Senin, April 04, 2011

Polycystic Ovary Syndrome

Polycystic ovary syndrome (PCOS) atau polycystic ovarian disease (PCOD) atau juga dikenal sebagai Stein-Leventhal syndrome merupakan gangguan endokrin yang paling umum ditemui pada wanita, dan terjadi pada sekitar 5-10% wanita usia produktif (Berek, 2002). Kelainan tersebut adalah suatu keadaan yang heterogen dengan beberapa tanda dan gejala serta diagnosis yang masih kontroversial dan berbeda-beda antarnegara, berhubungan dengan hirsutisme, amenorea dan obesitas, dan merupakan penyebab umum infertilitas (Palacio et al., 2006). Infertilitas terjadi pada 30% wanita muda yang sering mengalami oligomenorea dan amenorea selama beberapa bulan (Padubidri et al., 1999).

Prevalensi PCOS sulit dihitung secara akurat. Hampir 75% kasus infertilitas anovulasi dan lebih dari 80% kasus hirsutisme, mengalami PCOS (Franks, 1997). Berdasarkan penelitian Knochenhauer et al. (1998), prevalensi PCOS di Amerika Serikat bagian tenggara rata-rata sebesar 4,6%. Sedangkan di Yunani sebesar 6,8% (Diamanti-Kandarakis et al., 1999), dan 6,5% pada wanita Kaukasia di Spanyol (Asunción et al., 2000). Bagaimanapun juga, kejadian PCOS secara signifikan tergantung pada variasi etnis dan ras, frekuensi obesitas, resistensi insulin, dan kejadian diabetes melitus, sehingga kemungkinan prevalensi PCOS bisa berbeda pada populasi yang berbeda (Legro, 1995).
Menurut konsensus yang dibuat oleh National Institute of Health National Institute of Child Health and Human Development pada tahun 1977, maka untuk mendiagnosis PCOS ditetapkan paling sedikit terdapat 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor, yaitu :
a.    Kriteria Mayor
1)    Anovulasi
2)    Hiperandrogenemia
b.    Kriteria Minor
1)    Resistensi insulin
2)    Hirsutisme
3)    Obesitas
4)    LH/FSH > 2,5
5)    Pada USG terbukti ditemukan ovarium polikistik
Kriteria minimal untuk mendiagnosis PCOS adalah 1 kriteria mayor berupa anovulasi dan 2 kriteria minor berupa LH/FSH > 2,5 dan terbukti adanya ovarium polikistik dengan menggunakan USG (Baziad, 2003).
    Pada kasus PCOS selalu dijumpai pembesaran ovarium yang dapat dengan mudah dideteksi dengan ultrasonografi (USG). Pada gambaran USG ovarium, terlihat folikel-folikel kecil dengan diameter 7-10 mm, sangat khas seperti gambaran roda pedati (Baziad, 2003).
    Penyebab pasti dari Polycystic ovary syndrome (PCOS) belum diketahui. Diduga penyebabnya adalah adanya gangguan proses pengaturan ovulasi serta ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen di ovarium (Baziad, 2003). Beberapa penelitian menemukan bukti yang mengarahkan kesimpulan bahwa penyakit ini dipengaruhi faktor genetis. Kajian pada beberapa perempuan yang mengidap PCOS, mengungkapkan perempuan tersebut memiliki sejarah keluarga yang juga pernah mengidap kelainan serupa, khususnya hiperandrogenemia (Mariana, 2008).

2.    Stres Oksidatif
    Pada keadaan normal, metabolisme pada mitokondria akan menghasilkan adenosin trifosfat dan radikal bebas yang merupakan produk sampingan. Di dalam metabolisme tersebut, sebanyak 3-10% O2 akan berubah menjadi radikal bebas dan akan mempunyai tugas fisiologis, misalnya dalam proses fagositosis bakteri. Jadi dalam keadaan fisiologis jumlah radikal bebas masih dapat dikompensasi dengan sistem antioksidan. Akan tetapi, dalam keadaan patologis misalnya sepsis, terapi anti kanker, terapi radiasi, beberapa penyakit seperti diabetes, produksi radikal bebas akan melebihi kemampuan antioksidan untuk menetralkan. Keadaan tidak seimbang antara produksi radikal bebas dan antioksidan ini disebut stres oksidatif. Kondisi ini akan merusak molekul makro termasuk protein, lemak, karbohidrat dan DNA (Droge, 2002).
    Stres oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab kerusakan molekular pada struktur jaringan dan sel. Hal tersebut diketahui meningkat pada pasien dengan diabetes dan dalam jaringan endometrial pada pasien yang infertil dengan endometriosis. Radikal oksigen bebas berperan dalam beberapa infertilitas yang berhubungan dengan penyakit (Palacio et al., 2006).
    Kerusakan sel yang disebabkan oleh saluran reproduksi yang terinfeksi (stres oksidatif) berkaitan dengan meningkatnya pembentukan senyawa oksigen reaktif dalam sirkulasi darah. Infeksi tersebut dapat menyebabkan infertilitas, kehamilan ektopik, kanker serviks, dan retardasi mental terutama pada wanita dan anak, bahkan sering mengakibatkan kematian (Winarsi, 2007).

3.    Radikal Bebas
Radikal bebas (oksidan) sebenarnya adalah sejenis partikel terkecil dari suatu molekul yang mengandung gugusan elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya serta sangat mudah bereaksi dengan molekul lain (Olivia et al., 2006). Menurut Tirtawinata (2006), radikal bebas adalah molekul-molekul yang sangat aktif yang dapat merusak sel-sel tubuh yang masih sehat, sehingga mengakibatkan penuaan dini dan mungkin juga kanker.
Radikal bebas terbentuk dalam tubuh sebagai hasil dari metabolisme energi. Di samping itu, radikal bebas diperoleh dari polusi udara, asap rokok, gas mobil dan sinar ultraviolet (Tirtawinata, 2006). Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas. Misalnya, hidrogen peroksida (H2O2), ozon, dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan sebagai Senyawa Oksigen Reaktif (SOR) atau Reactive Oxygen Species (ROS) (Winarsi, 2007).
Teraktivasinya oksigen dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas oksigen, yang disebut anion superoksida (O2*). Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (SOR), juga dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya (Winarsi, 2007).
Tanpa disadari, dalam tubuh kita terbentuk radikal bebas secara terus-menerus, baik melalui proses metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi, dan akibat respons terhadap pengaruh dari luar tubuh, seperti polusi lingkungan, ultraviolet (UV), asap rokok, dan lain-lain. Dengan meningkatnya usia seseorang, pembentukan radikal bebas juga makin meningkat yang berkaitan dengan laju metabolisme dan paparan polutan seiring dengan bertambahnya usia (Winarsi, 2007).
Menurut Sikka (1996) dalam Winarsi (2007), seperti yang terlihat pada gambar 2.1., salah satu sumber Reactive Oxygen Species (ROS) adalah rokok. Reaktivitas ROS akan merusak DNA, protein, dan lipid penyusun sel. Tingginya kadar ROS dalam tubuh tergambarkan pada rendahnya aktivitas enzim SOD (superoksida dismutase), katalase, dan glutation peroksidase, serta kadar vitamin C, E, dan β-karoten. Kondisi seperti ini mengakibatkan stres oksidatif dan regresi korpus luteum, serta menurunnya fertilitas seseorang.

4.    Malondialdehid (MDA)
Berbagai bentuk senyawa aldehid dapat terjadi sebagai hasil peroksidasi lipid, heksanal, meliputi malondialdehid, 5-hidroksinonenal, dan lain-lain. Malondialdehid (MDA) adalah senyawa dialdehida yang merupakan produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh. Senyawa ini memiliki 3 rantai karbon, dengan rumus molekul C3H4O2. Malondialdehid juga merupakan metabolit komponen sel yang dihasilkan oleh radikal bebas. Oleh sebab itu, konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Status antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (Winarsi, 2007).
Dalam tubuh wanita perimenopause banyak terbentuk radikal bebas yang diketahui melalui kadar MDA plasma. Tingginya produk MDA ini merupakan bukti rendahnya status antioksidan tubuh sehingga tidak dapat mencegah reaktivitas senyawa radikal bebas. Di sisi lain, tingginya MDA plasma membuktikan kerentanan komponen membran sel terhadap reaksi oksidasi. Selain itu, tinggi rendahnya kadar MDA sangat bergantung pada status antioksidan dalam tubuh seseorang (Winarsi, 2007).
Malondialdehid (MDA) secara luas banyak digunakan sebagai indikator stres oksidatif, yang dapat ditentukan secara spesifik maupun non-spesifik dalam suatu pengukuran menggunakan asam tiobarbiturat. Metode pengukuran ini disebut TBA-reactant substansi (TBARs). Pengukurannya menggunakan spektrofotometer atas dasar penyerapan warna yang terbentuk dari reaksi TBA dan MDA. Metode ini sangat mudah dilakukan, tetapi kurang spesifik terhadap beberapa substrat yang dapat bereaksi dengan TBA, misalnya aldehid (Winarsi, 2007).

Banyaknya senyawa teroksidasi dapat digunakan sebagai indeks karakteristik stres oksidatif. Tingginya kadar radikal bebas dalam tubuh dapat ditunjukkan oleh rendahnya aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar malondialdehid (MDA) dalam plasma (Winarsi, 2007). Menurut Palacio et al. (2006), kadar malondialdehid (MDA) modifikasi protein pada penderita polycystic ovary syndrome (PCOS) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami PCOS.

5.    Antioksidan
Bumi kita dipenuhi radikal bebas, bahan potensial yang mengancam kehidupan sel-sel normal. Karena makhluk hidup sepanjang hari terpapar oleh radikal bebas (oksidan), maka untuk bertahan hidup diperlukan adanya antioksidan (Olivia et al., 2006).
Antioksidan adalah segala senyawa yang dapat melindungi sel-sel tubuh dari serangan radikal bebas (Tirtawinata, 2006). Jenis-jenis antioksidan antara lain vitamin A (beta karoten), vitamin C, vitamin E, koenzim Q10 dan N-asetilsistein (NAC) (Olivia et al., 2006).
Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh manusia memiliki sistem antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas, yang secara kontinu dibentuk sendiri oleh tubuh. Tidak selamanya senyawa oksigen reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu merugikan. Oleh sebab itu, keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan dalam tubuh (Winarsi, 2007).
Antioksidan dapat berupa enzim (misalnya superoksida dismutase atau SOD, katalase, dan glutation peroksidase), vitamin (misalnya vitamin E, C, A, dan β-karoten), dan senyawa lain (misalnya flavonoid, albumin, dan lain-lain). Antioksidan enzimatis merupakan sistem pertahanan primer terhadap kondisi stres oksidatif yang bekerja dengan cara mencegah terbentuknya senyawa radikal bebas baru. Sedangkan antioksidan non-enzimatis disebut juga antioksidan sekunder, dapat diperoleh dari asupan bahan makanan, seperti vitamin C, E, A, dan β-karoten yang berfungsi menangkap senyawa oksidan dan mencegah terjadinya reaksi berantai (Winarsi, 2007).
a.    Vitamin A
    Nama lain dari vitamin A adalah axeroftol. Provitamin A disebut juga karotin adalah bahan pembentuk vitamin A. Ada beberapa jenis karotin, yaitu alfa, beta dan gamma karotin. Di antara ketiga jenis karotin itu, beta karotin mempunyai aktivitas vitamin A yang terbesar (Tirtawinata, 2006).
    Dari penelitian lebih lanjut diketahui banyak fungsi penting lainnya dari vitamin A, selain untuk kesehatan mata, yaitu sebagai antioksidan, yang membantu merangsang dan memperkuat daya tahan tubuh dalam meningkatkan aktivitas sel pembunuh kuman (natural cell killer), memproduksi limfosit, fagositis, dan antibodi serta memperkuat kekebalan seluler (sistem sel) yang menghancurkan sel kanker. Selain itu, vitamin A juga mencegah dan memperbaiki penyempitan kelenjar timus sebagai akibat stres kronik, membantu sistem reproduksi, pembuatan dan aktivitas hormon adrenalin dan tiroid, serta memperbarui sel jaringan tubuh (Olivia et al., 2006).
    Angka kecukupan gizi (AKG) sehari vitamin A untuk Indonesia menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (1998) dalam Almatsier (2003) adalah: 700 RE untuk laki-laki dewasa, wanita: 500 RE, yang hamil: + 200 RE dan yang menyusui: + 350 RE. Kelebihan vitamin A hanya bisa terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran yang berlebihan, yaitu lebih dari 40.000 RE per hari.
b.    Vitamin C
    Vitamin C disebut juga asam askorbat, mempunyai sifat sangat labil yaitu cepat rusak karena panas dan mudah bereaksi dengan oksigen atau mudah dioksidasi. Karena sifatnya yang mudah dioksidasi itu maka vitamin C dapat melindungi zat-zat lain dari pengaruh oksigen misalnya melindungi asam folat dan vitamin E. Oleh karena itu, vitamin C termasuk dalam kelompok antioksidan (Tirtawinata, 2006).
    Vitamin C memiliki peran penting dalam pelbagai mekanisme imunologis seperti meningkatkan daya tahan tubuh melawan infeksi dan stres. Sebagai antioksidan, vitamin C membantu memperbaiki sel tubuh dan meningkatkan kerja enzim sebagai faktor penyerap. Selain itu, vitamin C juga dapat menurunkan kolesterol darah, mengurangi risiko penyakit jantung dan kanker dengan mengurangi kerusakan akibat radikal bebas pada DNA (Olivia et al., 2006).
    Angka kecukupan gizi (AKG) sehari vitamin C untuk Indonesia menurut Widya Karya Pangan dan Gizi (1998) dalam Almatsier (2003) adalah: 60 mg per hari untuk orang dewasa laki-laki ataupun wanita. Untuk wanita hamil: + 10 mg, untuk wanita menyusui: + 25 mg. Kelebihan vitamin C dari makanan tidak menimbulkan gejala. Tetapi konsumsi konsumsi vitamin C berupa suplemen secara berlebihan tiap hari dapat menimbulkan hiperoksaluria dan risiko lebih tinggi terhadap batu ginjal, yaitu dengan konsumsi lebih dari 5000 mg per hari.
c.    Vitamin E
    Vitamin E disebut juga tokoferol. Ada tiga jenis, yaitu alfa, beta dan gamma tokoferol. Sedangkan bentuk vitamin E yang paling aktif adalah D-alfa tokoferol (Almatsier, 2003). Sebagai antioksidan intraseluler yang kuat, vitamin E melindungi limfosit dan monosit dari gangguan radikal bebas pada DNA. Selain itu, vitamin E juga memberikan efek perlindungan terhadap vitamin A dari oksidasi di dalam saluran pencernaan (Olivia et al., 2006).
    Vitamin E memecah rantai radikal bebas yang terdapat pada membran sel dan lipoprotein plasma serta melindungi sel. Vitamin E bereaksi dengan lipid peroksidase yang dibentuk dari asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) yang bereaksi dengan radikal bebas (H2O2). Hasil dari reaksi vitamin E dengan lipid peroksidase menghasilkan komponen tokoferoksil radikal yang tidak reaktif. Tokoferoksil radikal akan direduksi kembali oleh vitamin C menjadi tokoferol. Vitamin E bekerja secara efektif pada konsentrasi O2 yang tinggi (Murray et al., 2003).
    Angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan per hari untuk orang dewasa laki-laki: 10 mg, wanita: 8 mg, yang hamil: 10 mg, yang menyusui: 12 mg (WKPG, 1998 dalam Almatsier, 2003). Menggunakan vitamin E secara berlebihan dapat menimbulkan keracunan. Gangguan pada saluran cerna terjadi bila memakan lebih dari 600 mg per hari.


Artikel Terkait:

1 komentar:

  1. I found useful information from your Blog and I enjoyed reading it. Thanks for sharing this post with us. PCOS as the most common female endocrine disorder, affecting approximately 5%-10% of all females.Women with PCOS oftentimes have multiple cysts on their ovaries.

    Polycystic ovarian disorder

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...