Laman

Rabu, Desember 21, 2011

Diagnosis dan Manajemen Kehamilan Ektopik. Pilihan antara Metrotexat atau Operatif

ektopik dan metrotexat

Insidensi kehamilan ektopik saat ini meningkat, dimana hal ini dimungkinkan dengan semakin baiknya berbagai alat penunjang diagnostik, demikian juga seiring dengan meningkatnya program assisted reproductive technology (Teknologi Reproduksi Berbantu). Bagaimanapun gejala dan tanda dari kehamilan ektopik dapat menyerupai berbagai komplikasi pada kehamilan awal seperti misalnya abortus. Kadangkala diagnosis memerlukan pemeriksaan kadar HCG secara serial dan USG. Sekali diagnosis telah dibuat, maka pilihan terapi dilakukan termasuk apakah akan dilakukan pemberian methotrexate dan pembedahan, dimana terapi operatif dapat pula dilakukan melalui laparoskopi. Fertility rates setelah terapi adalah sama, baik yang dilakukan terapi dengan pembedahan maupun pengobatan methotrexate

1,2.

Insidensi kehamilan ektopik meningkat. Di Amerika Serikat Pada tahun 1992, angka kejadian kehamilan ektopik adalah 19,7 per 1000, dimana angka ini meningkat dari 4,5 per 1000 pada tahun 1970. Peningkatan ini berhubungan dengan peningkatan faktor risiko kejadian kehamilan ektopik yaitu radang panggul. Lebih jauh lagi, saat ini kita memiliki metode yang lebih spesifik dan sensitif untuk menegakkan diagnosis kehamilan ektopik, termasuk penggunaan ultrasonografi dengan resolusi yang tinggi. Pada pasien yang dilakukan IVF maka insidensi kejadian kehamilan ektopik adalah 2%Angka kematian ibu akibat kehamilan ektopik telah menurun, sekitar 13% dari tahun 1979 sampai 1986 dan menjadi 6% dari tahun 1991 sampai 1999, dimana terbanyak disebabkan perdarahan oleh karena kehamilan ektopik1,2,3..

Faktor risiko dan pathogenesis

Kehamilan ektopik terjadi di tuba falopii pada lebih dari 95% kasus. Lokasi lain yang jarang untuk terjadinya kehamilan ektopik adalah: rongga abdomen, ovarium dan cerviks. Lokasi yang paling sering di tuba falopii adalah di ampula (70%), lokasi lain adalah di isthmus (12%), fimbriae (11,1%) dan di kornu yang paling jarang (2,4%)1,4 .

Ampula tuba adalah bagian tuba yang paling mudah teregang dibandingkan bagian lain dari tuba. Kehamilan ektopik yang terjadi di lokasi ini ini menyebabkan terjadinya aborsi tuba dan sering tidak dapat dikenali secara klinis. Sementara isthmus tuba tidak dapat mengakomodasi lebih luas lagi terhadap pertumbuhan kehamilan ektopik dan memiliki kecenderungan untuk pecah1.

Pasien dengan faktor risiko yang jelas diketahui memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadinya kehamilan ektopik. Pasien dengan riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, pasien yang pernah mengalami operasi tuba, pasien dengan kelainan tuba, pasien yang terpapar diethystilbestrol intra uterin, pasien yang sedang menjalani program assisted reproductive technology adalah memiliki risiko relatif tertinggi terhadap kejadian kehamilan ektopik. Pasien dengan infertilitas, infeksi genital sebelumnya termasuk infeksi Gonorrhea dan Chlamydia, atau memiliki partner seks yang berganti-ganti memiliki faktor risiko yang sedang. Dari keseluruhan, pasien dengan penggunaan IUD atau pernah mengalami ligasi tuba memiliki risiko yang rendah terhadap kejadian kehamilan ektopik dibandingkan terhadap wanita yang tidak hamil. Akan tetapi, jika seorang wanita hamil dengan IUD insitu atau setelah ligasi tuba, maka mereka memiliki risiko yang meningkat untuk terjadinya kehamilan ektopik dibandingkan terhadap wanita hamil yang tidak menggunakan IUD maupun mengalami ligasi tuba1,4,5.

Berikut merupakan urutan faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik.

Tabel 1. Faktor risiko terjadinya kehamilan ektopik

Risk factor

Odds ratio*

High risk

Tubal surgery

21.0

Tubal ligation

9.3

Previous ectopic pregnancy

8.3

In uteroexposure to diethystilbestrol

5.6

Use of intrauterine devices

4.2-45.0

Tubal pathology

3.8-21.0

Assisted reproduction

4.0

Moderate risk

Infertility

2.5-21.0

Previous genital infections

2.5-3.7

Multiple sexual partners

2.1

Salpingitis isthmica nodosa

1.5

Low risk

Previous pelvic infection

0.9-3.8

Cigarette smoking

2.3-2.5

Vaginal douching

1.1-3.1

First intercourse <18 years

1.6

*Single values, common odds ratio from homogenous studies; point estimates, range of values from heterogenous studies.

Kehamilan ektopik terjadi karena kegagalan migrasi dari ovum yang mengalami fertilisasi di tuba falopii, hal ini dikarenakan proses inflamasi, hormonal ataupun faktor-faktor yang lain. Jika perjalanan hasil fertilisasi menjadi lambat dan terjadi hambatan sebelum hasil fertilisasi mencapai dinding endometrium, maka embrio akan berimplantasi di tuba falopii. Faktor intrinsik embrio kelihatannya tidak memiliki kontribusi terhadap kehamilan ektopik. Pada analisis secara serial terhadap kromosom dimana embrio mengalami implantasi secara abnormal, tidak terdapat abnormalitas karyotype1,3.

Saat ini penelitian yang dilakukan memfokuskan terhadap molecular signaling pada saat terjadi implantasi blastokist dan mengidentifikasi abnormalitas yang terjadi sehingga mampu menjelaskan lebih jauh terjadinya kehamilan ektopik1.

Tanda dan Gejala

Pasien dengan kehamilan ektopik dapat ditandai dengan adanya perdarahan pada kehamilan trimester pertama disertai rasa nyeri. Gejala-gejala ini tidak sensitif maupun spesifik dan dapat pula ditemukan pada komplikasi kehamilan yang lain, misalnya pada abortus. Bahkan lebih jauh lagi, kadangkala wanita dengan kehamilan ektopik asimptomatik. Gejala-gejala tertentu mengarah pada dugaan ruptur tuba dengan adanya perdarahan intraabdominal dan memerlukan intervensi secepatnya. Gejala tersebut ditandai adanya shock hipovolemik dan sinkope. Penemuan lain yang memperkuat dugaan kearah kehamilan ektopik apabila dalam pemeriksaan fisik didapatkan perut yang tegang dengan nyeri yang berulang. Penemuan pada pemeriksaan fisik mungkin tidak spesifik dan termasuk ditemukannya massa adneksal kadangkala tidak ditemukan pada kehamilan ektopik1,5.

Diagnosis

Penegakkan diagnosis kehamilan ektopik perlu dibedakan dari kehamilan intrauterin. Hal ini dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan titer human ß-hCG, USG transvaginal dan pada beberapa kasus memerlukan kuretase. Meskipun titer progresteron lebih tinggi pada kehamilan intrauterin dan titer progresteron yang kurang dari 5 ng/ml dapat untuk menilai bahwa bukan kehamilan yang viable, akan tetapi titer tersebut tidak dapat menjadi nilai yang definitif untuk membedakan terhadap kehamilan ektopik1,3,5.

Suatu USG transvaginal dapat untuk mengkonfirmasi kehamilan intrauterin pada usia kehamilan 5,5 minggu. Akan tetapi kantung kehamilan dapat pula terdeteksi dengan USG transvaginal pada usia kehamilan yang lebih dini yaitu 4,5-5 minggu dan yolk sac dapat terlihat saat usia kehamilan 5 minggu. Karena pasien kadangkala lupa dengan haid terakhir, maka pemeriksaan titer ß-HCG sering digunakan untuk menjelaskan kapan kehamilan intrauterin dapat terlihat melalui USG transvaginal.. Nilai cutoff yang digunakan adalah antara 1500 sampai dengan 2500 mIU/ml. Nilai cutoff ß-hCG yang tinggi dapat digunakan untuk meningkatkan spesifitas atau untuk meyakinkan bahwa kehamilan intrauterin yang viable tidak salah. Jika titer ini rendah pada usia kehamilan yang seharusnya, maka serial titer ß-hCG harus dilakukan untuk melihat viablitas1.

Jika titer ß-hCG lebih rendah dari nilai cutoff maka perlu dilakukan pemeriksaan USG, algoritma dibawah ini menunjukkan hal sebagai berikut:

Ketika kehamilan nonviable telah dikonfirmasi, tetapi lokasinya tidak dapat dijelaskan oleh USG, maka dilatasi dan kuretase harus dilakukan. Ketika serum level ß-hCG tinggi dan tidak terlihat kantong kehamilan intrauterin maupun ekstrauterin maka pemeriksaan histologi perlu dilakukan untuk melihat apakah jaringan di dalam rahim mengandung vili khorialis atau tidak. Jika vili khorialis dapat teridentifikasi maka artinya terdapat kehamilan intrauterin yang abnormal, dan cukup diterapi dengan dilatasi dan kuretase saja1,5.

Terapi

Manajemen Pengobatan

Methotrexate adalah suatu antagonis asam folat. Obat ini bekerja dengan inhibisi terhadap sintesis purin dan pirimidin dan akibatnya menghambat sintesis DNA. Methotrexate memiliki efek yang cepat dalam memecah sel dan menghentikan mitosis. Pada kehamilan ektopik, obat ini akan mencegah proliferasi sitotrophoblast. Akibatnya akan menurunkan produksi ß-hCG oleh trophoblast, dimana hal ini akan akan menyebabkan penurunan sekresi progresteron oleh corpus luteum6.

Indikasi pemberian methotrexate meliputi1,5,6 :

  • Kondisi hemodinamik yang stabil
  • Tidak terdapat ruptur tuba
  • Bukan merupakan kehamilan abdominal
  • Kantong kehamilan ≤ 4 cm tanpa cardiac activity
  • Kantong kehamilan ≤ 3.5 cm dengan adanya cardiac activity
  • Pasien kooperatif untuk dilakukan perjanjian dan pemeriksaan laboratorium secara serial
  • Titer serum ß-hCG ≤ 5000 mIU/mL

Pada tahun 1980, methotrexate pertama kali digunakan. Dalam Cochrane Database suatu penelitian yang dilakukan Stoval, dkk pada tahun 1989, memperlihatan pengobatan pasien kehamilan ektopik di klinik rawat jalan dengan menggunakan methotrexate1,4. Dalam protokol ini, digunakan leucovorine sebagai “penawar” terhadap munculnya efek samping dari penggunaan methotrexate. Leucovorine adalah suatu asam folinik dan memungkinkan penggunaan methotrexate dalam dosis tinggi dengan meringankan beberapa efek samping yang ditimbulkan. Dalam protokol ini, yang dikenal dengan protokol multiple-dose methotrexate, methotrexate diberikan dengan dosis 1 mg/kg BB intramuskuler pada hari 1, 3, 5 dan 7. Leucoverine diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg BB intramuskuler pada hari ke 2, 4, 6, dan 8. Pada multidose protokol, methotrexate diberikan hingga dosis keempat apabila angka ß-hCG menurun 15% dalam 2 hari pemberian berturut-turut. Angka titer ß-hCG diikuti setiap minggu hingga turun dibawah 15 IU/L. Seri kedua methotrexate dapat diberikan setelah 1 minggu jika titer ß-hCG meningkat atau menetap. Penelitian yang dilakukan oleh Stoval, dkk dilaporkan memiliki success rate 90% dengan menggunakan protokol ini1,4

Pemberian dengan protokol single dose diperkenalkan kemudian. Hal ini didasarkan catatan bahwa penggunaan single dose methotrexate akan meningkatkan pemenuhan pasien tanpa menurunkan efektivitas obat. Dalam protokol ini methotrexate diberikan dengan dosis 50 mg/m² pada hari pertama. Dosis kedua diberikan hari ke 7 jika titer ß-hCG tidak menurun minimal 15% antara hari keempat dan ketujuh. Kemudian titer ß-hCG diikuti mingguan hingga titernya tidak terdeteksi. Dalam artikel yang ditulis oleh Lipscomb dkk, dilaporkan bahwa 20% pasien yang mendapatkan terapi methotrexate dengan single dose ini memerlukan terapi lebih dari 1 siklus. Rata-rata waktu terjadinya resolusi pada kehamilan ektopik adalah 35 hari tetapi dapat pula memanjang sampai 109 hari. Pada protokol ini tidak diperlukan leucovorin. Setelah diagnosis awal, USG umumnya tidak diulang. Ukuran kantong gestasi ektopik dapat membesar setelah pemberian methotrexate, dimana hal ini disebabkan formasi hematom yang ditimbulkan akibat nekrosis oleh methotrexate7.

Sebelum pemberian methotrexate maka harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi hepar dan kreatinin. Pemeriksaan foto dada juga perlu dilakukan untuk melihat kemungkinan risiko terjadinya interstitial pneumonitis akibat terapi methotrexate. Kontraindikasi absolut dari terapi methotrexate adalah pasien dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil, pasien yang menyusui, memiliki immunodeficiency, penyakit hepar dan alkoholik, penyakit paru aktif, peptic ulcer dan penyakit darah, gangguan fungsi hepar dan ginjal. Kontraindikasi relatif adalah gestational sac ektopik ukuran 3,5 cm atau lebih dan adanya fetal heart activity6. kontraindikasi ini berhubungan dengan efikasi methotrexate sekaligus efek samping yang ditimbulkan. Methotrexate umumnya memiliki toleransi yang baik dengan dosis yang diberikan untuk terapi kehamilan ektopik. Dosis methotrexate yang tinggi berhubungan dengan penekanan sumsum tulang belakang, hepatotoksik, stomatitis, fibrosis paru, alopecia reversible, fotosensitif dan morbiditas demam. Pasien yang mendapatkan terapi methotrexate hendaknya dihentikan dari suplemen vitamin prenatal maupun suplemen asam folat1,5..

Selama pengobatan dengan methotrexatel, titer ß-hCG dapat meningkat atau menetap antara hari pertama dan keempat sebelum kemudian mulai mengalami penurunan. Hal ini mungkin disebabkan karena sinsitiotrofoblas masih terus menghasilkan ß-hCG setelah pemberian methotrexate. Fenomena yang lain yang dapat terlihat selama pemberian methotrexate adalah nyeri abdomen sementara, yang dapat terjadi 3-7 hari setelah pemberian therapi dan dapat menghilang setelah hari ke-4 sampai dengan ke-12. Hal ini dapat disebabkan perdarahan dari tuba, atau terjadinya hematoma atau abortus tuba. Sehingga sangat penting untuk meyakinkan bahwa tidak ada abortus tuba, karena abortus tuba intervensinya adalah dengan operasi. Indikasi klinis untuk terapi pembedahan adalah adanya nyeri yang hebat dan menetap setelah 12 hari terapi, adanya hipotensi orthostatik dan menurunnya nilai hematokrit. Terapi methotrexate dikatakan gagal jika selain timbulnya indikasi klinis tersebut, juga terjadi peningkatan titer ß- hCG atau titer ß-hCG menetap setelah minggu pertama pengobatan1.

Telah dilakukan berbagai penelitian mengenai effectiveness dari protokol methotrexate yang berbeda. Pada 12 penelitian, yang melibatkan 338 pasien dengan berbagai variasi dosis terapi methotrexate, dimana terapi dibandingkan terhadap penurunan titer ß-hCG, success rate dari methotrexate adalah 93%1,2. Lebih jauh lagi dengan dilakukan histeresalpingografi (HSG) hasil tes patensi tuba memperlihatkan hasil kesuksesan adalah 75%. Selanjutnya fertility rate adalah 58% dan 7% pada pasien yang mendapatkan kehamilan ektopik. Ada 32 penelitian, yang terdiri 1626 pasien yang dilakukan pembedahan laparoskopi konservatif terhadap kehamilan ektopik, keduanya menunjukkan hasil yang sama baik dalam hal success rate maupun fertility rate1.

Hasil penelitian ini dibandingkan dengan 7 penelitian dengan melibatkan 393 pasien yang mendapatkan protokol single-dose methotrexate, dengan hasil 87% sukses mengalami resolusi terhadap kehamilan ektopik yang dialaminya. Dari pasien-pasien ini, didapatkan 8% memerlukan second-dose methotrexate. Follow up dengan HSG menunjukkan hasil patensi tuba 81%. Pada pasien yang masih mempertahankan fertilitas, 61% menunjukkan kehamilan intrauterin pada kehamilan berikutnya dan 8% menunjukkan kejadian kehamilan ektopik berulang pada kehamilan berikutnya1,4. Hasil ini memperlihatkan adanya efikasi yang menurun pada protokol single-dose dibandingkan dengan multidose, sementara protokol multidose methotrexate adalah sama dengan terapi pembedahan laparoskopi.

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 100 orang pasien yang membandingkan terapi methotrexate dengan laparoskopi salpingostomi, didapatkan 86% pasien yang mendapatkan terapi methotrexate dengan satu ataupun dua dosis menunjukkan keberhasilan yang tinggi. Tujuh puluh dua persen (72%) berhasil di therapi hanya dengan pembedahan saja dan 20% memerlukan therapi methotrexate setelah pembedahan karena adanya pesisten trophoblast. Patency tubal rate setelah pengobatan pada kedua cara tersebut menunjukkan hasil yang sama1,2,8.

Suatu meta analisis yang dilakukan oleh Hajenius dkk, yang melibatkan 26 penelitian dan membandingkan single-dose dan multi-dose protocol methotrexate, didapatkan bukti bahwa protokol methotrexate single-dose memiliki angka kegagalan yang bermakna. Ketika baseline titer ß-hCG dan fetal cardiac activity dikendalikan, terapi dengan single-dose methotrexate memiliki angka kegagalan hampir 5 kali lebih besar (OR 4,75)4.

Adanya hasil success rate yang rendah pada protokol pemberian single-dose methotrexate, maka telah dibuat protokol two-dose methotrexate dengan harapan akan memberikan regimen yang lebih efektif, dimana tidak akan membebani penderita. Dalam protokol ini, dosis pertama methotrexate diberikan pada hari pertama dan dosis kedua diberikan pada hari keempat. Dosis ketiga diberikan pada hari ketujuh hanya apabila titer ß-hCG tidak menurun sampai 15% anatar hari ke-4 dan ke-7. Protokol two-dose methotrexate menunjukkan hasil yang aman dan toleransi yang baik pada 100 pasien1,2. Penelitian yang lebih jauh diperlukan untuk memperlihatkan success rate secara keseluruhan.

Beberapa karakteristik pre pengobatan telah diteliti untuk menunjukkan adanya pengaruh dari karakteristik tersebut terhadap keberhasilan terapi dengan menggunakan methotrexate. Karakteristik pre pengobatan yang dinilai adalah titer ß-hCG pada saat awal pengobatan, kadar progresteron, ukuran kantong gestasi, adanya atau tidak adanya fetal cardiac activity dan adanya cairan bebas di rongga pelvis. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Lipscomb dkk terhadap 360 wanita yang memiliki karakteristik tersebut sebelum dilakukan pengobatan dan didapatkan hubungan yang signifikan terhadap success rate. Satu-satunya yang berhubungan dengan success rate adalah titer awal ß-hCG, dimana titer ß-hCG mengalami penurunan yang sangat bermakna setelah terapi (68,9%) pada pasien yang memiliki titer ß-hCG pada awal pengobatan lebih besar dari 15.000 mIU/ml. Adanya cairan bebas di rongga peritoneum ataupun ukuran ectopic gestation tidak berhubungan dengan penurunan success rate7. Pada penelitian terbaru menunjukkan titer awal ß-hCG sebelum pengobatan yang lebih besar dari 5000 mIU/ml memiliki hubungan yang bermakna dengan penurunan success rate pada wanita yang mendapatkan therapy protokol single-dose1,2.

Table 2.  Methotrexate Protocols

Day

Single-dose protocol

Multidose protocol

Two-dose protocol

0

Labs (pretreatment) - ß-hCG level, CBC, LFTs, creatinine, type and screen Methotrexate 50 mg/m2 Rhogam if Rh negative

Labs (pretreatment) - ß-hCG level, CBC, LFTs, creatinine, type and screen Methotrexate 1 mg/kg Rhogam if Rh negative

Labs (pretreatment) - ß-hCG level, CBC, LFTs, creatinine, type and screen Methotrexate 50 mg/m2 Rhogam if Rh negative

1

 

Leucovorin 0.1mg/kg

 

2

 

ß-hCG level Methotrexate

 

3

 

Leucovorin

 

4

ß-hCG level

ß-hCG level Methotrexate

ß-hCG level Methotrexate

5

 

Leucovorin

 

6

 

ß-hCG level Methotrexate

 

7

ß-hCG level, CBC, LFTs, creatinine Repeat methotrexate if <15% decrease in ß-hCG level from day 4

Leucovorin

ß-hCG level, CBC, LFTs, creatinine, Repeat methotrexate if <15% decrease in ß-hCG level from day 4

11

ß-hCG level, if repeat dose is given

 

ß-hCG level Repeat methotrexate if <15% decrease in ß-hCG level from day 7

14

ß-hCG level, if repeat dose is given

 

ß-hCG level CBC, LFTs, creatinine, if repeat dose is given

Maximum two doses of methotrexate

Continue methotrexate and leucovorin until 15% decrease in hCG levels between two consecutive titers Maximum four doses of methotrexate

Maximum four doses of methotrexate

For all protocols, after initial decline in ß-hCG, check weekly levels until undetectable or, in the multidose protocol, until <15 IU/l.
ß-hCG: ß-human chorionic gonadotropin; CBC: Complete blood count; LFT: Liver-function tests.

Terapi operatif/pembedahan

Pembedahan tradisional pada manajemen kehamilan ektopik adalah dilakukannya laparotomi eksplorasi dengan salpingektomi. Saat ini, banyak pasien dengan kehamilan ektopik memerlukan manajemen operatif dengan menggunakan pendekatan salphingektomi laparoskopik ataupun salpingostomi. Akan tetapi, jika pasien disertai dengan kondisi hemodinamik yang tidak stabil, misalnya terdapat shock hipovolemik dengan ruptur kehamilan tuba, maka eksplorasi laparotomi dan salpingektomi masih merupakan pilihan terapi saat ini1,8.

Laparoskopi memiliki keuntungan karena mempersingkat waktu tinggal di rumah sakit, mempersingkat waktu penyembuhan postoperatif dan masih sedikit lebih mahal dibandingkan dengan laparotomi1,8. Dipilih dilakukan laparoskopi salphingektomi dibandingkan salpingostomi pada keadaan berikut ini : perdarahan yang tidak dapat dikontrol, terjadi kehamilan ektopik berulang pada tuba falopii yang sama, adanya ectopic gestation lebih besar dari 5 cm atau terjadinya kerusakan yang hebat dari tuba falopii. Sedangkan pada kasus yang lain, salphingostomi mungkin tepat. Suatu insisi longitudinal hendaknya dibuat pada batas antimesenterik dari tuba falopii. Hal ini dapat dilakukan dengan elektroda unipolar. Produk kehamilan harus diangkat dari tuba falopii dengan menyiram melalui irigasi bertekanan tinggi. Perdarahan yang terjadi pada tuba falopii dapat dikendalikan dengan fulgurasi electrosurgical. Insisi yang dilakukan pada tuba falopii dapat dibiarkan terbuka ataupun dijahit jelujur1.

Pada suatu review yang dilakukan terhadap 9 penelitian yang membandingkan antara salpingostomi laparoskopik dengan salpingektomi, didapatkan hasil yang tidak berbeda bermakna dengan kehamilan intrauterin berikutnya (sekitar 50%). Akan tetapi terdapat peningkatan angka berulangnya kehamilan ektopik pada kehamilan berikutnya pada kelompok yang dilakukan salpingostomi (10 vs 15%)4. Pada penelitian yang lain juga menunjukkan adanya fertility rate yang lebih tinggi pada kehamilan berikutnya, pada pasien yang dilakukan salpingostomi dibandingkan yang dilakukan salpingektomi3,7.

Lima sampai dengan 20% setelah dilakukan salpingostomi pada kehamilan ektopik, masih didapatkan jaringan tophoblastik. Oleh karena itu pada seluruh pasien dengan salpingostomi perlu dilakukan follow up titer ß-hCG mingguan hingga titer ß-hCG tidak lagi terdeteksi dalam darah. Jika titer ß-hCG menetap atau meningkat, maka ditegakkan kehamilan ektopik persisten. Dalam hal ini diperlukan terapi dengan methotrexate. Risiko kehamilan ektopik persisten akan meningkat jika salpingostomi dilakukan pada usia kehamilan yang sangat dini, jika ukuran kantong ektopik kurang dari 2 cm atau pada pasien dengan titer ß-hCG yang sangat tinggi pada awal terapi1,2.

Pada kehamilan abdominal yang terdiagnosis pada usia kehamilan yang dini maka pendekatan operatif dengan laparoskopi merupakan pilihan. Disarankan untuk tidak dilakukan pendekatan laparoskopik pada kehamilan abdominal yang berimplantasi pada permukaan dengan pembuluh darah yang banyak, oleh karena risiko perdarahan yang tidak dapat dikontrol saat dilakukan prosedur tindakan. Pengendalian perdarahan yang terjadi akan lebih cepat diatasi apabila pendekatan dengan laparotomi. Kebalikan dengan penggunaan methotrexate pada kehamailan tuba, maka penggunaan methotrexate pada kehamilan abdominal memiliki success rate yang minimal. Hal ini mungkin disebabkan karena umur kantong kehamilan pada kehamilan abdominal memiliki usia yang telah lanjut saat kehamilan ektopik ditemukan1,2,8.

Kehamilan abdominal, apalagi jika sudah lanjut, atau sudah ruptur saat ditemukan, memiliki potensial yang tinggi untuk melahirkan bayi yang tidak sehat dan komplikasi maternal yang sangat tinggi. Jika diagnosis dibuat pada kehamilan yang telah lanjut, maka janin yang hidup dapat dilahirkan secara laparatomi. Manajemen ekspektatif untuk mendapatkan maturitas janin datap dilakukan dan terbukti berhasil dalam beberapa kasus. Jika upaya ini ditempuh, maka monitor ketat pada ibu sangat penting1,6.

Hal terpenting lainnya dalam kehamilan abdominal adalah pengangkatan plasenta, karena dapat terjadi perdarahan yang mengancam nyawa ibu. Disarankan untuk dilakukan ligasi tali pusat dan plasenta ditinggalkan didekatnya. Kemudian pasien dapat diikuti melalui follow up yang teratur tanpa ada tindakan yang lain atau dapat pula dilakukan intervensi aktif dengan arteri embolisasi untuk mempercepat involusi1.

Pada beberapa kasus, bahkan janin dan plasenta ditinggal insitu di dalam cavum abdomen untuk menghindari pembedahan lebih lanjut dan potensi kerusakan plasenta serta perdarahan. Dilaporkan sebuah kasus dimana terdeteksi sebuah fetus mati umur kehamilan 14,5 minggu dipantau melalui USG untuk mencegah pertumbuhan lebih jauh dan melihat proses resorpsi alamiah.Tampak dari pantauan USG kantung kehamilan mengalami involusi sangat lambat, volume cairan amnion masih normal pada 6 bulan setealh prosedur, tetapi semua menghilang setelah 9 bulan prosedur laparotomi1.

Simpulan

Dengan penggunaan USG transvaginal dan pemeriksaan serial titer ß-hCG, dan dalam beberapa hal dilatasi dan kuretase, hampir sebagian besar kehamilan ektopik dapat di diagnosis dan di terapi dengan pada usia dini. Pengobatan dengan methotrexate dapat menghindarkan dari pendekatan operatif, dan pada beberapa pasien yang memenuhi syarat, akan memberikan kesuksesan terapi yang tinggi dan memiliki toleransi yang baik. Protokol pemberian methotrexate saat ini masih terus diteliti. Dan data awal menunjukkan bahawa protokol two-dose methotrexate lebih menjanjikan. Baik terapi dengan methotrexate maupun pembedahan memberikan success rate yang sama tinggi1,2,3,4,5. Fertilitas pada kehamilan berikutnya juga ditunjukkan sama baiknya pada terapi dengan methotrexate maupun dengan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jennifer L Kulp, Ectopic pregnancy: diagnosis and management, Women’s Health, Posted 02/28/2008. Available from: www.uptodate.com

2. Pj Hajenus, S Engelsbel, BWJ Mol c, F van der Veen, WM Ankum, PMM Bossuyt, DJ Hemrika, FB Lammes, Randomised trial of systemic methotrexate versus laparoscopic salpingostomy in tubal pregnancy, The Lancet, Volume 350, Issue 9080, pages 774-779, September 1977.

3. Juan Antonio Garcia-Velasco, Fertility potential unimpaired after methotrexate for ectopic pregnancy, Fertil Steril 2008;90:1579-1582.

4. Hajenius PJ, Mol F, Mol BWJ, Bossuyt PMM, Ankum WM, Van der Veen F. Interventions for tubal ectopic pregnancy. Cochrane Database of Systematic Reviews 2007, Issue 1. Art. No.: CD000324. DOI:10.1002/14651858.CD000324.pub2.

5. Royal College of Obstetricians and Gynaecologist, The management of tubal pregnancy, Guideline No. 21, May 2004

6. Noelle A Rotondo, When is it appropriate to use methotrexate for ectopic pregnancy in the Emergency Department?. Ask the experts about Emergency Medicine Management, Medscape Emergency Medicine, Available from: www.medscape.com

7. Lipscomb GH, Bran D, McCord ML, Portera JC, Ling FW: Analysis of three hundred fifteen ectopic pregnancies treated with single-dose methotrexate. Am. J. Obstet. Gynecol. 178(6), 1354-1358 (1998).

8. BS Duggal, P Tarneja, R K Sharma, K Rath, RD Wadhwa, Laparoscopic Management of Ectopic Pregnancies, MJAFI 2004; 60 : 220-223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar