakan pada kegagalan terapi medis. Terutama sekali jika pemeriksaan imaging tidak mendapatkan hasil, penggunaan diagnostik laparaskopi diindikasikan pada wanita dengan temuan nonspesifik atau respon lemah terhadap terapi dimana visualisasi abdomen sering membantu diagnosis akurat dan memberikan akses yang dibutuhkan untuk terapi pembedahan pada beberapa kondisi yang berhubungan dengan nyeri abdomen akut. Adanya ileus (penurunan suara usus, distensi, timpani) sering dijumpai pada pasien PID dengan TOA.
Tes terpilih untuk mengkonfirmasi atau mengeklusi TOA adalah ultrasonografi. Sebuah studi pada 67 wanita dengan suspek abses pelvis ditemukan bahwa USG mampu mengidentifikasi 32 dari 33 pasien dengan TOA yang dibuktikan dengan pembedahan dan secara benar menapis TOA pada 33 dari 34 pasien (30). Lebih dari itu, USG juga menyediakan kesempatan mengamati abdomen untuk abses metastase jika TOA terdeteksi. Penelitian lain menemukan bahwa USG secara benar mengidentifikasi 31 TOA yang ditangani secara konservatif dengan antibiotika saja (7). Akan tetapi, sensitifitas dan spesifisitas USG dalam mendiagnosis TOA adalah 82 persen dan 91 persen, pada laporan lain (30).
Ultrasonografi memiliki kelebihan yaitu ketersediaan, kemudahan, dan cepat digunakkan, toleransi pasien dan harga yang murah dibanding pemeriksaan pencitraan yang lain, seperti CT-Scan, MRI dengan skaning gallium indium lekosit dengan akurasi yang sama (30,31). Mungkin lebih penting, USG sangat penting sebagai teknik pencitraan sebagai penuntun yang baik untuk abses tersebut, yang mungkin merupakan pokok terapi.
TOA tampak oleh USG berupa gambaran homogen, kadang simetris, kistik, dinding tipis, berbatas tegas, berdampingan. Gambaran udara mungkin terlihat, bersepta pada TOA multilokulasi.
USG juga prosedur terbaik untuk membedakan antara TOA dan komplek tuboovarian (TOC). TOC adalah massa inflamasi pelvic berupa edema, perlengketan, infeksi struktur pelvis pada PID. Saat traktus sinus terisi pus yang sering tampak pada TOC, tidak terdapat dinding abses atau akumulasi pus di dalam kavitas. TOC terisi, jaringan hidup dan walaupun kadang besar, ini respon terhadap terapi medis lebih dari 95 persen kasus (5). TOC dan TOA tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan pelvis. USG TOC beragam, massa dengan dinding tebal dengan batas tidak jelas dan tidak ada komponen kistik dominan atau simetri
Pemeriksaan USG diindikasikan pada pasien curiga PID: pasien dengan massa yang dapat teraba, sakit berat dan atau mereka yang direncanakan mondok, tidak respon terhadap terapi medis, adanya nyeri tekan atau faktor lain yang menghalangi pemeriksaan rektovaginal secara adekuat untuk menyingkirkan adanya TOA.
Evaluasi pada 22 pasien dengan TOA berdasar temuan CT-scan dengan TOA: unilateral (73 persen), multilocular (89 persen), densitas cairan (95 persen) dan tebal, seragam, dinding menebal (95 persen); penebalan mesosalping dan infiltrasi lemak pelvis dijumpai pada 91 persen TOA (32).
Diagnosis banding TOA cukup banyak; kehamilan ektopik, semua neoplasma pelvis, hematoma ovarium atau torsi, abses, abses apendikuler dan divertikuler dan pyomioma harus dicurigai. Walaupun saat ini tidak mungkin untuk membedakan tanpa pembedahan antara TOA dan torsi dari massa adneksa. Ditambah lagi, PID dapat terjadi pada pasien dengan massa adneksa yang tidak berhubungan dengan infeksi, seperti dermoid, yang lebih lanjut mempengaruhi gambaran diagnosis.

Penanganan
Antibiotika baru yang poten, penanganan medis sedini mungkin, peningkatan kemampuan imaging, kemampuan pembedaan antara TOA dan TOC berkontribusi terhadap lebih baiknya hasil terapi untuk TOA pada beberapa tahun terakhir. Umumnya para klinisi merekomendasikan sedikitnya 24 jam observasi bagi pasien dengan abses tuboovarial (33).

 Terapi medis
Banyak penelitian terapi medis pada PID menunjukkan TOA bertanggungjawab terhadap 80 persen atau lebih dari kegagalan terapi (34-36). Kami setuju dengan usulan bahwa terapi TOA harus dipelajari terpisah dari PID tak terkomplikasi (37). Kontroversi besar dalam terapi kelainan ini adalah apakah pembedahan (atau beberapa bentuk prosedur drainase) diperlukan pada kebanyakan kasus. Beberapa ahli merekomendasikan terapi medis meliputi antimikroba untuk bakteri anaerob, menunjukkan 75 persen angka kesuksesan pada penelitian retrospektif mereka dari 119 kasus TOA (38)
Jika terapi medis saja gagal atau ditemukan abses besar, prosedur drainase perlu dikerjakan. Oleh karena kebanyakan wanita dengan TOA adalah wanita usia reproduksi, tujuan utama penanganannya adalah sebisa mungkin secara konservatif jika dipertimbangkan drainase perkutan versus pembedahan. Keberhasilan prosedur drainase umumnya didefinisikan sebagai kesembuhan dari infeksi akut tanpa diperlukan laparatomi.
Drainase TOA menggunakan arahan USG atau laparaskopi merupakan kemajuan besar dalam terapi keadaan ini. Penelitian telah dikerjakan dengan arahan USG menggunakan pendekatan transvaginal atau perkutan (39-45). Pendekatan transvaginal memberikan jalur langsung dari vagina ke dalam kavum douglas atau regio adneksa dimana abses biasanya terlokalisasi.
Penelitian retrospektif penggunaan aspirasi dengan arahan USG transvaginal dari tahun 1986 hingga 2003 melaporkan keberhasilan pengobatan pada 282 wanita (93 persen) (46). Total 302 partisipan juga diterapi dengan antibiotika intravena termasuk metronidazol ditambah doksisiklin atau cefuroksim. Ukuran abses berkisar antara 3 hingga 15 cm. Hasil penelitian sangat signifikan: walaupun sekitar sepertiga pasien membutuhkan lebih dari satu aspirasi untuk drainase yang adekuat, hanya 20 pasien (7 persen) yang membutuhkan operasi. Ukuran abses atau adanya multilokularitas tidak mempengaruhi angka kesuksesan dari aspirasi transvagina. Toleransi pasien terhadap prosedur sangat baik.
Penulis menyimpulkan bahwa aspirasi dengan arahan USG memiliki efektifitas tinggi, terlebih jika dilakukan segera setelah diagnosis saat cairan abses sedikit kental. Mereka juga menyarankan bahwa pada wanita pasca menopausal yang memiliki TOA, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti untuk divertikulitis atau keganasan yang mungkin menyertai.
Pemasangan kateter atau prosedur drainase tunggal melalui USG telah diteliti pada penelitian lain (47). Drainase jangka lama dan atau irigasi kavitas abses dengan peletakan kateter tinggal tidak lebih bermanfaat daripada prosedur drainase sederhana. Jika studi yang telah ada tentang drainase TOA tidak mengatakan atau menolak pemasangan drain, kecenderungan saat ini pada terapi medis telah membatasi penggunaan drainase tinggal.
Drainase transgluteal terarah dengan USG untuk abses pelvis juga telah diteliti sebagai alternatif pembedahan. Pada satu penelitian dari 140 pasien dengan abses pelvis dengan berbagai etiologi, 96 persen berhasil diterapi dengan drainase saja (48). Kateter dilepas setelah rata-rata delapan hari; komplikasi jarang berupa hemoragi (dua persen). Pendekatan transpiriformis secara signifikan berhubungan dengan nyeri paska tindakan daripada pendekatan infrapiriformis.
Penggunaan laparaskopi sebelum pemasangan drainase merupakan pendekatan alternatif. Pada satu laporan, drainase laparaskopi dengan antibiotika sebagai terapi awal mampu menyembuhkan 20 dari 21 (95 persen) pasien TOA dan sekitar empat dari tujuh pasien yang menginginkan kehamilan berhasil hamil (49). Pada penelitian kedua, drainase laparoskopi berhasil pada 45 dari 48 pasien (48 persen) (50)
Drainase kavum douglas dengan insisi kolpotomi telah digunakkan selama beberapa tahun sebelumnya. Akan tetapi, prosedur ini harus tidak dikerjakan kecuali abses teraba pada linea mediana, melekat pada dinding vagina, dan mengisi sepertiga atas septum rektovagianl (28). Pasien dengan TOA jarang memiliki kriteria tersebut. Kolpotomi kurang disukai karena beberapa laporan berhubungan dengan tingginya komplikasi kematian, dan angka reoperasi untuk infeksi lanjutan (51-53)
Hingga saat ini belum ada standar terapi TOA. Klinisi tidak boleh mengecam ekstirpasi laparatomi pelvis bagi pasien dengan TOA (terutama jika pasien tidak stabil atau masih dalam masa reproduktif) atau untuk manajemen medis saja dengan pengawasan ketat dan antibiotika spektrum luas (terlebih jika pasien masih muda dan dalam kondisi stabil). Akan tetapi, terdapat beberapa keterbatasan untuk kesuksesan manajemen  TOA. Penanganan rawat jalan awal TOA tidak aman; ruptur dan sepsis dapat terjadi tanpa terduga dan membawa mortalitas sekitar 25 persen. Regimen antibiotika oral dan yang tidak mamapu menjangkau patogen fakultatif dan anaerob tidak adekuat. TOC harus diobati terlebih dahulu.
Penanganan TOA membutuhkan cakupan luas. Jika Actinomises ditemukan pada TOA, dianjurkan konsultasi dengan ahli. Pasien diterapi awal untuk TOA harus menunjukkan respon klinis sekitar empat hari, termasuk resolusi komplet atau parsial demam, leukositosis, nyeri dan ileus.
Pada pasien yang menunjukkan respon baik terhadap protokol konservatif ini, antibiotika harus dilanjutkan sedikitnya 10 hari. Setelah respon lengkap dicapai di rumah sakit, penanganan selanjutnya dapat dilakukan dengan rawat jalan. Pasien harus dilakukan pemeriksaan bimanual setiap minggu untuk dua hingga tiga minggu setelah permulaan proses penyembuhan. Massa yang berhubungan dengan TOA dapat tidak sembuh total selama beberapa bulan, semua pembesaran harus diperiksa dengan teliti dan jika perlu diberikan terapi. Penyakit menular seksual harus diyakinkan. Pasien harus dijelaskan bahwa masih ada kemungkinan hamil dan mereka harus cepat diperiksa untuk semua keadaan amenore atau nyeri abdomen.
Kebanyakan pasien yang gagal berespon dalam empat hari dengan pengobatan membutuhkan pembedahan walaupun saat tersebut sesuai untuk menilai sensitivitas antibiotika terhadap organisme dari abses. Komplikasi potensial harus diantisipasi sebelum operasi; mencakup pembentukan kembali abses, perforasi usus, endokarditis dan lainnya. Laparatomi dengan incisi vertikal harus segera dikerjakan untuk mengambil semua jaringan yang terinfeksi pada pelvis, jika infeksi pelvis tidak daspat diatasi dengan cara ini atau jika terdapat bukti adanya sepsis (hipotensi dan disfungsi dua atau lebih sistem organ), yang dapat terjadi kapanpun selama terapi dengan atau tanpa ruptur abses intraperitoneal.
Jika diperlukan laparotomi, pemeriksaan terhadap penyebaran abses harus dilakukan meliputi saluran cerna dan spatium subprenik dan subhepatik. Penyedotan tertutup melalui vagina dapat berguna sebagai tambahan pada operasi ini. Dianjurkan penutupan peritoneum, otot dan fascia menggunakan jahitan monofilamen dan jahitan terkunci. Penutupan kulit dan lapisan subkutan dikerjakan hanya untuk abdomen yang bebas pus dan pemasangan drain melalui irisan dapat berguna. Manajemen paska operasi pada ruang rawat intensif harus dipikirkan pada pasien dengan shok septik, terutama jika dicurigai adanya sindrom gagal nafas akut.
Alat Kontrasepsi dalam Rahim
Frekuensi pasien TOA yang menggunakan IUD sekitar 20% hingga 54%. Pada pertengahan tahun1970 banyak penelitian yang menyimpulkan hubungan kuat antara penggunaan IUD dengan pembentukan TOA. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa TOA unilateral memiliki penyebab yang jelas, dengan atau tanpa IUD, walaupun sekitar dua kali lipat pengguna IUD mengalami TOA bilateral dibandingkan dengan bukan pengguna IUD.
Patogenesis IUD yang berhubungan dengan salpingitis dan pembentukan abses adneksa telah jelas dikemukakan. Beberapa peneliti mengemukakan hipotesis. Akan tetapi tidak satupun dari mereka dapat menjelaskan beragamnya manifestasi klinis pada infeksi oleh karena IUD. Sindrom endometrtritis karena IUD meliputi menoragia, metroragia dan leukore disertai parametritis, peritonitis dan pembentukan abses pelvis. Mekanisme ini mirip dengan proses pembentukan PID. Kolonisasi bakteri pada endometrium bukan hanya karena kontaminasi saat pemasangan tetapi benang IUD yang berada langsung di kanalis servikalis mempermudah masuknya bakteri vagina menuju traktus genitalia atas. Menetapnya flora bakteria pada kavum uteri ditambah dengan penurunan ketahanan tubuh dapat menyebabkan endometritis kronis dengan disertai penyebaran ke tuba falopi dan atau ovarium, dapat juga melalui aliran limfa di parametrium dan ligamentum latum.
IUD Modern sedikit meningkatkan PID (43,56,57). Risiko PID terbatas 3 minggu setelah insersi IUD dan setelah itu jarang terjadi. Tidak terdapat bukti yang menganjurkan pelepasan IUD pada wanita dengan PID akut (43).
Akan tetapi, IUD jangka panjang berkaitan dengan aktinomikosis pelvis, penyakit yang jarang berupa adanya massa pelvis disertai penurunan berat badan dan gejala konstitusional (58). Studi pada 475 isolasi spesies aktinomises, 30 persen berhubungan dengan IUD (59).
Keputusan pengobatan pasien aktinomises pelvis dipengaruhi ada atau tidaknya gejala klinis, oleh karena aktinomises merupakan flora vaginal normal. Oleh karena itu, adanya aktinomises pada servikal smear tidak harus diberikan antibiotika segera atau pelepasan IUD, kecuali terdapat gejala seperti demam, nyeri abdomen, perdarahan vaginal abnormal atau adanya abnormalitas pemeriksaan rektovaginal. Antibiotika yang umum digunakan pada PID (doksisiklin, klindamisin, beta-laktam, fluoroquinolon) juga memiliki aktifitas terhadap aktinomises, walaupun durasi pengobatan lebih lama (3 hingga 6 bulan)

Referensi
1.      Miller, CJ. The rational treatment of tubal disease. Surg Gynecol Obstet 1927; 110:114.
2.      VERMEEREN, J, TE LINDE, RW. Intraabdominal rupture of pelvic abscesses. Am J Obstet Gynecol 1954; 68:402.
3.      Mickal, A, Sellmann, AH. Management of tubo-ovarian abscess. Clin Obstet Gynecol 1969; 12:252.
4.      Johnson, CG, Collins, CC, Webster, HB Jr. Pelvic abscess. South Med J 1952; 45:926.
5.      Hager, WD. Follow-up of patients with tubo-ovarian abscess(es) in association with salpingitis. Obstet Gynecol 1983; 61:680.
6.      Ginsburg, DS, Stern, JL, Hamod, KA, et al. Tubo-ovarian abscess: A retrospective review. Am J Obstet Gynecol 1980; 138:1055.
7.      Landers, DV, Sweet, RL. Tubo-ovarian abscess: Contemporary approach to management. Rev Infect Dis 1983; 5:876.
8.      Govaerts, I, Devreker, F, Delbaere, A, et al. Short-term medical complications of 1500 oocyte retrievals for in vitro fertilization and embryo transfer. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1998; 77:239.
9.      Protopapas, AG, Diakomanolis, ES, Milingos, SD, et al. Tubo-ovarian abscesses in postmenopausal women: gynecological malignancy until proven otherwise?. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 2004; 114:203.
10.  Jackson, SL, Soper, DE. Pelvic inflammatory disease in the postmenopausal woman. Infect Dis Obstet Gynecol 1999; 7:248.
11.  Golde, SH, Israel, R, Ledger, WJ. Unilateral tubo-ovarian abscess; a distinct entity. Am J Obstet Gynecol 1977; 127:807.
12.  Pien, FD, Jackson, MT. Tuboovarian abscess caused by Edwardsiella tarda. Am J Obstet Gynecol 1995; 173:964.
13.  Lukban, JC, Baker, MS. Pasteurella multocida isolation from a tuboovarian abscess. A case report. J Reprod Med 1995; 40:603.
14.  El Khoury, J, Stikkelbroeck, MM, Goodman, A, Rubin, RH. Postmenopausal tubo-ovarian abscess due to Pseudomonas aeruginosa in a renal transplant patient: A case report and review of the literature. Transplantation 2001; 72:1241.
15.  Burkman, R, Schlesselman, S, McCaffrey, L, et al. The relationship of genital tract actinomycetes and the development of pelvic inflammatory disease. Am J Obstet Gynecol 1982; 143:585.
16.  Dehal, SA, Kaplan, MA, Brown, R, et al. Clinically inapparent tuboovarian actinomycosis in a woman with an IUD. A case report. J Reprod Med 1998; 43:595.
17.  Myckan, KA, Booth, CM, Mocarski, E. Pasteurella multocida bacteremia and tuboovarian abscess. Obstet Gynecol 2005; 106:1220.
18.  Thaneemalai, J, Asma, H, Savithri, DP. Salmonella tuboovarian abscess. Med J Malaysia 2007; 62:422.
19.  Hsu, WC, Lee, YH, Chang, DY. Tuboovarian abscess caused by Candida in a woman with an intrauterine device. Gynecol Obstet Invest 2007; 64:14.
20.  Sing, Y, Ramdial, PK, Ibrahim, T. Cryptococcosis masquerading as a tuboovarian abscess. Int J Gynecol Pathol 2008; 27:37.
21.  Huang, A, Jay, MS, Uhler, M. Tuboovarian abscess in the adolescent. J Pediatr Adolesc Gynecol 1997; 10:73.
22.  Sirotnak, AP, Eppes, SC, Klein, JD. Tuboovarian abscess and peritonitis caused by Streptococcus pneumoniae serotype 1 in young girls. Clin Infect Dis 1996; 22:993.
23.  Sweet, RL, Gibbs, RS. Pelvic infection and abscess. In: Infectious Diseases of the Female Genital Tract, Sweet, RL, Gibbs, RS (Eds), Williams and Wilkins, Baltimore 1990. p.90.
24.  Nebel, WA, Lucas, WE. Management of tubo-ovarian abscess. Obstet Gynecol 1968; 32:382.
25.  Wiesenfeld, HC, Sweet, RL. Progress in the management of tuboovarian abscesses. Clin Obstet Gynecol 1993; 36:433.
26.  Scott, WC. Pelvic abscess in association with intrauterine contraceptive devices. Am J Obstet Gynecol 1978; 131:149.
27.  Burkman, RT. Intrauterine devices and pelvic inflammatory disease: evolving perspectives on the data. Obstet Gynecol Surv 1996; 51:S35.
28.  Franklin EW, 3rd, Hevron, JE Jr, Thompson, JD. Management of the pelvic abscess. Clin Obstet Gynecol 1973; 16:66.
29.  Halperin, R, Svirsky, R, Vaknin, Z, et al. Predictors of tuboovarian abscess in acute pelvic inflammatory disease. J Reprod Med 2008; 53:40.
30.  Moir, C, Robins, RE. Role of ultrasound, gallium scanning, and computed tomography in the diagnosis of intra-abdominal abscess. Am J Surg 1982; 143:582.
31.  Coleman, RE, Black RE, Welch, DM, et al. Indium-111-labelled leukocytes in the evaluation of suspected abdominal abscesses. Am J Surg 1980; 139:99.
32.  Hiller, N, Sella, T, Lev-Sagi, A, et al. Computed tomographic features of tuboovarian abscess. J Reprod Med 2005; 50:203.
33.  Workowski, KA, Berman, SM. Sexually transmitted diseases treatment guidelines, 2006. MMWR Recomm Rep 2006; 55:1.
34.  Sweet, RL,Ohm-Smith, M, Landers, DV, Robbie, MO. Moxalactam versus clindamycin plus tobramycin in the treatment of obstetric and gynecologic infections. Am J Obstet Gynecol 1985; 152:808. S
35.  weet, RL, Schachter, J, Landers, DV, Ohm-Smith, M. Treatment of hospitalized patients with acute pelvic inflammatory disease: comparison of cefotetan plus doxycycline and cefoxitin plus doxycycline. Am J Obstet Gynecol 1988; 158:736.
36.  Sweet, RL, Robbie, MO, Ohm-Smith, M, Hadley, WK. Comparative study of piperacillin versus cefoxitin in the treatment of obstetric and gynecologic infections. Am J Obstet Gynecol 1983; 145:342.
37.  Sweet, RL, Bartlett, JG, Hemsell, DL, Solomkin, JS. Evaluation of new anti-infective drugs for the treatment of acute pelvic inflammatory disease. Infectious Diseases Society of America and the Food and Drug Administration. Clin Infect Dis 1992; 15 Suppl 1:S53.
38.  Reed, SD, Landers, DV, Sweet, RL. Antibiotic treatment of tuboovarian abscess: Comparison of broad-spectrum beta-lactam agents versus clindamycin-containing regimens. Am J Obstet Gynecol 1991; 164:1556.
39.  Nelson, AL, Sinow, RM, Renslo, R, et al. Endovaginal ultrasonographically guided transvaginal drainage for treatment of pelvic abscess. Am J Obstet Gynecol 1995; 172:1926.
40.  Casola, G, vanSonnenberg, E, D'Agostino, HB, et al. Percutaneous drainage of tubo-ovarian abscesses. Radiology 1992; 182:399.
41.  Caspi, B, Zalel, Y, Or, Y, et al. Sonographically guided aspiration: An alternative therapy for tubo-ovarian abscess. Ultrasound Obstet Gynecol 1996; 7:439.
42.  vanSonnenberg, E, D'Agostino, HB, Casola, G, Goodacre, BW. US-guided transvaginal drainage of pelvic abscesses and fluid collections. Radiology 1991; 181:53.
43.  Shulman, A, Maymon, R, Shapiro, A, Bahary, C. Percutaneous catheter drainage of tubo-ovarian abscesses. Obstet Gynecol 1992; 80:555. A
44.  boulghar, MA, Mansour, RT, Serour, GI. Ultrasonographically guided transvaginal aspiration of tubo-ovarian abscesses and pyosalpinges: An optimal treatment for acute pelvic inflammatory disease. Am J Obstet Gynecol 1995; 172:1501.
45.  Teisala, K, Heinonen, PK, Punnoven, R. Transvaginal ultrasound in the diagnosis and treatment of tubo-ovarian abscess. Br J Obstet Gynaecol 1990; 97:178.
46.  Gjelland, K, Ekerhovd, E, Granberg, S. Transvaginal ultrasound-guided aspiration for treatment of tubo-ovarian abscess: a study of 302 cases. Am J Obstet Gynecol 2005; 193:1323.
47.  Lee, BC, McGahan, JF, Bijan, B. Single-step transvaginal aspiration and drainage for suspected pelvic abscesses refractory to antibiotic therapy. J Ultrasound Med 2002; 21:731.
48.  Harisinghani, MG, Gervais, DA, Maher, MM, et al. Transgluteal approach for percutaneous drainage of deep pelvic abscesses: 154 cases. Radiology 2003; 228:701.
49.  Reich, H, McGlynn, F. Laparoscopic treatment of tubo-ovarian and pelvic abscess. J Reprod Med 1987; 32:747.
50.  Henry-Suchet, J, Soler, A, Loffredo, V. Laparoscopic treatment of tubo-ovarian abscesses. J Reprod Med 1984; 29:579.
51.  Rubenstein, PR, Mishell, DR, Ledger, WJ. Colpotomy drainage of pelvic abscess. Obstet Gynecol 1976; 48:142.
52.  Rivlin, ME, Golan, A, Darling, MR. Diffuse peritoneal sepsis associated with colpotomy drainage of pelvic abscess. J Reprod Med 1982; 27:406.
53.  Rivlin, ME. Clinical outcome following vaginal drainage of pelvic abscess. Obstet Gynecol 1983; 61:169.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar