Laman

Minggu, Juni 13, 2010

Hirsutisme

Hirsutisme: rambut wajah dan tubuh berlebihan yang disebabkan oleh kelebihan produksi androgen, biasanya berhubungan dengan ovarium anovulatorik dan hilangnya fungsi menstruasi siklis. Status virilisme yang lebih berat (klitoromegali, suara lebih berat, kebotakan, dan perubahan postur tubuh) jarang dijumpai dan biasanya disebabkan oleh hiperplasia adrenal atau tumor-tumor penghasil androgen yang berasal dari kelenjar adrenal atau ovarium. Meskipun kasus-kasus ini termasuk jarang, evaluasi diagnostik tetap dibutuhkan.
Pendekatan yang simpatis dan penuh perhatian harus diberikan pada wanita-wanita yang mengeluhkan hirsutisme.
Dokter yang bertanggungjawab harus memandang hirsutisme sebagai masalah endokrin sekaligus masalah kosmetik. Bagi wanita yang terkena, pertumbuhan rambut pada wajah, abdomen, atau payudara dapat mengganggu pada tingkat tertentu. Apakah ada penyakit? Apakah seksualitasnya berubah? Apakah penerimaan sosial terganggu? Apakah fertilitasnya terganggu?
Bab ini membahas biologi pertumbuhan rambut dan penyebab-penyebab endokrin yang dapat menghasilkan hirsutisme dan menyajikan program yang efektif dan tidak rumit untuk evaluasi diagnostik dan penatalaksanaan terapetik.
__________________________________________________________________
BIOLOGI PERTUMBUHAN RAMBUT
__________________________________________________________________
Embriologi
Masing-masing folikel rambut muncul pada sekitar minggu ke-8 hingga ke-10 kehamilan sebagai turunan dari epidermis. Ia awalnya tersusun oleh kolom-kolom sel yang padat yang berproliferasi dari lapisan basal epidermis dan menonjol ke bawah ke dalam dermis. Ketika kolom ini memanjang, ia menjumpai sekelompok sel mesodermal (papilla dermis) yang diselubunginya pada ujung bulbusnya (bulbus). Kolom epitel yang padat ini lalu mencekung ke luar untuk membentuk saluran rambut, dan apparatus pilosebaseus (folikel rambut, kelenjar sebasea, dan otot-otot erektor pili) terbentuk. Warna rambut ditentukan oleh pigmen yang diproduksi oleh melanosit dalam bulbus.
Pertumbuhan rambut dimulai dengan proliferasi sel-sel epitel pada dasar kolom yang berhubungan dengan papilla dermis. Rambut lanugo yang menyelimuti janin berpigmen terang, diameternya tipis, pendek, dan perlekatannya rapuh. Perlu untuk diperhatikan adalah fakta bahwa pertumbuhan folikel rambut yang lengkap selesai pada awal tahap kehamilan (pada minggu ke-22) dan tak ada folikel rambut yang baru yang akan dibentuk dalam kandungan.



Konsentrasi folikel rambut yang terletak per unit daerah kulit wajah tak berbeda antar jenis kelamin, namun memang berbeda antar kelompok etnis dan ras (kulit putih > Asia; Mediterania > Nordik). Selain itu, perbedaan pertumbuhan rambut antar ras kemungkinan mencerminkan perbedaan aktivitas 5α-reduktase pada folikel rambut (produksi dari androgen aktif, dihidrotestosteron). Pola pertumbuhan rambut telah ditentukan sebelumnya secara genetis.
__________________________________________________________________
Struktur dan Pertumbuhan
Rambut tidak tumbuh terus menerus, namun, ia tumbuh dalam sebuah siklus dengan fase aktivitas dan inaktivitas yang berselang-seling. Siklus pertumbuhan ini disebut sebagai berikut:
Anagen – fase pertumbuhan
Katagen – fase involusi cepat
Telogen – fase istirahat
Pada fase istirahat (telogen), rambut berukuran pendek dan tertempel kurang erat pada dasar saluran epitel (bulbus). Ketika pertumbuhan dimulai (anagen), sel-sel matriks epitel pada dasar saluran mulai berproliferasi dan meluas ke bawah ke dalam dermis. Kolom epitel memanjang sekitar 4-6 kali lipat dari status istirahat. Setelah perluasan ke bawah terselesaikan, pertumbuhan cepat sel-sel matriks yang terus menerus menekan ke atas ke arah permukaan kulit. Kontak dengan rambut sebelumnya terputus, dan rambut tadi terlepas. Sel-sel matriks superfisial berdiferensiasi membentuk sebuah kolom yang berkeratin. Pertumbuhan berlanjut selama mitosis aktif terus bertahan pada sel-sel matriks basal. Ketika berakhir (katagen), kolom tadi mengkerut, bulbus mengecil, dan tercapai kembali fase istirahat (telogen).
Panjang rambut sangat ditentukan oleh durasi fase pertumbuhan (anagen). Rambut kepala tetap bertahan pada fase anagen selama 2-5 tahun dan hanya memiliki fase istirahat yang relatif singkat. Di tempat lain (lengan atas), fase anagen yang pendek dan telogen yang panjang akan menghasilkan rambut pendek dengan panjang yang stabil dan tidak tumbuh. Munculnya pertumbuhan yang terus menerus (atau kerontokan periodis) ditentukan oleh derajat sejauh mana folikel rambut tadi beraksi secara sinkroni dengan folikel-folikel rambut di sekitarnya. Rambut kepala sifatnya asinkron, sehingga tampak selalu tumbuh. Fase istirahat sejumlah rambut (10-15%) tak begitu jelas. Bila tercapai sinkroni yang bermakna, maka semua rambut dapat menjalani fase telogen bersamaan yang menyebabkan kerontokan rambut yang kita sebut effluvium telogen. Kadang-kadang, wanita akan mengeluhkan kerontokan rambut kepala dalam jumlah banyak, namun waktu periode kerontokan rambut ini biasanya terbatas (6-8 bulan), dan pertumbuhan berlanjut kembali bila asinkroni berhasil tercapai lagi. Effluvium telogen dapat disebabkan oleh kehamilan, obat-obatan, dan demam. Namun, akan berguna bila kita menyingkirkan kemungkinan penyakit tiroid dengan pemeriksaan kadar hormon penstimulasi tiroid (TSH).
Hipertrikosis adalah peningkatan rambut tipe lanugo janin generalisata, berhubungan dengan pemakaian obat atau keganasan. Rambut vellus adalah rambut yang tipis dan tak berpigmen yang berhubungan dengan usia-usia pra pubertas. Rambut terminal adalah rambut kasar berpigmen yang tumbuh pada berbagai bagian tubuh pada usia dewasa. Hirsutisme mencerminkan transformasi rambut vellus menjadi rambut terminal.
__________________________________________________________________
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rambut
Papilla dermis adalah pengatur peristiwa-peristiwa yang mengontrol pertumbuhan rambut. Meskipun terjadi trauma mayor pada komponen epitelial folikel (seperti pembekuan, sinar X, atau tandur kulit), jika papilla dermisnya bertahan, folikel rambut akan mengalami regenerasi dan kembali menumbuhkan rambut. Trauma atau degenerasi pada papilla dermis (misalnya akibat elektrolisis atau pengangkatan rambut dengan laser) adalah faktor yang penting pada kehilangan rambut permanen.
Rambut seksual didefinisikan sebagai rambut yang berespon terhadap steroid-steroid seks. Rambut seksual tumbuh pada wajah, abdomen bagian bawah, paha anterior, dada, payudara, daerah pubis, dan aksilla. Setelah androgen mempengaruhi folikel-folikel rambut pada daerah-daerah seksual dan terbentuk rambut yang lebih besar, lebih panjang, dan lebih berpigmen, karakteristik rambut terakhir ini muncul berulang dalam siklus-siklus khas dengan aktivitas dan inaktivitas, bahkan tanpa stimulasi androgen yang konstan. Stimulasi androgenik pada folikel rambut membutuhkan perubahan testosteron pada folikel rambut menjadi dihidrotestosteron, sehingga sensitivitas folikel rambut terhadap androgen ditentukan oleh kadar aktivitas 5α-reduktase lokal. Variabilitas respon rambut antar individu dipercaya mencerminkan perbedaan aktivitas 5α-reduktase.
Dari penelitian-penelitian terhadap hewan coba, dan dari pola-pola penyakit pada manusia, daftar efek hormonal berikut ini dapat kita susun:
1. Androgen, khususnya testosteron, memicu pertumbuhan, meningkatkan diameter dan pigmentasi kolom keratin, dan kemungkinan meningkatkan kecepatan mitosis sel matriks pada semua rambut kecuali rambut kepala.
2. Estrogen beraksi sebagai lawan dari androgen, memperlambat kecepatan dan inisiasi pertumbuhan dan menyebabkan pertumbuhan rambut yang lebih halus, kurang berpigmen, dan lebih lambat.
3. Progestin tak memiliki efek langsung yang dominan pada rambut,
4. Kehamilan (estrogen dan progesteron tinggi) dapat meningkatkan sinkroni pertumbuhan rambut, menyebabkan periode pertumbuhan atau kerontokan rambut.
Karakteristik pertumbuhan rambut yang penting dapat dipahami dari penelitian-penelitian tentang efek kastrasi laki-laki. Jika kastrasi terjadi sebelum pubertas, laki-laki tersebut tak akan tumbuh janggutnya. Jika kastrasi terjadi setelah pubertas dengan distribusi rambut seksual dan janggut yang telah sempurna, maka rambut-rambut ini akan terus tumbuh meskipun lebih lambat dan diameternya lebih halus. Androgen menstimulasi konversi folikel rambut seksual dari lanugo menjadi pola pertumbuhan rambut dewasa terminal, namun setelah muncul, pola-pola ini akan bertahan meskipun terjadi penarikan androgen.
Pertumbuhan rambut seksual dan non seksual dapat dipengaruhi oleh gangguan-gangguan endokrin. Pada hipopituitarisme, terjadi penurunan pertumbuhan rambut yang bermakna. Akromegali akan berhubungan dengan hirsutisme pada 10-15% pasien. Meskipun dampak hormon tiroid masih belum jelas, individu-individu hipotiroid kadang-kadang mengalami alopesia kulit kepala maupun rambut ketiak, pubis, dan alis mata lateral (yang unik) yang lebih sedikit; sedangkan hipertiroidisme menghasilkan rambut yang lebih tipis dan halus yang mudah rontok. Aktivitas 5α-reduktase distimulasi oleh insulin-like growth-factor 1 (IGF-1). Peningkatan aktivitas IGF-1 pada pasien-pasien anovulatorik dengan resistensiinsulin dan hiperinsulinemia dapat memperberat respon hirsut pada pasien-pasien hiperandrogenik ini.
Pertumbuhan rambut dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor non hormonal, seperti suhu kulit lokal, aliran darah, dan edema. Rambut tumbuh lebih cepat pada musim panas dibanding musim dingin. Pertumbuhan rambut dapat disebabkan oleh patologi sistem saraf pusat (SSP) seperti ensefalitis, trauma kepala, sklerosis multipel, maupun oleh obat-obatan tertentu.
__________________________________________________________________
PRODUKSI ANDROGEN
Angka produksi testosteron pada wanita normal adalah 0,2 hingga 0,3 mg/hari. Sekitar 50% testosteron berasal dari konversi androstenedion di perifer, sedangkan kelenjar adrenal dan ovarium berkontribusi dalam jumlah yang seimbang (sekitar 25%) pada kadar testosteron yang bersirkulasi, kecuali pada pertengahan siklus mens di mana kontribusi ovarium meningkat sebesar 10-15%. Dehidroepiandrosteron sulfat (DHAS) hampir seluruhnya dihasilkan dari kelenjar adrenal, sedangkan 90% dehidroepiandrosteron (DHA) berasal dari adrenal.
Sekitar 80% testosteron yang bersirkulasi terikat pada suatu globulin beta yang dikenal sebagai globulin pengikat hormon steroid seks (SHBG). Pada wanita, sekitar 19% berikatan longgar dengan albumin, sehingga hanya 1% yang tak terikat. Androgenisitas sangat tergantung pada fraksi tak terikat, dan sebagian oleh fraksi yang berikatan dengan albumin. DHA, DHAS, dan androstenedion tak berikatan dengan protein secara bermakna, dan immunoassay rutin mencerminkan aktivitas hormon yang tersedia secara biologis. Hal ini tak berlaku untuk testosteron karena pemeriksaan rutin mengukur konsentrasi testosteron total, baik terikat maupun fraksi bebasnya.






Produksi SHBG di hepar diturunkan oleh androgen. Maka, kapasitas ikatan pada laki-laki lebih rendah daripada wanita normal, dan 2-3% testosteron bersirkulasi dalam bentuk bebas yang aktif pada laki-laki. SHBG diturunkan oleh insulin dan ditingkatkan oleh estrogen dan hormon tiroid. Maka, kapasitas ikatan meningkat pada wanita-wanita dengan hipertiroidisme, pada kehamilan, dan pada obat-obat yang mengandung estrogen. Pada wanita hirsut, kadar SHBG ditekan oleh androgen yang berlebih (dan, bila ada, oleh hiperinsulinemia), dan persentase testosteron yang bebas dan aktif meningkat seiring dengan kecepatan klirens metabolik testosteron. Maka, konsentrasi testosteron total dapat berada pada kisaran normal pada wanita-wanita yang mengalami hirsutisme. Namun, hanya ada sedikit nilai klinis dari pemeriksaan spesifik untuk fraksi testosteron bebas. Keberadaan hirsutisme atau maskulinisasi mengindikasikan peningkatan efek androgen. Kita dapat menginterpretasikan kadar testosteron yang normal pada kasus-kasus ini yang berhubungan dengan penurunan kapasitas ikatan dan peningkatan testosteron bebas.
Pada wanita-wanita hirsut, hanya 25% tetosteron bersirkulasi yang berasal dari konversi perifer, dan mayoritas disebabkan oleh sekresi glanduler langsung. Memang, data yang ada memang menunjukkan bahwa ovarium adalah sumber utama peningkatan testosteron dan androstenedion pada wanita-wanita hirsut. Penyebab hirsutisme yang tersering pada wanita adalah anovulasi persisten dan produksi androgen yang berlebih oleh ovarium. Penyebab-penyebab adrenal mayoritas jarang dijumpai.
__________________________________________________________________
Glukoronida 3α-androstenediol
Meskipun testosteron adalah androgen utama yang bersirkulasi, dihidrotestosteron (DHT) adalah androgen inti utama pada berbagai jaringan yang sensitif, termasuk folikel-folikel rambut dan unit pilosebaseus pada kulit. 3α-androstenediol adalah metabolit DHT di jaringan perifer, dan glukoronidanya, 3α-androstenediol glukoronida (3α-AG), telah digunakan sebagai petanda aktivitas seluler jaringan target. Ada korelasi yang kuat antara kadar 3α-AG dalam serum dan manifestasi klinis androgen. Secara spesifik, 3α-AG berkorelasi dengan tingkat aktivitas 5α-reduktase (testosteron dan androstenedion menjadi dihidrotestosteron) pada kulit.
Maka, ada tiga pengukuran laboratorium utama yang kegunaan klinisnya potensial untuk evaluasi kelebihan androgen:
1. Testosteron – parameter aktivitas adrenal dan ovarium
2. DHAS – parameter aktivitas adrenal
3. 3α-AG – parameter aktivitas jaringan target perifer
Hirsutisme bukan kelainan rambut; sebaliknya, ia mencerminkan peningkatan aktivitas 5α-reduktase yang menghasilkan lebih banyak DHT, mengakibatkan stimulasi pertumbuhan rambut. Aktivitas enzim ini ditingkatkan oleh peningkatan ketersediaan prekursornya (kadar testosteron yang bersirkulasi, sehingga ia merupakan faktor utama), atau melalui mekanisme-mekanisme jaringan lokal yang masih belum diketahui. Pengukuran 3α-AG telah mengungkapkan bahwa hirsutisme idiopatik yang sejati mungkin sebenarnya tidak ada (atau setidak-tidaknya sangat jarang). Pada pemeriksaan parameter-parameter laboratorik lainnya yang normal, peningkatan kadar 3α-AG mengindikasikan peningkatan aktivitas 5α-reduktase pada kompartemen perifer. Namun, 3α-AG juga mencerminkan aktivitas konjugasi hepatik dan dampak prekursor-prekursor mayor yang berasal dari kelenjar adrenal, dan bukan dari sumber-sumber perifer. Maka, 3α-AG tak sepenuhnya merupakan parameter metabolisme androgen di kulit.
Ada dua alasan mengapa pengukuran 3α-AG bukan merupakan bagian dari pendekatan klinis rutin terhadap masalah hirsutisme. Pertama, ia bukanlah pengukuran yang absolut. Nilai pada wanita hirsut melampaui kisaran normal sekitar 20%. Kedua, dan paling penting, diagnosis akhir dan terapi hirsutisme tidak dipengaruhi oleh hasil tes ini.
__________________________________________________________________
Antigen Spesifik Prostat (PSA)
Antigen spesifik prostat (PSA) adalah sebuah protease serin, dihasilkan di kelenjar prostat, dan digunakan sebagai petanda tumor untuk diagnosis dan penatalaksanaan kanker prostat. PSA juga telah dideteksi pada jaringan wanita, dan, menggunakan pemeriksaan yang sangat sensitif, kadar PSA yang bersirkulasi dapat diukur pada wanita. Karena androgen meningkatkan ekspresi gen PSA, masuk akal untuk mengharapkan wanita-wanita hiperandrogenik untuk memiliki peningkatan kadar PSA yang bersirkulasi. Memang, kadar PSA yang bersirkulasi lebih tinggi pada wanita-wanita hirsut dan berkorelasi dengan kadar 3α-AG. Peningkatan kadar tadi tidak selalu berespon terhadap stimulasi ovarium dan adrenal atau supresi ovarium, mengindikasikan penyebabnya yang bisa bermacam-macam. Saat ini, tidak ada kegunaan klinis dari pengukuran PSA pada wanita.
__________________________________________________________________
EVALUASI HIRSUTISME
Hirsutisme yang menyebabkan gangguan secara kosmetik adalah hasil akhir dari sejumlah faktor:
1. Jumlah folikel rambut yang ada (wanita-wanita Asia yang menderita tumor-tumor penghasil androgen jarang menderita hirsutisme karena rendahnya konsentrasi folikel rambut per unit area wajah).
2. Derajat sejauh mana androgen telah mengubah rambut vellus yang beristirahat menjadi rambut dewasa terminal.
3. Rasio fase pertumbuhan dibanding fase istirahat pada folikel rambut yang terkena.
4. Asinkroni siklus pertumbuhan pada keseluruhan folikel rambut
5. Ketebalan dan derajat pigmentasi masing-masing rambut.
Faktor utama pada hirsutisme adalah peningkatan kadar androgen (biasanya testosteron) yang menghasilkan stimuli pertumbuhan awal dan kemudian beraksi untuk mempertahankan pertumbuhan yang terus-menerus. Secara umum, hampir semua wanita yang menderita hirsutisme akan memiliki peningkatan angka produksi testosteron dan androstenedion.
Wanita-wanita anovulatorik yang tidak hirsut seringkali dapat dijumpai memiliki bukti laboratorik peningkatan produksi androgen. Namun, keluhan tersering yang diutarakan oleh wanita dan berhubungan dengan peningkatan produksi androgen adalah hirsutisme. Pada urutan berikutnya adalah akne dan peningkatan keminyakan wajah, peningkatan libido, klitoromegali, dan yang terakhir, maskulinisasi. Maskulinisasi dan virilisasi adalah istilah-istilah yang hanya digunakan untuk efek androgen yang ekstrem (biasanya, namun tak selalu, disebabkan oleh tumor) yang menyebabkan timbulnya pola rambut laki-laki, klitoromegali, suara lebih berat, peningkatan massa otot, dan postur tubuh secara umum yang menyerupai laki-laki. Sistem skoring Ferriman-Gallwey dan modifikasinya digunakan untuk mengkuantifikasi tingkat hirsutisme, namun kegunaan klinisnya sangat kecil. Sistem skoring hanya digunakan untuk penelitian-penelitian hirsutisme, namun, bahkan untuk tujuan ini, mereka memiliki keterbatasan karena variabilitas subyektif.
Alopesia dapat menjadi masalah yang mengganggu bagi pasien maupun dokternya. Pada mayoritas kasus, alopesia adalah fenomena temporer, suatu respon terhadap perubahan pada rambut kepala yang memicu periode pertumbuhan dan kerontokan rambut yang sinkron. Hal ini dapat merupakan respon terhadap peristiwa-peristiwa stress akut. Effluvium telogen sering terjadi pada akhir kehamilan atau postpartum. Seiring berjalannya waktu, biasanya 6 bulan hingga setahun, rambut kepala kembali asinkron dan rambut akan menebal. Pada penelitian terhadap wanita-wanita yang mengalami alopesia difus, mayoritas pasien ini tak memiliki bukti adanya hirsutisme atau disfungsi menstruasi; namun, masalah terseringnya adalah anovulasi dengan ovarium polikistik, dan hampir 40% pasien mengalami hiperandrogenisme. Pasien-pasien yang mengeluhkan alopesia patut menjalani pemeriksaan untuk hiperandrogenisme karena mayoritas pasien tadi dapat diterapi dengan benar. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi disfungsi tiroid atau penyakit kronis. Namun, karena alopesia mencerminkan peningkatan aktivitas 5α-reduktase pada kulit kepala, kadar hormon bersirkulasi yang normal tak boleh menyingkirkan perlunya pemberian terapi. Kerontokan rambut juga merupakan konsekuensi dari penuaan, dimulai pada sekitar usia 50 tahun untuk kedua jenis kelamin.
Akne adalah tanda lain dari peningkatan aktivitas androgen. Hingga 60% wanita yang menderita akne yang memiliki kadar androgen bersirkulasi yang normal menunjukkan bukti peningkatan aktivitas 5α-reduktase pada unit pilosebaseus. Wanita-wanita inilah yang akan membaik bila diterapi dengan antiandrogen.
Akantosis nigrikan pada pasien yang kelebihan berat badan dan hirsutisme adalah petanda klinis yang handal untuk resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Perubahan warna abu-abu-coklat-keunguan pada kulit ini biasanya muncul pada leher, lipat paha, dan ketiak; namun, vulva juga lokasi yang sangat sering pada wanita-wanita hirsut. Akantosis nigrikan mengindikasikan perlunya penentuan status metabolisme glukosa, seperti dibicarakan pada bab 12. Kita harus memberi perhatian khusus pada keberadaan hiperinsulinemia pada wanita-wanita hiperandrogenik.
Masalah klinis tersering adalah wanita-wanita hirsut dengan mens yang tak teratur, dengan awitan hirsutisme pada usia-usia remaja atau pada awal usia 20-an, dan perburukan kondisi yang perlahan-lahan dan bertahap. Sekitar 70% wanita anovulatorik mengalami hirsutisme. Gambaran klinisnya sangat khas sehingga anamnesis yang seksama seringkali sudah cukup untuk menegakkan diagnosisnya.
Anamnesis yang baik dapat mengungkapkan sejumlah penyebab hirustisme yang jarang: faktor-faktor lingkungan yang menghasilkan iritasi kronis atau hiperemi reaktif pada kulit, penggunaan obat-obatan, perubahan-perubahan akibat sindroma Cushing atau akromegali, atau bahkan adanya kehamilan (menunjukkan kemungkinan luteoma). Obat-obat yang menstimulasi rambut meliputi metiltestosteron, obat-obat anabolik seperti noretandrolon (Nilevar atau Anavar), fenitoin, diasoksid, danazol, siklosporin, dan minoksidil. Hirsutisme yang disebabkan oleh obat-obatan yang bukan androgen biasanya tersusun atas rambut-rambut halus yang terdistribusi secara difus pada tubuh dan wajah (hipertrikosis). 19-nortestosteron adalah obat kontrasepsi oral dosis rendah saat ini yang jarang sekali menyebabkan hirsutisme atau akne. Wanita-wanita pasca menopause yang diterapi dengan androgen dapat mengalami hirsutisme mesikpun hanya digunakan dosis rendah. Dehidroepiandrosteron atau androstenedion, yang tersedia sebagai suplemen makanan, meningkatkan kadar testosteron pada wanita dan dapat menyebabkan hirsutisme maupun akne, bahkan pada dosis yang paling rendah.
Yang sangat penting pada anamnesis adalah kecepatan terjadinya hirsutisme. Seorang wanita yang menderita hirsutisme setelah usia 25 tahun dan menunjukkan progresi maskulinisasi yang sangat cepat dalam waktu beberapa bulan hingga satu tahun biasanya menderita suatu tumor penghasil androgen.
Hiperplasia adrenal awitan lambat (non klasik) yang disebabkan oleh defisiensi enzimatik yang muncul pada usia dewasa jarang dijumpai, dan terdiagnosis pada 1 hingga 5% wanita hiperandrogenik. Hiperplasia adrenal kongenital klasik yang dapat menyebabkan hirsutisme biasanya terdiagnosis dan diterapi sebelum pubertas. Hirsutisme pada masa kanak-kanak biasanya disebabkan oleh hiperplasia adrenal kongenital klasik atau tumor-tumor penghasil androgen. Kelainan-kelainan genetik, seperti mosaik mengandung-Y atau sensitivitas androgen inkomplet, akan menghasilkan tanda-tanda stimulasi androgen saat pubertas.
Virilisasi pada kehamilan menimbulkan kecurigaan ke arah luteoma, yang bukan tumor sejati namun merupakan reaksi berlebih dari stroma ovarium terhadap kadar korionik gonadotropin yang normal. Luteoma padat tumbuh unilateral pada 45% kasus dan berhubungan dengan kehamilan normal. Kista theka lutein (juga disebut hyperreactio luteinalis) yang dijumpai pada penyakit trofoblastik hampir selalu bilateral. Virilisasi maternal terjadi pada 30% kehamilan dengan kista theka lutein. Hyperreactio luteinalis juga dapat dijumpai pada titer HCG yang tinggi yang disebabkan oleh kehamilan ganda. Karena luteoma akan mengalami regresi postpartum, satu-satunya bahayanya adalah virilisasi pada janin perempuan, sedangkan virilisasi ini belum pernah dilaporkan pada kasus kista theka lutein. Luteoma menyebabkan virilisasi maternal pada 35% kasus, dan pada kehamilan-kehamilan ini, sekitar 80% janin perempuan akan menunjukkan sejumlah tanda maskulinisasi. Kehamilan-kehamilan selanjutnya biasanya normal, namun virilisasi maternal kadang-kadang rekuren. Telah ada sedikit laporan kasus yang jarang tentang virilisasi maternal, yang kadang-kadang rekuren, yang terjadi pada kehamilan denga hiperthekosis atau ovarium polikistik. Kasus-kasus ini juga harus dianggap sebagai contoh-contoh hyperreactio luteinalis.
Tumor-tumor ovarium yang mensekresi androgen jarang sekali dijumpai pada kehamilan, kemungkinan karena androgen yang berlebih biasanya menekan ovulasi. Pemeriksaan USG panggul pada wanita-wanita yang mengalami virilisasi pada kehamilan sangat membantu. Keganasan seringkali dijumpai bila didapati lesi ovarium unilateral yang padat.
Maka, hirsutisme biasanya berhubungan dengan anovulasi persisten (bab 12). Meskipun ovarium anovulatorik biasanya merupakan sumber androgen yang berlebih, dibutuhkan pemeriksaan minimal, untuk menyingkirkan sumber dari adrenal dan tumor. Harus ditekankan bahwa opname untuk pemeriksaan ekstensif pada hirsutisme jarang sekali dibutuhkan.



__________________________________________________________________
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK UNTUK HIRSUTISME
Bagian terpenting dari evaluasi hirsutisme adalah anamnesis medis dan pemeriksaan fisik. Presentasi pasien dan perjalanan waktu penyakitnya biasanya sesuai dengan anovulasi dan ovarium polikistik. Semua wanita anovulatorik membutuhkan pemeriksaan teliti untuk galaktore dan pemeriksaan laboratorium kadar prolaktin serta fungsi tiroid. Penggunaan laboratorium lebih lanjut diarahkan untuk menegakkan diagnosis resistensi insulin, hiperplasia adrenal, atau tumor penghasil androgen.
Pemeriksaan laboratorium awal untuk hirsutisme terdiri dari pemeriksaan kadar testosteron dan 17α-hidroksiprogesteron (17-OHP) dalam darah. Kami tak lagi menganggap pengukuran DHAS dibutuhkan (dibahas pada bagian berikutnya). Wanita-wanita anovulatorik harus dievaluasi menurut rekomendasi-rekomendasi pada bab 12. Sebagai bagian dari evaluasi untuk anovulasi, kadar prolaktin dan fungsi tiroid harus diperiksa, pemeriksaan teliti pada payudara untuk keberadaan galaktore juga penting, dan biopsi endometrium aspirasi harus dipertimbangkan. Penapisan hormon penstimulasi tiroid (TSH) juga diindikasikan pada wanita-wanita yang mengeluhkan alopesia. Selain itu, kita harus mempertimbangkan kemungkinan adanya hiperinsulinemia. Pasien-pasien dengan aksi androgen yang hebat mungkin amenorik karena supresi endometrial (dengan respon desidual) dan mungkin tak mengalami withdrawal bleeding pasca stimulasi progestasional.
Sindroma Cushing dapat muncul bersama hirsutisme dan, selanjutnya, maskulinisasi. Ingat bahwa salah satu diagnosis banding tersering adalah sindroma Cushing, namun ia termasuk salah satu diagnosis akhir yang paling jarang. Bila kecurigaan klinisnya tinggi, diindikasikan untuk melakukan penapisan sindroma Cushing.
__________________________________________________________________
Penapisan untuk Sindroma Cushing
Sindroma Cushing adalah oversekresi kortisol yang persisten. Ia dapat terjadi melalui lima jalan yang berbeda: kelebihan produksi hormon adrenokortikotropik (ACTH) di pituitari (penyakit Cushing, yang paling banyak dijumpai); kelebihan produksi ACTH ektopik karena tumor; sekresi kortisol otonom oleh adrenal; sekresi kortisol otonom oleh tumor ovarium (sangat jarang); atau kemungkinan kelima yang paling jarang, sekresi hormon penglepas kortikotropin (CTH) oleh tumor. Dokter pertama-tama harus menegakkan diagnosis sindroma Cushing (sekresi kortisol berlebih) sebelum menentukan etiologinya.
Pengukuran yang paling bermanfaat pada kondisi awal untuk mendeteksi sindroma Cushing adalah ekskresi kortisol bebas dalam urin 24 jam (10-90 μg) dan kadar kortisol plasma pada malam hari (kurang dari 15 μg/dL). Kami lebih suka untuk mulai dengan tes deksametason malam hari dosis tunggal. Deksametason (1 mg) diberikan per oral pada jam 11 malam, dan kadar kortisol plasma diukur pada jam 8 pagi harinya. Nilai yang kurang dari 5 μg/dL menyingkirkan sindroma Cushing. Sindroma Cushing jarang terjadi pada nilai intermediat antara 5 dan 10 μg/dL, sedangkan nilai yang lebih tinggi dari 10 μg/dL bernilai diagnostik untuk hiperfungsi adrenal. Jumlah pasien dengan sindroma Cushing yang menunjukkan supresi normal pada tes malam hari dosis tunggal dapat kita abaikan (kurang dari 1%). Namun, pasien-pasien obese memiliki angka positif palsu hingga 13%.
Jika tes malam hari dosis tunggal hasilnya abnormal, tegakkan diagnosisnya dengna mengukur kadar kortisol bebas pada urin 24 jam. Tes supresi 2 hari dengan dosis rendah memberikan konfirmasi terakhir. Deksametason (0,5 mg tiap 6 jam) diberikan selama dua hari berturut-turut setelah dua hari pasca pengukuran kadar awal kortisol bebas dan 17-hidroksisteroid dalam urin 24 jam. Pasien-pasien dengan sindroma Cushing tak akan lebih rendah kadar 17-hidroksisteroidnya dari 2,5 mg/hari dalam urin 24 jam, dan kadar kortisol bebasnya tak akan lebih rendah dari 10 μg pada hari kedua supresi deksametason. Mengkombinasikan tes dosis rendah dengan kadar kortisol bebas pada urin 24 jam seharusnya sudah menegakkan diagnosis definitif sindroma Cushing. Kadar kortisol bebas dalam urin 24 jam yang lebih tinggi dari 250 μg hampir dapat dipastikan menegakkan diagnosis sindroma Cushing, dan kadar kortisol bebas urin yang lebih tinggi dari 200 μg/hari memberikan akurasi diagnostik 90%.
Status pseudo-Cushing terjadi pada pasien-pasien dengan hiperkortisolisme ringan karena kelainan-kelainan seperti alkoholisme, respon terhadap stress, anoreksia dan bulimia nervosa, obesitas berat, dan depresi. Meskipun biasanya tak diperlukan, mengkombinasikan tes supresi deksametason dosis rendah dengan stimulasi CRH adalah metode yang akurat untuk membedakan sindroma sejati dengan hiperkortisolisme akibat kondisi-kondisi lainnya ini. Setelah 2 hari supresi deksametason dosis rendah, kita ukur kadar kortisol plasma satu kali pada 15 menit pasca pemberian CRH (1 μg/kgBB) intravena. Kadar kotrisol 15 menit yang lebih dari 1,4 μg/dL membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Etiologi sindroma Cushing dapat ditegakkan dengan mengkombinasikan tes supresi deksametason dosis tinggi dengan pengukuran kadar ACTH darah pada kondisi basal. Deksametason (2 mg tiap 6 jam) diberikan selama 2 hari, dan kadar kortisol dan 17-hidroksisteroid dalam urin pada hari kedua dibandingkan dengan kadar awalnya. Bila kadar ACTH awal kurang dari 5 pg/mL, dan steroid urin tak turun sekurang-kurangnya 40%, maka kemungkinan penyebabnya adalah tumor adrenal. Bila ACTH dapat terukur dalam darah (lebih dari 20 pg/mL), maka tumor penghasil ACTH ektopik hampir tak mungkin menjadi penyebabnya bila kadar steroid urin turun sekurang-kurangnya 40%. Penyakit Cushing terdiagnosis bila kadar ACTH darah berada dalam kisaran normal, foto rontgen dada normal, dan pemeriksaan pencitraan mendeteksi sella tursika yang abnormal. Kadar ACTH plasma yang lebih tinggi dari 50 pg/mL menunjukkan penglepasan ACTH ektopik; kadar yang kurang dari 5 pg/mL menunjukkan tumor pensekresi kortisol otonom.
Pencitraan sangat akurat dan dapat diandalkan dalam mendeteksi tumor-tumor adrenal. Selain itu, pencitraan dapat memprediksikan pasien-pasien mana yang menderita tumor-tumor penghasil ACTH ektopik dengan cara mendeteksi pembesaran adrenal bilateral pada pasien-pasien ini. CT scan pada kelenjar adrenal memberikan resolusi yang lebih baik dan lebih dipilih dibanding MRI dan USG.
Evaluasi seorang pasien dengan sindroma Cushing dapat menghasilkan hasil yang tak pasti, dan kegagalan untuk mengenali neoplasma pensekresi ACTH ektopik yang tersembunyi dapat menimbulkan operasi pituitari atau adrenal yang sebenarnya tak diperlukan. Sampling darah vena bilateral dari sinus petrosus inferior (sampling darah yang berasal dari kelenjar pituitari) untuk pengukuran kadar ACTH sebelum dan pasca stimulasi CRH adalah cara yang efektif untuk mencapai diagnosis asal ACTH dari pituitari yang akurat. Sekitar 15% pasien dengan sindroma Cushing yang ACTH-dependen akan memiliki sumber ACTH ektopik yang tersembunyi. Mayoritas lesi pensekresi ACTH ini berada di thoraks (biasanya karsinoma paru sel kecil), dan sebagian terletak di abdomen. Sampling sinus petrosus direkomendasikan pada semua pasien dengan sindroma Cushing ACTH-dependen yang tak memiliki tumor adrenal yang jelas pada pemeriksaan pencitraan.
Satu penyebab sindroma Cushing yang sangat jarang adalah produksi kortisol otonom oleh tumor ovarium. Pencitraan dada dan abdomen direkomendasikan untuk semua presentasi klinis yang atipik.

__________________________________________________________________
Penilaian Sekresi Insulin
Hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia biasanya saling berhubungan, seperti telah dibicarakan pada bab 12. Pada banyak pasien, kelainan aksi insulin mendahului peningkatan androgen. Hiperinsulinemia dapat langsung memperkuat produksi androgen oleh sel theka di ovarium dan, selain itu, hiperinsulinemia berkontribusi pada hiperandrogenisme dengan cara menghambat sintesis globulin pengikat hormon seks (SHBG) dan IGF-1 di hepar, aksi ini masing-masing meningkatkan kadar testosteron bebas dan memperkuat stimulasi IGF-1 pada sintesis androgen oleh sel theka.
Penurunan berat badan akan mengurangi hiperinsulinemia maupun hiperandrogenisme dan seringkali diikuti oleh kembalinya fungsi ovulatorik. Wanita-wanita anovulatorik yang kelebihan berat badan, hiperinsulinemik, dan hiperandrogenik harus diberi konseling tentang peningkatan resiko untuk menderita diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskuler di masa depan.
Mekanisme hiperandrogenisme dapat dikaitkan dengan hiperinsulinemia pada kasus yang jarang di mana kondisinya sulit untuk dipahami, misalnya, awitan hirsutisme pada wanita usia lanjut yang ternyata didapati mengalami hiperthekosis pada ovarium. Timbulnya hirsutisme pada kasus seperti ini bukan disebabkan karena respon ovarium terhadap hipergonadotropisme, namun karena timbulnya hiperinsulinemia.
Karena alasan-alasan ini, kami membuat rekomendasi-rekomendasi berikut ini:

Semua wanita anovulatorik yang hiperandrogenik harus diperiksa toleransi glukosa dan resistensi insulinnya dengan pengukuran kadar glukosa dan insulin 2 jam pasca muatan glukosa 75 g.

Interpretasi respon glukosa 2 jam:
Normal kurang dari 140 mg/dL
Terganggu 140-199 mg/dL
Noninsulin-dependen diabetes mellitus 200 mg/dL atau lebih
Interpretasi respon insulin 2 jam:
Sangat mungkin resistensi insulin 100-150 μU/mL
Resistensi insulin 151-300 μU/mL
Resistensi insulin berat lebih dari 300 μU/mL

Pada wanita-wanita yang terus mengalami manifestasi kelainan ini, dibutuhkan pengawasan periodik. Pemeriksaan tahunan dengan tes toleransi glukosa 2 jam sesuai untuk wanita-wanita yang terus kelebihan berat badan.
__________________________________________________________________
Kadar DHAS
Dehidroepiandrosteron sulfat (DHAS) bersirkulasi dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada steroid lainnya dan hampir seluruhnya berasal dari kelenjar adrenal. Maka, ia adalah ukuran langsung aktivitas androgen adrenal, berkorelasi secara klinis dengan 17-ketosteroid dalam urin. Batas atas normal di sebagian besar laboratorium adalah 350 μg/dL, namun, karena variasi antar laboratorium, kita harus memperhatikan kisaran normal di masing-masing laboratorium.
Sampel DHAS sewaktu sudah memadai untuk evaluasi hirsutisme, tak perlu dikoreksi menurut berat badan, ekskresi kreatinin, atau variasi episodik. Variasinya minimal karena konsentrasinya yang tinggi dalam sirkulasi dan waktu paruhnya yang panjang. Angka perputaran yang rendah menghasilkan konsentrasi dalam darah yang tinggi dan stabil dengan variasi yang tak bermakna. Peningkatan kadar DHAS berkontribusi pada masalah klinis hirsutisme karena DHAS berperan sebagai pra hormon pada folikel-folikel rambut, menyediakan substrat untuk sintesis androgen di folikel rambut.
Kadar 17-ketosteroid maupun kadar DHAS yang bersirkulasi meningkat akibat hiperprolaktinemia. Kadar keduanya kembali ke normal pasca supresi prolaktin dengan terapi agonis dopamin. Selain itu, peningkatan kadar testosteron bebas akibat penurunan SHBG sering dijumpai pada wanita-wanita hiperprolaktinemik. Hal ini menggarisbawahi perlunya mencari galaktore dan untuk mendapatkan pengukuran prolaktin pada semua wanita anovulatorik. Perubahan-perubahan androgen tadi mungkin disebabkan karena status anovulatorik persisten yang dipicu oleh peningkatan kadar prolaktin, meskipun mungkin juga ada efek langsung dari prolaktin pada adrenal, ovarium, atau SHBG.
Hanya ada sedikit sekali kasus tumor adrenal dengan kadar DHAS yang normal, dan evaluasi lebih lanjut terhadap kasus-kasus seperti ini akan diindikasikan dengan keberadaan peningkatan kadar testosteron darah yang sangat meningkat. Tumor-tumor yang jarang ini responsif terhadap hormon luteinisasi (LH), menunjukkan bahwa mereka berasal dari rest cells embrionik. Hiperplasia adrenal non klasik (awitan lambat) biasanya tak disertai peningkatan kadar DHAS; diagnosis kelainan ini bergantung pada pengukuran kadar 17-OHP untuk penapisan.
Masalah klinis pengukuran DHAS pada evaluasi hirsutisme adalah seringnya temuan peningkatan kadar DHAS moderat pada wanita-wanita anovulatorik dengan ovarium polikistik. Jika kadar 17-OHP normal, kami percaya bahwa tak perlu mencari adanya defek enzim adrenal pada pasien-pasien ini. Pengalaman klinis telah menegakkan bahwa peningkatan DHAS moderat berhubungan dengan anovulasi; supresi fungsi ovarium memulihkan kadar DHAS kembali ke normal.
Kadar DHAS 700 μg/dL atau lebih telah diterima sebagai petanda untuk fungsi adrenal yang abnormal. Namun seberapa sering kita jumpai kadar DHAS setinggi ini? Kadar DHAS 700 μg/dL atau lebih sangat jarang dijumpai sehingga kini kita harus mempertanyakan manfaat klinis mengukur DHAS. Kami tak dapat mengidentifikasi satupun kasus sepanjang pengalaman kami di mana kadar DHAS dapat mengubah penatalaksanaan pasien. Bahkan bila kita jumpai kadar DHAS 700 μg/dL atau lebih, kami percaya bahwa sekresi kadar DHAS yang sangat tinggi oleh adrenal akan disertai pula kadar testosteron yang tinggi, baik melalui sekresi langsung atau melalui konversi DHAS di perifer. Maka, bila tak didapati sindroma Cushing, kami percaya bahwa pengukuran testosteron sudah memadai untuk menapis adanya kelainan adrenal. Pemeriksaan pencitraan pada kelenjar adrenal bilamana kita jumpai peningkatan kadar testosteron yang bermakna akan lebih efektif dari segi biaya dibanding mengukur DHAS pada semua wanita hirsut.
__________________________________________________________________
Hiperplasia Adrenal Non Klasik
Hiperplasia adrenal kongenital disebabkan karena defek enzim yang mengakibatkan produksi androgen yang berlebih. Kondisi yang parah ini, dengan awitan prenatalnya, diwariskan secara autosomal-resesif (dibicarakan di bab 9). Bentuk yang lebih ringan dari penyakit ini, yang muncul pada usia yang lebih tua, telah dinamai dengan berbagai kata keterangan, termasuk hiperplasia adrenal awitan-lambat, parsial, nonklasikal, dilemahkan, dan dapatan. Suatu bentuk yang asimptomatik, hiperplasia adrenal tersamar, hanya dapat dijumpai melalui pemeriksaan biokimiawi.
Meskipun masing-masing tahap enzimatik dari kolesterol menjadi kortisol dapat dipengaruhi pada penyakit klinis tertentu, enzim yang paling sering mengalami defisiensi adalah 21-hidroksilase (p450c21), 11β-hidroksilase (p450c11), dan 3β-hidroksisteroid dehidrogenase.

Defek 21-hidroksilase
Wanita-wanita dengan hiperplasia adrenal awitan lambat karena defisiensi 21-hidroksilase berespon terhadap stimulasi ACTH secara moderat, antara respon homozigot klasik dan reaksi heterozigot ringan. Defisiensi 21-hidroksilase kini dikenali sebagai kelainan autosomal-resesif yang paling sering, melampaui fibrosis kistik dan anemia sel sickle. Presentasi klinisnya sangat bervariasi, dan gejalanya dapat hilang dan timbul sepanjang waktu. Maka, diagnosisnya membutuhkan pemeriksaan laboratorium seperti yang dibicarakan dalam bagian ini,”Kadar 17-OHP”. Diagnosis genetik untuk mutasi-mutasi pada gen CYP21 yang telah diketahui dibicarakan dalam bab 9.
Setidaknya ada tiga alasan yang menyebabkan akan bermanfaat bila kita mencari diagnosis yang tepat:
1. Terapi harus diberikan dengan akurat karena ia harus dalam jangka panjang.
2. Pasangan hamil dengan kondisi ini membutuhkan konseling genetik untuk diagnosis prenatal dan kemungkinan terapi bagi bentuk kongenital dari penyakit ini dan untuk pemeriksaan bagi bayi yang asimptomatik. Namun, tanpa mengetahui status karier ayah, perkiraan resiko yang akurat tidak mungkin dilakukan. Meskipun resiko untuk melahirkan seorang anak dengan hiperplasia adrenal kongenital sangat rendah, pasangan ini harus mempertimbangkan pengujian paternal untuk heterozigositas. Jika hasil tes ayahnya positif, maka diagnosis dan terapi prenatal akan masuk akal.
3. Secara teoritis, pasien-pasien ini mungkin mengalami defisiensi kortisol pada saat stress berat; namun, sepanjang pengetahuan kami, hal ini belum pernah menjadi masalah klinis.

Defek-defek Enzim yang lain
Defisiensi 3β-hidroksisteroid (tipe II) dehidrogenase ada pada ovarium maupun adrenal. Defek ini tak harus disertai oleh produksi androgen yang bermakna; namun, aktivitas enzim ini tampaknya tetap intak di jaringan perifer. Maka, hirsutisme yang dijumpai pada defisiensi ini kemungkinan disebabkan karena konversi peningkatan sekresi prekursor di jaringan-jaringan target. Tak seperti defisiensi 21-hidroksilase, saat ini tak tersedia petanda genetik untuk defisiensi enzim ini; diagnosisnya membutuhkan stimulasi ACTH dan pembuktian perubahan rasio 17α-hidroksipregnenolon dibanding 17-OHP. Meskipun respon 17α-hidroksipregnenolon yang berlebihan terhadap stimulasi ACTH sering dijumpai pada wanita-wanita dengan hiperandrogenisme, respon ini sesuai dengan hiperaktivitas adrenal dan bukan suatu defisiensi enzim. Lebih lanjut, pemeriksaan-pemeriksaan molekuler tak berhasil menemukan mutasi-mutasi pada gen-gen untuk kedua enzim 3β-hidroksisteroid dehidrogenase pada pasien-pasien yang tampaknya mengalami defisiensi 3β-hidroksisteroid dehidrogenase ringan hingga sedang. Kami percaya bahwa defisiensi ini, bila ada, begitu minimal sehingga diagnosis yang akurat tidak penting. Pendekatan terapetik standar kami untuk hirsutisme akan efektif. Defisiensi 11β-hidroksilase cukup jarang, dan ia terdiagnosis pada umur yang lebih muda (bab 9). Kita tak perlu mengukur respon 11-deoksikortisol terhadap stimulasi ACTH pada wanita-wanita dewasa hirsut untuk mendeteksi defisiensi enzim yang jarang ini.
__________________________________________________________________
Kadar 17-OHP
1% hingga 5% wanita yang mengeluhkan hirsutisme menunjukkan respon biokimia yang konsisten dengan bentuk hiperplasia adrenal yang lebih ringan dari varian 21-hidroksilase. Hiperplasia adrenal awitan-lambat yang relatif sering ini mewajibkan penapisan 17-OHP rutin bagi wanita-wanita yang mengeluhkan hirsutisme. Di lain pihak, penggunaan tes stimulasi ACTH secara rutin tidak diwajibkan. Heterozigositas untuk mutasi CYP21 tidak meningkatkan resiko munculnya hirsutisme yang bermakna secara klinis.
Selain menggunakan penapisan 17-OHP untuk membuat keputusan yang efektif dari segi biaya tentang stimulasi ACTH, kita dapat diombang-ambingkan oleh temuan klinis yang tidak jelas. Riwayat kelebihan androgen yang kuat pada keluarga menunjukkan adanya kelainan yang diwariskan. Hirsutisme karena defek enzim adrenal biasanya lebih berat dan dimulai pada usia muda, khususnya pada masa pubertas. Perawakan pendek dan kadar androgen dalam darah yang amat tinggi juga menunjukkan masalah yang lebih berat. Yang terakhir, kita patut memikirkan hal berikut ini: Dengan kadar steroid awal yang normal, bahkan bila seorang wanita menderita defek enzim yang minimal, penatalaksanaan kelainan ini tak membutuhkan diagnosis yang akurat.
17-OHP harus diukur pada pagi hari (subuh) untuk menghindari peningkatan selanjutnya akibat pola sekresi diurnal dari ACTH. Kadar 17-OHP awal seharusnya kurang dari 200 ng/dL. Kadar yang lebih dari 200 ng/dL namun kurang dari 800 ng/dL membutuhkan tes ACTH. Kadar yang lebih dari 800 ng/dL hampir dipastikan menegakkan diagnosis defisiensi 21-hidroksilase. Kadar DHAS biasanya normal. Ciri khas hiperplasia adrenal awitan-lambat adalah peningkatan kadar 17-OHP dan peningkatan yang tajam pasca stimulasi ACTH. Namun, peningkatan kadar 17-OHP awal seringkali tidak terlalu mengesankan (saling tumpang tindih dengan kadar yang dijumpai pada wanita-wanita dengan ovarium polikistik karena anovulasi), dan tes stimulasi ACTH yang sederhana harus digunakan.


Tes Stimulasi ACTH
ACTH sintetis (Cortrosyn) diberikan secara intravena dengan dosis 250 μg. Sampel darah untuk pengukuran kadar 17-OHP didapatkan pada jam ke-0 dan pada 1 jam pasca perlakuan. Tes ini harus dilakukan pada pagi hari (jam 8), namun ia dapat dijadwalkan kapanpun dalam siklus menstruasi. Nilai 1 jam dirancang untuk memprediksikan genotip dari bentuk homozigot dan heterozigot dari defisiensi 21-hidroksilase. Tak diperlukan pra terapi dengan deksametason pada malam hari sebelum terapi. Karier-karier heterozigot untuk defisiensi 21-hidroksilase memiliki kadar 17-OHP yang distimulasi oleh ACTH hingga 1000 ng/dL; pasien-pasien dengan defisiensi awitan lambat memiliki kadar terstimulasi di atas 1200 ng/dL.
Untuk diagnosis defisiensi 3β-hidroksisteroid dehidrogenase, digunakan tes stimulasi ACTH yang sama, mengukur kadar 17-OHP dan 17-hidroksipregnenolon. Rasio 17-hidroksipregnenolon / 17-OHP yang abnormal biasanya lebih dari 6,0. Defisiensi ini biasanya juga ditandai oleh peningkatan DHAS yang bermakna disertai kadar testosteron yang normal atau sedikit meningkat. Pada defisiensi 11β-hidroksilase, kadar 11-deoksikortisol akan meningkat; dan kadarnya normal pada defek 21-hidroksilase.

__________________________________________________________________
KELENJAR ADRENAL DAN ANOVULASI
Keterlibatan adrenal pada sindroma anovulasi dan hirsutisme telah lama diketahui. Supresi adrenal, sebagai contoh, akan memicu mens yang teratur dan ovulasi pada sejumlah pasien, dan terapi empiris dengan glukokortikoid telah disarankan di masa lalu.
Hiperplasia adrenal awitan-lambat tak menjelaskan semua wanita anovulatorik yang dijumpai dengan peningkatan DHAS moderat. Pertanyaan klinis yang penting adalah berikut ini: Apakah sekresi androgen yang berlebihan oleh kelenjar adrenal merupakan kelainan utama pada wanita-wanita ini; atau apakah ia adalah reaksi sekunder terhadap rangkaian perubahan hormonal yang berkaitan dengan anovulasi?
Satu kemungkinannya adalah bahwa hiperaktivitas adrenalnya (yang ditunjukkan oleh peningkatan kadar DHAS) disebabkan oleh isufisiensi 3β-hidroksisteroid dehidrogenase yang dipicu oleh estrogen. Banyak upaya telah dikerahkan untuk mendemonstraskan pengaruh estrogen pada sekresi androgen adrenal. Sayangnya, tidak ada kesimpulan yang jelas, dan telah dilaporkan hasil-hasil yang positif maupun negatif.
Gambaran ini mungkin sama dengan kelenjar adrenal janin. Penelitian-penelitian telah mendemonstrasikan bahwa kadar aktivitas 3β-hidroksisteroid dehidrogenase yang rendah dan sekresi DHAS yang tinggi oleh korteks adrenal janin disebabkan oleh estrogen. Penentang terhadap penjelasan tadi adalah fakta bahwa kadar ACTH pada wanita-wanita dewasa yang anovulatorik tidak meningkat; namun, periode peningkatan respon ACTH hanya akan ada sampai kadar kortisol yang normal telah tercapai kembali (titik tolak yang baru). Memang, penelitian-penelitian pada wanita-wanita anovulatorik dengna peningkatan kadar DHAS mengindikasikan bahwa peningkatan aktivitas adrenalnya disebabkan oleh suatu mekanisme dalam kelenjar adrenal tersebut, bukan karena peningkatan respon pituitari terhadap CRH dan bukan karena peningkatan respon adrenal terhadap stimulasi ACTH.
Aktivitas 3β-hidroksisteroid dehidrogenase dihambat oleh androgen maupun estrogen dalam konsentrasi seperti yang diharapkan dalam kelenjar adrenal namun sulit untuk dicapai dengan pemberian eksogen; maka, perubahan-perubahan pada sekresi adrenal dapat mencerminkan berbagai aksi steroid, khususnya estrogen, pada lapisan-lapisan korteks adrenal yang berbeda-beda. Kegagalan untuk mempengaruhi steroidogenesis adrenal dengan pemberian androgen eksogen sesuai dengan hipotesis ini. Maka, masih tetap menarik untuk menjelaskan hiperaktivitas adrenal yang dijumpai pada wanita-wanita anovulatorik sebagai suatu reaksi sekunder yang diinduksi dan dipertahankan oleh status estrogen yang konstan yang berhubungan dengan anovulasi persisten. Memang, pada pasien-pasien dengan ovarium polikistik dan peningkatan aktivitas androgen adrenal, dapat dibuktikan suatu korelasi antara sensitivitas adrenal terhadap ACTH dan kadar estrogen. Namun, hubungan ini mungkin merupakan hasil dari mekanisme-mekanisme selain inhibisi 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (lihat pembahasan kelenjar adrenal janin di bab 8).
Supresi fungsi ovarium melalui terapi dengan agonis hormon penglepas gonadotropin (GnRH) telah digunakan dengan harapan untuk membawa kejelasan terhadap teka-teki di atas dengan cara menilai fungsi adrenal pasca eliminasi produksi steroid oleh ovarium. Supresi jangka pendek (3-6 bulan) telah dilaporkan tak memiliki dampak pada produksi andogen oleh kelenjar adrenal. Namun, penelitian-penelitian ini tak memasukkan wanita-wanita dengan kadar DHAS yang tinggi. Ketika wanita-wanita anovulatorik dengan kadar DHAS yang lebih tinggi dari normal diterapi dengan agonis GnRH sekurang-kurangnya selama 3 bulan, pada sejumlah wanita, namun tidak seluruhnya, kadar DHAS yang meningkat tadi akan tertekan. Maka, sifat sebenarnya dari hubungan adrenal-ovarium pada wanita-wanita ini mungkin bervariasi, sesuai dengan karakteristik heterogenik klinis dari pasien-pasien ini. Telah dinyatakan bahwa peningkatan produksi androgen adrenal pada sejumlah wanita adalah akibat hiperaktivitas P450c17 17,20 lyase, dan pada wanita-wanita yang lain, peningkatan produksi tadi adalah suatu respon karena steady state (kondisi stabil) hormonal anovulatorik. Pada sebuah penelitian terhadap 92 wanita dengan hirsutisme, respon steroidogenik terhadap ACTH tak konsisten dengan kelainan bawaan dari P450c17. Pada wanita-wanita dengan hiperaktivitas P450c17, kelainan yang mendasarinya mungkin adalah hiperinsulinemia.
Tanpa memandang perbedaan pada berat badan, diit, ras, dan faktor-faktor lingkungan, aktivitas androgen adrenal yang berlebih dijumpai pada separuh hingga duapertiga dari seluruh wanita anovulatorik, dan hiperinsulinemia dijumpai pada sekitar 70%. Masuk akal bahwa modulasi faktor pertumbuhan yang serupa berlangsung pada sel-sel penghasil steroid di adrenal seperti pada ovarium. Wanita-wanita dengan ovarium polikistik (baik obese maupun non obese) dan hiperinsulinemia memiliki respon steroidogenik yang lebih besar terhadap ACTH dibanding wanita-wanita anovulatorik dengan kadar insulin yang normal, dan terapi metformin menurunkan respon adrenal terhadap ACTH.
Reseptor-reseptor insulin dan IGF-1 dijumpai pada sel-sel adrenal. Infusi insulin pada wanita menyebabkan penurunan DHAS, dan hiperinsulinemia menginhibisi aktivitas 17,20 lyase (P450c17) adrenal, menunjukkan bahwa insulin mengurangi produksi androgen adrenal ini. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penurunan kadar DHAS yang berhubungan dengan umur mungkin terkait dengan peningkatan resistensi insulin. Bagaimana perubahan-perubahan ini berhubungan dengan kadar DHAS pada wanita-wanita anovulatorik, kadar yang berkisar dari normal hingga meningkat moderat? Tak ada hubungan terbalik yang sederhana antara kadar insulin dan kadar androgen adrenal pada wanita-wanita anovulatorik.
Suatu respon ovulatorik pasca terapi wanita-wanita anovulatorik dengan deksametason dapat dijelaskan sebagian oleh kontribusi yang diberikan pada produksi androgen ovarium oleh DHAS yang bersirkulasi. Persentase produksi testosteron yang bermakna oleh folikel ovarium dapat dikaitkan dengan DHAS yang bersirkulasi yang bertindak sebagai substrat atau pre hormon. Maka, supresi deksametason tak dapat memisahkan sekresi testosteron adrenal dan ovarium karena kedua kelenjar ini terlibat dalam suatu interaksi yang kompleks, dengan DHAS menyediakan sekurang-kurangnya satu mekanisme untuk interaksi ini.
Ketidakjelasan situasi ini dan jarangnya defisiensi enzim adrenal yang sejati pada wanita dewasa membuat perdebatan tentang biaya untuk melakukan tes endokrin rutin. Akhirnya, kami telah mengadopsi kadar 17-OHP 200 ng/dL, di mana kadar di bawah angka ini tidak akan membuat kami berupaya mencari kemungkinan masalah enzim adrenal primer, dan kami kini mendapati bahwa pengukuran DHAS hanya sedikit kegunaannya. Defek enzim adrenal ringan dapat diterapi dengan metode-metode standar kami dan tak membutuhkan pemberian glukokortikoid.
__________________________________________________________________
Kadar Testosteron
Kadar testosteron plasma (normal 20-80 ng/dL) meningkat pada sebagian besar wanita (70%) dengan anovulasi dan hirsutisme. Namun, variasi antar individu sangat besar, terutama karena perubahan-perubahan pada kapasitas ikatan testosteron dari SHBG dalam darah. Karena kadar globulin pengikat tertekan oleh androgen dan insulin, konsentrasi testosteron total dapat berada dalam kisaran normal pada seorang wnaita yang hirsut meskipun persentase testosteron yang tak terikat dan aktif meningkat. Memang, persentase testosteron bebas atau tak terikat kira-kira dua kali normal (meningkat dari 1% menjadi 2%) pada wanita-wanita dengan anovulasi dan ovarium polikistik. Maka, kadar testosteron total yang normal pada wanita hirsut masih sesuai dengan peningkatan tingkat produksi androgen.
Sayangnya, pengukuran testosteron sangat sulit pada wanita karena rendahnya kadar yang bersirkulasi. Memang, penilaian terhadap alat-alat pemeriksaan yang tersedia di pasaran menyimpulkan bahwa metode-metode ini tak memiliki kemampuan untuk mengukur testosteron secara akurat pada wanita. Situasinya makin diperumit oleh bagaimana testosteron bersirkulasi dalam darah dan dengan menggunakan lebih dari satu alat pemeriksaan yang tersedia untuk mengukur testosteron.
Dalam sirkulasi, testosteron terikat pada SHBG dan albumin. Testosteron bebas adalah testosteron yang tak terikat dan tersedia untuk aktivitas jaringan target. Pada wanita-wanita sehat, sekitar 50% hingga 60% testosteron terikat pada SHBG dan 30% hingga 40% terikat pada albumin, meninggalkan hanya 0,5% - 3% yang tak terikat dan aktif. Estrogen dan hormon tiroid meningkatkan kadar SHBG, dan androgen, glukokortikoid, hormon pertumbuhan, dan insulin menurunkan kadar SHBG. Testosteron bioavailabel mengacu pada testosteron bebas dan tak terikat dan yang terikat pada albumin (karena ikatan testosteron dengan albumin lemah sehingga sebagian testosteron yang terikat pada albumin tetap tersedia untuk aktivitas jaringan).
Pemeriksaan-pemeriksaan yang tersedia adalah sebagai berikut:
Pemeriksaan testosteron total mengukur kadar testosteron bebas, testosteron yang terikat pada albumin, dan testosteron yang terikat pada SHBG, dengan radioimmunoassay langsung atau immunoassay non radioaktif menggunakan alat-alat komersial atau otomatis.
Testosteron bebas, diukur dengan dialisis ekuilibrium dan ultrasentrifugasi – suatu metode yang melelahkan dan memakan banyak waktu yang membutuhkan kontrol suhu yang ketat dan mahal. Namun, metode ini adalah standar emas untuk pembanding bagi metode-metode lainnya yang memperkirakan jumlah testosteron aktif. Testosteron bebas juga diukur dengan immunoassay langsung menggunakan alat komersial.
Testosteron bioavailabel, diukur menggunakan presipitasi amonium sulfat dari SHBG, diikuti dengan radioimmunoassay dengan alat komersial – juga mahal dan menghabiskan waktu.
Indeks androgen bebas, juga disebut indeks testosteron bebas, dihitung dengan membagi testosteron total dengan konsentrasi SHBG dan dikalikan 100 (T/SHBG x 100).
Immunoassay langsung untuk testosteron bebas sangat menarik karena kemudahan, kecepatan, dan biaya yang relatif lebih ringan. Namun, metode ini perlu dipikirkan karena variabilitas dan inakurasinya. Hasil-hasil dengan pemeriksaan ini hanya dapat mengukur 20% hingga 60% dari kadar yang diukur oleh metode yang lebih sulit dan mahal yang menggunakan dialisis. Selain itu, pemeriksaan ini dipengaruhi oleh perubahan-perubahan pada kadar SHBG dan status endokrin pasien. Indeks testosteron bebas dan pengukuran testosteron bioavailabel berkorelasi kuat dengan standar emas metode dialisis. Namun, metode-metode ini juga dipengaruhi oleh jumlah SHBG dan testosteron yang bersirkulasi. Dengan SHBG yang banyak dan kadar testosteron yang rendah, ada banyak lokasi ikatan yang tersisa pada SHBG yang memberi hasil meningkat palsu untuk metode-metode ini, begitu pula sebaliknya. Maka, hanya pengukuran testosteron bebas menggunakan dialisis ekuilibrium yang akurat, di mana metode ini kurang praktis dan mahal.









Masalah klinisnya adalah fakta bahwa terdapat ketidaksesuaian antar nilai-nilai dari berbagai metode tadi yang dilaporkan dalam kepustakaan. Untuk penggunaan klinis yang tepat, masing-masing metode membutuhkan penegakkan dan validasi kisaran normal dan perubahan-perubahannya pada kondisi-kondisi patologis. Hal ini belum dilakukan. Konsentrasi steroid seks pada saliva hanya mewakili sebagian kecil dari jumlah dalam sirkulasi. Pengukuran saliva juga belum divalidasi; secara khusus, belum ada penelitian yang menegakkan korelasi antara kadar saliva dan kadar serum, dan antara kadar saliva dan presentasi klinis dan / atau respon.
Beberapa ahli mempertanyakan kegunaan pengukuran testosteron bebas sebagai metode penapisan untuk sindroma ovarium polikistik. Variabilitas yang dijumpai antar individu maupun antar pemeriksaan adalah argumen yang kuat terhadap praktek ini. Mayoritas wanita yang mengalami anovulasi dan hirsutisme memiliki anamnesis yang khas sehingga diagnosis dan terapi yang benar dapat dicapai tanpa perlu mengukur testosteron sama sekali. Nilai pengukuran testosteron dikurangi oleh variabilitasnya. Hasil yang tinggi tidak spesifik untuk suatu tumor, dan tumor dapat ada meskipun kadar testosteron meningkat namun relatif rendah. Evaluasi klinis untuk keberadaan massa ovarium dan catatan perjalanan maskulinisasi yang cepat adalah metode-metode yang dapat diandalkan untuk menapis tumor-tumor yang mensekresi androgen. Pengukuran kadar testosteron tidak terlalu efektif dari segi biayanya, dan kami seringkali menghilangkan tes laboratorium ini bila kondisi keuangan pasien tidak mendukung.
Tumor-tumor pensekresi testosteron berhubungan dengan kadar testosteron yang dapat berada pada kisaran laki-laki dan, karenanya, penentuan kadar testosteron bebas dengan tepat tidak diperlukan. Jika kadar testosteron melebihi 200 ng/dL, maka suatu tumor penghasil androgen harus dicurigai. Nilai batas yang ditentukan telah diperdebatkan karena variasi-variasi pada sekresi dapat menghasilkan nilai-nilai yang membingungkan, tak semua tumor penghasil androgen akan seaktif ini, dan sejumlah wanita dengan ovarium polikistik (khususnya hiperthekosis) akan memiliki kadar testosteron lebih dari 200 ng/dL. Meskipun begitu, kombinasi kronologi anamnesis pasien tentang timbulnya hirsutisme, pemeriksaan panggul, dan kadar testosteron 200 ng/dL akan memberikan diagnosis yang akurat pada hampir semua kasus. Seorang pasien dengan gejala-gejala virilisasi akut yang perjalanannya cepat membutuhkan pemeriksaan lengkap untuk keberadaan tumor penghasil androgen, meskipun konsentrasi testosteronnya di bawah nilai batas.
Waspadalah bahwa kadar testosteron meningkat secara bermakna pada kehamilan normal. Kadarnya lebih dari 100 ng/dL pada trimester pertama dan mencapai 500 hingga 800 ng/dL saat cukup bulan. Hal ini terutama disebabkan karena peningkatan SHBG yang dipicu oleh estrogen; namun, kadar testosteron bebas pun meningkat pada trimester ketiga. Ibu dan janinnya terlindung dari kadar androgen yang tinggi ini melalui banyak mekanisme, termasuk ikatan ke SHBG dan aromatisasi androgen menjadi estrogen di plasenta.
__________________________________________________________________
Tumor-tumor Penghasil Androgen
Ada dua temuan yang seharusnya merangsang dokter untuk mencurigai keberadaan suatu tumor penghasil androgen. Yang pertama adalah riwayat maskulinisasi yang progresif dengan cepat. Hirsutisme yang disebabkan anovulasi biasanya berkembang lambat, umumnya mencakup suatu periode waktu yang sekurang-kurangnya mencapai beberapa tahun. Tumor berhubungan dengan perjalanan penyakit yang singkat, hanya membutuhkan waktu beberapa bulan. Temuan kedua yang seharusnya memunculkan kecurigaan adalah kadar testosteron yang lebih dari 200 ng/dL, namun harus diingat hal-hal tentang kadar ini yang telah dibicarakan sebelumnya.
Menurut pandangan kami, tumor-tumor penghasil androgen adalah salah satu masalah kedokteran yang terlalu ditinggikan. Yang pertama, mereka sangat jarang, namun mereka justru menarik banyak perhatian pada pertemuan-pertemuan para ahli dan halaman-halaman yang terlalu banyak dalam jurnal-jurnal dan buku-buku teks. Yang kedua, ada mistik endokrin yang mengelilingi tumor yang berfungsi ini. Sebenarnya ia adalah masalah yang sederhana saja.
Tumor-tumor ovarium yang berfungsi hampir seluruhnya dapat dipalpasi, dan, sama seperti massa ovarium lainnya, perlu dilakukan laparotomi dan pengangkatan bedah secepatnya. Namun, telah diketahui bahwa tumor-tumor ovarium yang sangat kecil (biasanya pada hilus ovarium) dapat mensekresi testosteron. Dan kadang-kadang, virilisasi dijumpai dengan tumor non fungsional karena stimulasi sekresi androgen oleh tumor pada jaringan stroma di sekitarnya.
Satu-satunya dilemma diagnostik adalah kapan mengeksplorasi pasien yang massanya tak dapat teraba. Tes supresi dan stimulasi diketahui memberi hasil yang salah sehingga menyebabkan ooforektomi padahal kelainannya adalah adenoma adrenal yang menyebabkan virilisasi. Selain itu, metode supresi dan stimulasi tak secara spesifik mengisolasi fungsi ovarium atau adrenal. Tumor-tumor ovarium penghasil androgen responsif terhadap LH, sehingga akan berespon terhadap stimulasi dan supresi ovarium.
Angiografi selektif dengan sampling darah vena dan pengukuran steroid adrenal dan ovarium juga memiliki masalah. Secara teknis, sulit untuk melakukan kateterisasi bilateral pada ovarium, sekresi steroid episodik (khususnya pada kelenjar adrenal), dan teknik ini juga memiliki resiko. Kateterisasi retrograd selektif pada vena ovarium dan adrenal oleh seorang ahli sebaiknya hanya dilakukan untuk sejumlah kecil pasien yang hasil pemeriksaan pencitraannya negatif dan memiliki riwayat klinis yang mengarah ke suatu tumor. Eksplorasi bedah dan pembedahan ovarium mungkin diperlukan bila hasil pemeriksaan kateterisasi tadi negatif. Pengukuran kadar testosteron intraoperatif pada vena ovarium adalah metode berikutnya untuk mendeteksi sumber maskulinisasi. Namun, pendekatan bedah membutuhkan syarat adanya tanda-tanda virilisasi yang muncul dengan cepat.
Ada wanita-wanita pasca menopause dengan hiperandrogenisme, sebaiknya kita lebih agresif secara bedah; namun, harus diingat bahwa hiperinsulinemia pada usia-usia pasca menopause dapat menstimulasi hiperthekosis, yang akan menyerupai tanda-tanda tumor. Terapi agonis GnRH dapat menghindarkan operasi pada pasien-pasien ini karena aktivitas steroidogenik pada ovarium yang dipicu oleh insulin masih tetap bergantung pada LH, dan terapi dengan metformin adalah pilihan lainnya yang baik pula.
Bila dicurigai ada suatu tumor penghasil androgen dan massa adneksalnya tak dapat diraba, pencitraan kelenjar adrenal dan ovarium harus dilakukan. Pencitraan adrenal adalah teknik diagnostik yang sensitif untuk tumor-tumor kecil yang menyebabkan sindroma Cushing maupun utnuk adenoma-adenoma adrenal pemvirilisasi. Untuk pencitraan adrenal, CT scan memberikan resolusi yang lebih baik dan lebih dipilih dibanding MRI dan USG. Untuk pencitraan ovarium, USG transvaginal adalah metdoe pilihannya.

Massa Adrenal Insidental (Insidentaloma)
Massa adrenal dijumpai secara insidental pada kira-kira 10% pemeriksaan postmortem; maka, memang sudah sewajarnya jika suatu massa adrenal insidental kadang-kadang ditemukan pada pencitraan abdomen. Lesi bilateral lebih berat. Penyebab-penyebab lesi bilateral yang sering adalah kanker metastasis (paling sering dari payudara, ginjal, atau paru-paru), infeksi (tuberkulosis dan jamur), dan hiperplasia adrenal; maka, jarang sekali perlu dilakukan operasi. Keganasan primer pada adrenal biasanya berhubungan dengan sekresi glukokortikoid dan androgen yang berlebih. Ukuran lesi juga bermakna. Probabilitas keganasan secara kasar setara dengan diameter lesinya. Lesi bilateral berukuran kurang dari 3 cm biasanya disebabkan karena penyakit metastasis. Maka, rekomendasi terkini adalah untuk mengeksisi massa-massa unilateral bila mereka berukuran bermakna, biasanya dengan diameter lebih dari 4 cm. Aspirasi jarum halus juga direkomendasikan untuk semua lesi adrenal unilateral, setelah menyingkirkan feokromositoma, untuk menyingkirkan lesi-lesi metastasis. Ketika mengikuti perkembangan suatu massa, pencitraan harus dilakukan pada 3, 9, dan 18 bulan. Massa apapun yang stabil setelah 18 bulan dapat dibiarkan pada tempatnya. Pada sebuah follow up 10 tahun terhadap 75 pasien dengan insidentaloma, tak satupun yang mengalami keganasan dan hanya 3 pasien yang mengalami pembesaran dan hiperfungsi adrenal.
Massa-massa adrenal insidental membutuhkan evaluasi fungsi biokimianya. Keberadaan hipertensi memunculkan kecurigaan sindroma Cushing, hiperaldosteronisme, atau feokromositoma. Evaluasinya harus memasukkan tes penapisan untuk feokromositoma (kadar katekolamin dalam urin 24 jam); elektrolit, aldosteron, dan pemeriksaan aktivitas renin untuk aldosteronisme; kadar kortisol bebas dalam urin 24 jam; dan kadar testosteron. Bila semua hasil tes ini normal, maka dapat terjadi sekresi hormon subklinis. Insidensi tumor-tumor pensekresi kortisol yang relatif tinggi pada ekskresi kortisol bebas yang normal dalam urin 24 jam mengindikasikan perlunya melakukan tes supresi deksametason malam hari pada pasien-pasien dengan massa adrenal insidental asimptomatik. Tampaknya ada insidensi massa adrenal yang tinggi pada pasien-pasien dengan hiperplasia adrenal, kemungkinan karena stimulasi ACTH yang berlebihan dalam jangka panjang. Massa-massa ini tak perlu diangkat melalui operasi, sehingga evaluasi laboratorium untuk hiperplasia adrenal diindikasikan pada pasien-pasien dengan massa adrenal insidental untuk menghindari operasi yang tak diperlukan. Yang terakhir, tes supresi klonidin bermanfaat untuk mendiagnosis feokromositoma subklinis. Skintigrafi adrenal menggunakan pelacak-pelacak radioaktif yang diakumulasi oleh jaringan yang berfungsi dan direkomendasikan bila hasil tes biokimianya normal. Bila pengambilan pada massa lebih sedikit daripada adrenal kontralateral (pola “menyimpang”), maka perlu dilakukan aspirasi jarum halus untuk menyingkirkan lesi ganas.
Tes penapisan untuk massa adrenal insidental
- kadar katekolamin dan kortisol bebas dalam urin 24 jam
- testosteron
- aktivitas renin, aldosteron, dan elektrolit
Tes-tes provokatif untuk massa adrenal insidental yang aktif subklinis
- Tes supresi deksametason malam hari
- Respon 17-hidroksiprogesteron terhadap ACTH
- Tes supresi klonidin (klonidin 0,3 mg per oral pada posisi terlentang, diikuti dengan pemeriksaan kadar norepinefrin plasma pada 0, 2, dan 3 jam pasca perlakuan; kadar norepinefrin di atas 500 pg/mL atau 50% lebih tinggi dari kadar jam ke-0 adalah hasil positif)
¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬__________________________________________________________________
Rangkuman Rekomendasi-rekomendasi Kunci untuk Evaluasi Hirsutisme
1. Evaluasi laboratorium untuk hirsutisme terdiri dari pengukuran kadar testosteron dan 17-OHP yang bersirkulasi. Bila ada alopesia, juga dindikasikan tes penapisan TSH untuk mengetahui fungsi tiroid.
2. Tes deksametason malam sebelumnya (overnight) dosis tunggal digunakan untuk penapisan sindroma Cushing. Hasil abnormal dikonfirmasi dengan mengukur kadar kortisol bebas dalam urin 24 jam.
3. Dokter harus selalu mempertimbangkan kemungkinan hiperinsulinemia dan mengutamakan intervensi-intervensi kesehatan preventif (seperti dibahas pada bab 12).
4. Semua pasien dengan virilisasi yang progresif cepat harus dievaluasi untuk mencari tumor pensekresi androgen tanpa mempedulikan hasil-hasil dari tes penapisan laboratorik.
5. Massa-massa adrenal yang ditemukan secara insidental (tak sengaja) membutuhkan evaluasi
__________________________________________________________________
TERAPI HIRSUTISME
Hampir semua pasien yang mengalami hirsutisme mencerminkan produksi androgen yang berlebihan yang berhubungan dengan kondisi stabil dari anovulasi persisten. Terapinya diarahkan kepada pemutusan kondisi stabil tadi. Pada pasien-pasien yang ingin hamil, ovulasi dapat diinduksi seperti dibicarakan pada bab 31. Pada pasien-pasien yang tak ingin hamil, kondisi stabil tadi dapat diputus dengan supresi steroidogenesis ovarium menggunakan aksi inhibitorik yang poten dari agen-agen progestasional pada sekresi LH.
Produksi androgen pada wanita-wanita hirsutisme biasanya adalah suatu proses yang bergantung LH. Supresi steroidogenesis ovarium bergantung pada supresi LH yang adekuat. Selain aksi inhibitorik dari komponen progestasional, kontrasepsi estrogen-progestin memberikan manfaat lebih karena peningkatan kadar SHBG yang dipicu oleh komponen estrogen. Peningkatan SHBG menghasilkan kapasitas ikatan androgen yang lebih besar dengan penurunan kadar testosteron bebas. Progestin pada kontrasepsi estrogen-progestin juga menghambat aktivitas 5α-reduktase di kulit, sehingga menambah kontribusi obat kontrasepsi oral terhadap hirsutisme. Kontrasepsi estrogen-progestin melalui jalur transdermal atau vagina (Bab 23) juga akan efektif.
Obat-obat kontrasepsi oral dosis rendah efektif untuk mengobati akne dan hirsutisme. Supresi kadar testosteron bebas setara dengan yang dicapai oleh dosis yang lebih tinggi. Efek klinis yang menguntungkan ternyata juga sama pada preparat-preparat dosis rendah yang mengandung levonorgestrel, yang sebelumnya diketahui menyebabkan akne pada dosis tinggi. Formulasi dengan desogestrel, gestodene, dan norgestimate juga berhubungan dengan peningkatan kadar SHBG yang lebih besar dan penurunan yang bermakna pada kadar testosteron bebas, namun penelitian-penelitian yang membandingkan obat-obat kontrasepsi oral yang mengandung progestin-progestin di atas tak mendapati perbedaan yang bermakna pada efek terhadap berbagai parameter androgen antar berbagai produk di atas. Secara teoritis, produk-produk ini akan lebih efektif untuk mengobati akne dan hirsutisme; namun, perbandingan obat-obat kontrasepsi oral yang mengandung levonorgesterl dan desogestrel tak mendapati perbedaan pada respon klinis hirsutismenya. Kami percaya bahwa semua formulasi dosis rendah melalui gabungan efek peningkatan SHBG dan penurunan produksi testosteron menghasilkan respon klinis yang sama secara keseluruhan, khususnya seiring berjalannya waktu (satu tahun atau lebih).

Bahkan pada wanita-wanita yang diterapi dengan antiandrogen, obat kontrasepsi oral penting dan bermanfaat untuk memberikan kontrol siklus maupun kontrasepsi.
Pada pasien di mana obat kontrasepsi estrogen-progestin merupakan kontraindikasi atau tak diinginkan, hasil yang baik dapat diperoleh dengan pemberian medroksiprogesteron asetat, baik 150 mg intramuskuler setiap 3 bulan atau 10-20 mg oral per hari. Mekanisme aksi medroksiprogesteron asetat sedikit berbeda dari obat kontrasepsi estrogen-progestin. Supresi gonadotropinnya kurang kuat; maka, aktivitas folikel ovarium terus berlanjut, namun, supresi LH-nya kuat, dan produksi testosteron berkurang, meskipun lebih lemah dibanding kontrasepsi estrogen-progestin. Selain itu, klirens testosteron dari sirkulasi juga meningkat. Efek terakhir ini disebabkan oleh induksi aktivitas enzim hepar. Medroksiprogesteron asetat menurunkan SHBG sehingga lebih sedikit testosteron yang terikat; namun, supresi produksi testosteron total begitu besar sehingga jumlah testosteron bebas yang sebenarnya juga berkurang. Efeknya secara keseluruhan menghasilkan hasil klinis yang setara dengan yang dicapai oleh obat kontrasepsi estrogen-progestin.
Gambaran hirsutisme yang patut diperhatikan adalah respon yang lambat terhadap terapi. Karena siklus pertumbuhan rambut, perubahannya membutuhkan waktu. Pasien harus diberi tahu bahwa terapi dengan supresi hormon akan dibutuhkan sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum terjadi penurunan pertumbuhan rambut yang dapat diamati. Maka, kombinasi terapi dengan elektrolisis atau pengangkatan rambut dengan laser (laser hair removal) tidak direkomendasikan hingga supresi hormonal telah diberikan sekurang-kurangnya 6 bulan.
Folikel-folikel rambut yang baru tak akan distimulasi lagi untuk tumbuh, namun pertumbuhan rambut yang sebelumnya telah terjadi tidak akan menghilang dengan terapi hormon saja. Hal ini dapat dikurangi sementara menggunakan pencukuran, pencabutan, penggunaan lilin, atau penggunaan alat-alat depilasi. Berbeda dengan yang kita percayai selama ini, metode-metode ini tak menstimulasi pertumbuhan atau meningkatkan kecepatan pertumbuhan rambut. Tak satupun taktik di atas yang mengubah pertumbuhan rambut bawaan; sehingga, metode-metode tadi harus digunakan berulang-ulang. Pengangkatan rambut permanen dapat dicapai dengan elektrokoagulasi pada papilla dermis. Pasien-pasien harus diberitahu untuk memastikan ahli elektrologinya menggunakan jarum habis pakai. Laser hair removal adalah perkembangan yang lebih baru. Absorbsi cahaya oleh pigmen-pigmen gelap menghasilkan kerusakan termal lokal pada folikel rambut; sehingga wanita-wanita dengan rambut gelap dan kulit terang memiliki hasil yang paling baik. Penilaian dan perbandingan obyektif antara kedua metode di atas belum ada.
Beberapa pasien kembali setelah satu periode terapi dan menyampaikan kekecewaan karena rambut masih ada. Efek terapi (pencegahan pertumbuhan rambut yang baru) mungkin belum tampak hingga rambut-rambut yang sebelumnya telah ada rontok. Kombinasi supresi ovarium yang mencegah pertumbuhan rambut baru dan elektrolisis atau laser hair removal yang merontokkan rambut-rambut yang lama akan menghasilkan terapi yang paling komplet dan efektif untuk hirsutisme.
Berapa lama terapi sebaiknya diteruskan? Setelah 1-2 tahun, kita dapat menghentikan obat dan mengamati pasien apakah ia kembali ke siklus ovulatorik. Bahkan pada pasien-pasien yang tetap anovulatorik, supresi testosteron berlangsung selama 6 bulan hingga 2 tahun setelah penghentian terapi. Tentu saja, jika masih ada anovulasi, maka hirsutisme juga akan muncul kembali.

Pasien yang benar-benar resisten membutuhkan perhatian lebih lanjut. Terapi kombinasi dengan satu dari metode-metode yang telah dibicarakan di atas dapat dicoba, lebih baik satu kontrasepsi oral yang dikombinasi dengan spironolakton atau finasterid.
Pada sebagian besar pasien, kadar DHAS ditekan oleh terapi progestasional. Mekanismenya masih belum benar-benar dimengerti, namun ada beberapa penjelasan yang mungkin. Jika stimulus awal untuk peningkatan sekresi DHAS adalah kondisi estrogen yang stabil akibat anovulasi, maka perubahan pada fungsi endokrin kelenjar adrenal yang ditimbulkan oleh supresi steroidogenesis ovarium akan memulihkan kembali pola sekretorik adrenal yang normal. Obat kontrasepsi estrogen-progestin juga dapat menghasilkan perubahan yang ringan namun bermakna pada sekresi ACTH atau respon pada kelenjar adrenal.
Efektivitas supresi adrenal dalam menginduksi siklus ovulatorik pada sejumlah pasien anovulatorik dapat dikaitkan dengan penurunan kadar androgen yang bersirkulasi karena penurunan kontribusi adrenal maupun reduksi jumlah DHAS yang tersedia untuk konversi menjadi testosteron dalam folikel ovarium. Kadar androgen intra ovarium menurun, sehingga menurunkan aksi inhibitorik androgen pada pertumbuhan dan perkembangan folikel. Dalam hal ovulasi, frekuensi respon yang sukses dengan tipe terapi ini tidak sebanding dengan obat pilihan pertamanya, yaitu klomifen. Dalam hal terapi hirsutisme, supresi progestin pada steroidogenesis ovarium lebih efektif dan harus menjadi pendekatan terapetik yang pertama. Supresi adrenal sebaiknya hanya digunakan untuk pasien-pasien dengan diagnosis defisiensi enzim adrenal yang benar-benar telah tegak.
Pada seorang wanita usia tua yang tak lagi memiliki keinginan akan fertilitas dan pada wanita yang penggunaan obat steroid terus-menerus menimbulkan gangguan karena meningkatnya resiko seiring bertambahnya usia, harus diberikan pertimbangan khusus untuk solusi bedah. Masalah hirsutisme yang persisten, khususnya bila keparahannya progresif, adalah indikasi yang masuk akal untuk histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral. Pasien-pasien dengan hiperthekosis berespon buruk terhadap supresi dan biasanya berusia lebih tua. Terapi bedah bagi pasien-pasien ini seringkali sangat sesuai. Tentu saja, direkomendasikan satu rejimen estrogen bagi pasien-pasien ini pasca operasi.
Harus diingat hubungan yang kuat antara hiperandrogenisme dan hiperinsulinemia seperti yang dibicarakan pada Bab 12. Menangani masalah hirsutisme dengan supresi aksi dan produksi androgen tak akan memulihkan metabolisme glukosa ke normal; pasien-pasien ini akan terus menunjukkan resistensi insulin. Pada pasien-pasien hiperandrogenik yang kelebihan berat badan, program kontrol berat badan sangat penting untuk mengurangi resiko diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskuler, dan perhatian harus diberikan pada manfaat kesehatan preventif yang diharapkan dari terapi jangka panjang dengan metformin atau glitazone. Wanita-wanita hiperandrogenik yang kelebihan berat badan dan menderita ovarium polikistik akan mempertahankan penurunan kadar androgennya dengan terapi metformin jangka panjang, dan perbaikan hirsutisme telah dilaporkan dengan pemberian troglitazone. Meskipun begitu, hirsutisme pada wanita-wanita hiperandrogenik dengan hiperinsulinemia akan berespon baik terhadap terapi dengan obat kontrasepsi estrogen-progestin.
__________________________________________________________________
METODE-METODE TERAPI LAIN
__________________________________________________________________
Spironolakton
Spironolakton adalah sebuah diuretik antagonis aldosteron. Pada terapi hirsutisme, spironolakton memiliki aksi ganda, menghambat biosintesis androgen di ovarium dan adrenal, berkompetisi untuk reseptor androgen pada folikel rambut, dan langsung menghambat aktivitas 5α-reduktase. Inhibisi steroidogenesis dicapai melalui efek pada sistem sitokrom P450, namun efek supresi steroidnya sangat bervariasi sehingga aksi pemblok reseptornya adalah mekanisme yang terpenting. Kemungkinan karena alasan inilah, kadar kortisol, DHA dan DHAS tidak mengalami perubahan yang bermakna dengan terapi spironolakton, meskipun kadar androstenedionnya turun.
Dampak terapi spironolakton pada hirsutisme bergantung pada dosisnya, dan efek yang lebih baik dijumpai dengan dosis 200 mg per hari. Setelah jangka waktu tertentu, kita biasanya dapat menurunkan dosis spironolakton hingga dosis pemeliharaan 25-50 mg per hari. Seperti pada agen-agen progestasional, responnya relatif lambat, dan efek maksimal dapat dilihat hanya setelah terapi selama 6 bulan. Efek sampingnya minimal, termasuk diuresis pada beberapa hari pertama penggunaan, keluhan lelah kadang-kadang, dan perdarahan uterus disfungsional. Ingat bahwa status anovulatorik membutuhkan penatalaksanaan progestasional untuk menghindari perdarahan uterus abnormal (dan hiperplasia endometrium). Karena kemungkinan terjadinya hiperkalemia, spironolakton harus digunakan dengan hati-hati pada wanita-wanita usia lanjut, diabetik, atau menggunakan obat-obat yang meningkatkan kadar kalium.

Kami menggunakan spironolakton bila pasien-pasien tak dapat menerima obat-obat kontrasepsi estrogen-progestin atau bila responnya mengecewakan. Memang, masuk akal untuk mengkombinasikan aksi jaringan perifer dari spironolakton dengan obat kontrasepsi estrogen-progestin untuk mencapai hasil yang lebih baik; namun, hasil-hasil dengan rejimen terapi kombinasi ternyata tidak lebih mengesankan dibanding terapi obat tunggal. Akne telah berhasil diterapi dengan efektif menggunakan pengolesan lokal krim yang mengandung spironolakton 2-5%. Tak terjadi absorbsi sistemik, dan tak ada efek sampingnya.
Satu hal yang harus diperhatikan: Dengan inhibisi sekresi androgen, dapat terjadi ovulasi, dan kontrasepsi yang efektif sangat penting. Secara teoritis, intervensi spironolakton pada aksi testosteron dapat menghasilkan feminisasi janin laki-laki; namun, efek yang merugikan pada genitalia eksterna belum pernah terjadi, meskipun janin tadi terpajan dosis yang tinggi. Terapi kombinasi dengan obat kontrasepsi estrogen-progestin dapat menghasilkan efek klinis yang lebih baik dan, secara bersamaan, mencegah iregularitas menstruasi dan memberi efek kontrasepsi.
__________________________________________________________________
Siproteron Asetat
Siproteron adalah sebuah agen progestasional yang poten, yang menghambat sekresi gonadotropin dan memblok aksi androgen dengan cara berikatan pada reseptor androgen. Di berbagai belahan bumi, ia telah digunakan dalam sebuah agen kontrasepsi estrogen-progestin yang disebut “Diane” (siproteron asetat 2 mg dan etinil estradiol 50 μg). “Dianette” atau “Diane 35” mengandung siproteron asetat 2 mg dan etinil estradiol 35 μg. Pada sebuah metode terapi hirsutisme yang disebut rejimen sekuensial terbalik, siproteron asetat diberikan dengan dosis 50 atau 100 mg per hari pada hari 5-14, dengan 30 atau 50 μg etinil estradiol per hari pada hari 5-25. Pada sebuah perbandingan Diane dengan terapi siproteron asetat dosis tinggi (100 mg), efek terapetiknya lebih tinggi (namun mungkin tak memiliki makna klinis) pada dosis yang lebih tinggi, dan ada insidensi efek samping yang sebanding pada kedua terapi. Pada perbandingan Dianette dengan dosis siproteron asetat yang lebih tinggi (20 dan 100 mg), respon klinis dengan dosis siproteron 2 mg pada Dianette ternyata setara dengan dosis yang lebih tinggi tadi. Reaksi-reaksi yang paling sering dijumpai meliputi kelelahan, edema, penurunan libido, penambahan berat badan, dan mastalgia. Perbaikan yang bermakna pada hirsutisme fasial dijumpai pada bulan ketiga terapi. Pada perbandingan spironolakton dan siproteron asetat, suatu obat kontrasepsi oral dosis rendah monofasik yang dikombinasikan dengan spironolakton 100 mg per hari sama efektifnya dengan rejimen sekuensial terbalik yang menggunakan siproteron 50 atau 100 mg dan estrogen.
__________________________________________________________________
Deksametason
Supresi deksametason terhadap eksresi ACTH endogen digunakan pada wanita-wanita yang memiliki defisiensi enzim adrenal. Deksametason diberikan malam hari (untuk mencapai supresi maksimal pada aksis adrenal-SSP yang mencapai puncak saat tidur) dengan dosis 0,5 mg. Dosis prednison yang ekuivalen adalah 5-7,5 mg. Jika terapi ini dapat menekan kadar kortisol plasma pagi hari hingga di bawah 2,0 μg/dL, maka dosisnya harus diturunkan untuk menghindari ketidakmampuan bereaksi terhadap stress. Untungnya, sekresi androgen adrenal lebih sensitif terhadap supresi oleh deksametason dibanding sekresi kortisol. Pasien-pasien dengan hiperplasia adrenal mungkin membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk menormalkan kadar steroid darahnya. Dengan dosis yang lebih tinggi, terapi selang satu hari tetap dapat mencapai supresi androgen adrenal yang bermakna tanpa mempengaruhi sekresi kortisol. Harus ditekankan bahwa peningkatan DHAS moderat tidak mengindikasikan pasien-pasien yang akan membaik dengan terapi deksametason. Efektivitas maksimal terhadap hirsutisme pada pasien-pasien dengan defisiensi enzim adrenal mungkin membutuhkan terapi lain selain suplementasi glukokortikoid. Penambahan obat kontrasepsi estrogen-progestin atau antiandrogen harus dipertimbangkan.
__________________________________________________________________
Terapi dengan Agonis GnRH
Karena produksi androgen oleh ovarium bergantung LH, supresi pituitari dengan terapi agonis GnRH jangka panjang memperbaiki hirsutisme. Namun, hasil-hasil yang tak konsisten pada kepustakaan menegaskan fakta bahwa harus diberikan dosis yang memadai untuk mencapai supresi yang efektif dan respon klinis. Maka, direkomendasikan melakukan pengawasan dosis dan responnya. Dibutuhkan dosis agonis GnRH yang lebih tinggi untuk menekan sekresi androgen oleh ovarium dibanding untuk menekan sekresi estradiol. Kami merekomendasikan penggunaan pemberian agonis GnRH depot dengan pengawasan terapi melalui pengukuran kadar testosteron (sasarannya hingga kurang dari 40 ng/dL). Untuk menghindari gangguan-gangguan akibat defisiensi estrogen, penambahan kembali estrogen-progestin harus dimlai setelah telah tercapai dosis pemeliharaan agonis GnRH aksi panjang. Kami merekomendasikan pemberian harian estrogen terkonjugasi 0,625 mg atau estradiol 1,0 mg yang dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5 mg atau norethindrone 0,35 mg atau, yang lebih baik lagi, dengan sebuah obat kontrasepsi estrogen-progestin.
Meskipun kombinasi agonis GnRH dan kontrasepsi oral menghasilkan penurunan kadar testosteron bebas yang lebih baik, perbaikan hirsutismenya setara, bila kita bandingkan dengan terapi menggunakan agonis saja; namun, terapi dengan agonis saja telah dilaporkan lebih efektif daripada terapi dengan kontrasepsi oral saja. Pada sebuah percobaan klinis, peningkatan respon yang disebabkan oleh terapi agonis dapat dijumpai hanya setelah 3 bulan pertama terapi; setelah 6 bulan, kombinasi agonis GnRH dan kontrasepsi oral tak lebih baik dibanding kontrasepsi oral saja. Penambahan agonis GnRH aksi panjang pada Dianette (siproteron asetat 2 mg dan etinil estradiol 35 μg) tak menimbulkan perbaikan yang bermakna pada hasil-hasil klinisnya. Setelah 1 tahun, perbandingan terapi agonis GnRH dengan rejimen siproteron asetat dosis tinggi menunjukkan effikasi yang setara, meskipun terapi agonis menimbulkan remissi yang lebih panjang. Hasil-hasil yang saling bertolak-belakang ini mencerminkan variabilitas pada keparahan penyakit dan derajat supresi androgennya. Dampak kombinasi agonis GnRH dengan kontrasepsi oral maksimal bila kadar testosteron tertekan hingga di bawah 40 ng/dL dan pada pasien-pasien yang kelebihan berat badan dengan hirsutisme berat.
Metode terapi in relatif rumit dan mahal, dan sebaiknya hanya digunakan untuk kasus-kasus hiperandrogenisme ovarii yang berat, yang biasanya disebabkan oleh hiperthekosis yang bermakna dan hiperinsulinemia berat (suatu kondisi yang responnya kurang baik terhadap metode terapi standar). Satu alternatif yang layak dipertimbangkan adalah terapi hiperinsulinemia dengan metformin atau glitazone. Setelah respon maksimal dapat dicapai dengan salah satu dari metode-metode yang lebih mahal ini, supresi pertumbuhan rambut jangka panjang dapat dipertahankan dengan obat kontrasepsi estrogen-progestin atau antiandrogen.
__________________________________________________________________
Flutamide
Flutamide (Eulexin) adalah sebuah antiandrogen non steroid pada tingkat reseptor. Flutamide langsung menghambat pertumbuhan rambut tanpa efek samping yang bermakna (yang tersering adalah kulit kering); namun, ia dapat menimbulkan hepatotoksisitas. Karena efek toksiknya yang berat pada hepar meskipun jarang, direkomendasikan untuk memulai dengan dosis rendah. Dosis 250 mg per hari dapat memberi manfaat yang bermakna pada hirsutisme dalam waktu 6 bulan. Namun, meski menggunakan dosis rendah, kita tetap harus memonitor enzim hepar. Pada sebuah penelitian perbandingan, flutamide (250 mg tiap dua hari) tidak lebih baik dibanding spironolakton (100 mg/hari). Terapi dengan flutamide harus dikombinasikan dengan metode kontrasepsi; blokade reseptor-reseptor androgen pada janin laki-laki dapat mengganggu perkembangan laki-laki yang normal. Menurut pendapat kami, potensi hepatotoksisitas menyebabkan flutamide menjadi pilihan yang tak memuaskan untuk terapi hirsutisme. Namun, dalam sebuah penelitian perbandingan yang juga melibatkan finasteride dan siproteron asetat, hanya flutamide (250 mg per hari) yang efektif untuk terapi alopesia.

__________________________________________________________________
Finasteride
Finasteride menghambat aktivitas 5α-reduktase, sehingga memblok konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron. Enzim 5α-reduktase terdapat dalam dua bentuk, tipe I dan II, masing-masing dikode oleh gen yang berbeda, enzim tipe I dijumpai di kulit dan enzim tipe II lebih banyak diekspresikan pada jaringan-jaringan reproduktif. Finasteride (Proscar), yang digunakan untuk mengobati kanker prostat, menghambat kedua isoenzim di atas, namun potensinya untuk terapi hirsutisme dan alopesia terbatas karena ia kurang aktif terhadap enzim tipe I. Dosis 5 mg per hari dapat mengurangi hirsutisme tanpa efek samping. Dosis yang lebih kecil, 1 mg (Propecia), tersedia untuk terapi kerontokan rambut pada laki-laki. Pada sebuah percobaan klinis teracak, finasteride, flutamide, dan spironolakton (100 mg per hari) dilaporkan sama efektifnya. Pada percobaan klinis teracak yang lain, spironolakton dengan dosis 100 mg per hari lebih efektif daripada finasteride. Meskipun efektif, finasteride kurang poten dibanding flutamide atau rejimen sekuensial terbalik dengan estrogen dan siproteron. Finasteride, dalam dosis 1 mg maupun 5 mg, belum terbukti efektif untuk terapi alopesia pada wanita-wanita pasca menopause. Keuntungan utama finasteride adalah kurangnya efek sampingnya. Karena perkembangan sinus urogenital dan tuberkel urogenital menjadi genitalia eksterna laki-laki, uretra, dan prostat membutuhkan aksi dihidrotestosteron, pasien-pasien yang diterapi dengan finasteride harus diberitahu tentang potensi resikonya pada kehamilan, dan harus digunakan metode kontrasepsi yang efektif.


Setelah terapi jangka panjang (6 bulan hingga satu tahun), hanya ada sedikit perbedaan klinis pada effikasi obat-obat mayor yang digunakan untuk terapi hirsutisme (obat kontrasepsi oral, spironolakton, flutamide, dan finasteride).
__________________________________________________________________
Eflornitin Hidroklorid (Vaniqa)
Krim eflornitin hidroklorid 13,9% menghambat ornitin dekarbiksilase, sebuah enzim pada papilla dermis rambut yang penting untuk pertumbuhan rambut. Pengolesan lokal pada rambut wajah akan memperlambat pertumbuhan rambut secara keseluruhan dan membuat rambut lebih lembut. Percobaan-percobaan klinis telah membuktikan bahwa pengolesan krim topikal dua kali sehari memberikan perbaikan dalam waktu beberapa minggu pada 60% wanita yang memiliki rambut wajah (32% mendapat perbaikan yang bermakna), namun pertumbuhan rambut berlanjut kembali setelah obat dihentikan dan kembali ke tingkat pra terapi dalam waktu 8 minggu. Krim dapat memperberat akne karena ia menyumbat kelenjar pilosebaseus. Kami merekomendasikan terapi ini hanya untuk wanita-wanita yang mengeluhkan rambut wajahnya pada situasi-situasi yang spesifik, seperti peningkatan rambut sedikit pada bibir atas yang terjadi pasca menopause.



__________________________________________________________________
Obat-obat lainnya
Simetidin (300 mg empat kali sehari) telah digunakan untuk mengobati hirsutisme, namun ia adalah penghambat reseptor androgen yang paling tidak poten, dan respon klinisnya mengecewakan. Penggunaan krim kulit yang mengandung progesteron efektif, namun ia harus diberikan dengan sering, dan aksinya sangat terpusat pada titik pengolesannya. Minoksidil dengan pengolesan topikal dua kali sehari menghasilkan peningkatan moderat pertumbuhan rambut pada wanita-wanita dengan alopesia; namun, dibutuhkan terapi jangka panjang, dan pemulihan ke pola rambut sebelumnya tak dapat dicapai. Ketokonazol dengan dosis 400 mg per hari menghambat sintesis androgen dengan cara menghambat sistem sitokrom P450. Meskipun dampak pada hirsutisme bermakna, ada insidensi efek samping yang tinggi maupun peningkatan enzim hepar. Ketokonazol sebaiknya hanya digunakan sebagai pilihan terakhir, dan memerlukan pengawasan fungsi hepar yang sering. Selain itu, terapi jangka panjang dengan ketokonazol dapat menekan produksi kortikosteroid adrenal.
__________________________________________________________________
HIPERSENSITIVITAS END-ORGAN (HIRSUTISME IDIOPATIK)
Ada beberapa pasien yang menderita hirsutisme namun mengalami ovulasi yang teratur dan biasanya memiliki kadar androgen yang normal. Kategori pasien ini di masa lalu disebut hirsutisme idiopatik atau familial dan lebih menonjol di daerah-daerah geografis dan kelompok etnis tertentu (khususnya yang berasal dari daerah Mediteranea / Laut Tengah). Namun, harus diingat bahwa ovulasinya harus terbukti; wanita-wanita dengan mens yang sangat teratur dapat anovulatorik. Satu-satunya penjelasan yang memuaskan untuk masalah hirsutisme idiopatik yang merepotkan ini adalah hipersensitivitas organ rambut kulit terhadap kadar androgen yang normal, kemungkinan karena peningkatan aktivitas enzim 5α-reduktase. Karena sensitivitas yang berlebihan ini, kadar androgen yang normal akan menstimulasi pertumbuhan rambut. Bahkan pada kasus-kasus ini pun, hirsutisme berepson terhadap supresi ovarium dengan obat kontrasepsi estrogen-progestin. Supresi kadar androgen wanita yang normal ke konsentrasi subnormal mengurangi stimulus terhadap folikel rambut, menghasilkan hasil penstabilisasi yang sama dengan yang dijumpai pada wanita-wanita hirsut lainnya. Spironolakton, flutamide, dan finasteride juga efektif untuk kelompok pasien ini. Respon klinis terhadap terapi farmakologis berkorelasi dengan kadar 3α-AG yang bersirkulasi, mendukung diagnosis lokus jaringan target (folikel rambut) untuk masalah ini. Meskipun hirsutisme karena kelainan endokrin membutuhkan pengendalian, hipersensitivitas organ target (end-organ) diterapi hanya untuk tujuan perbaikan kosmetik. Elektrolisis atau laser hair removal adalah terapi pendukung yang bermanfaat bagi kelompok pasien ini.
__________________________________________________________________
RANGKUMAN REKOMENDASI UNTUK TERAPI HIRSUTISME
1. Pilihan terapi awal bagi wanita-wanita anovulatorik dengan hirsutisme adalah obat kontrasepsi oral dosis rendah (estrogen yang kurang dari 50μg).
2. Responnya relatif lambat, dan sekurang-kurangnya dibutuhkan terapi selama 6 bulan untuk mendemonstrasikan dampaknya.
3. Bila pasien tak berespon baik terhadap kontrasepsi oral, harus ditambahkan antiandrogen, lebih dipilih spironolakton atau finasteride (urut dari yang lebih baik).
4. Tak ada bukti yang jelas menunjukkan bahwa satu obat lebih baik daripada obat-obat lainnya, dan pilihan obat harus mempertimbangkan biaya dan efek sampingnya.
5. Penambahan agonis GnRH sebaiknya hanya digunakan untuk pasien-pasien yang resisten terhadap terapi awal.
__________________________________________________________________





Keterbatasan dan Kekurangan
Kami telah menyajikan pendekatan yang sederhana dan langsung untuk evaluasi dan penatalaksanaan wanita hirsut; namun, seperti pada seluruh ilmu kedokteran, ada hal-hal pengecualian:
1. Kadang-kadang, kadar testosteron dapat sangat meningkat pada anovulasi, menyebabkan pertumbuhan rambut yang sangat lebat dan bahkan maskulinisasi. Kadar testosteron yang lebih dari 200 ng/dL tak selalu mengindikasikan keberadaan suatu tumor.
2. Ovarium yang membesar tak selalu harus ada untuk sindroma klinis anovulasi dan produksi androgen yang berlebih. Di lain pihak, keberadaan ovarium polikistik yang membesar tak selalu menegakkan diagnosis anovulasi dan produksi androgen yang berlebih oleh ovarium. Mereka dapat disebabkan oleh penyakit adrenal atau konsumsi androgen eksogen.
3. Laparoskopi dan biopsi ovarium bukan prosedur yang diindikasikan pada evaluasi hirsutisme.
4. Hubungan peningkatan produksi testosteron dan hirsutisme dengan siklus ovulasi yang normal harus membuat dokter mencurigai kelainan adrenal.
5. Supresi peningkatan androgen oleh terapi progestin tak menyingkirkan keberadaan tumor ovarium. Tumor-tumor ovarium yang fungsional bergantung gonadotropin dan responsif.
6. Kegagalan terapi progestin untuk menekan pertumbuhan rambut dan kadar testosteron setelah 6-12 bulan menimbulkan kecurigaan penyakit adrenal atau tumor ovarium yang sangat kecil.
7. Kadar androgen pada wanita-wanita pasca menopause lebih rendah. Pada kelompok umur ini, kadar testosteron yang lebih dari 100 ng/dL mengarah ke kecurigaan suatu tumor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar